Prolog
Di Indonesia, dan atau negara-negara lain yang memiliki permasalahan dengan maskulinitas toksik, ke-macho-an seorang laki-laki banyak digambarkan dengan sesuatu yang mengakar seiring pembentukan stigma publik: keterampilan bertengkar, tidak kenal tangis, bahkan ukuran penis. Hal-hal semacam itu selama ini banyak dilanggengkan melalui lagu-lagu, bacaan-bacaan, hingga tontonan masyarakat. Di tahun ini, bersama Kamila Andini dengan Yuni-nya, Wregas Bhanuteja dengan Penyalin Cahaya-nya, Edwin mengemas cerita yang mendobrak pelanggengan realita miris tentang maskulinitas toksis yang selama ini belum banyak tersentuh oleh sinema Indonesia.
Diadaptasi dari novel karya Eka Kurniawan dengan judul yang sama, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) membawa penonton mengikuti perjalanan Ajo Kawir (Marthino Lio) untuk menuntaskan dendam dan cinta yang penuh dengan lika-liku konyol namun menarik untuk diikuti. Dalam film ini, maskulinitas Ajo Kawir digambarkan dengan kemampuan berkelahi yang di atas rata-rata. Namun secara bersamaan dibenturkan dengan fakta yang menampar predikat maskulinitasnya di mata lingkungan: ia tidak bisa ngaceng. Reaksi Ajo pada impotensinya digambarkan selaras dengan lingkungan di mana maskulinitas toksik mengakar, ia merasa kehilangan segalanya, jiwanya sepi dalam keramaian sehingga ia tidak takut mati karenanya.
Metafora dalam Penuturan Cerita
Jalan realisme magis untuk menuturkan cerita dalam film ini (setelah ini akan disebut Dendam) menjadi kesegaran baru bagi sinema Indonesia yang selama ini kebanyakan cenderung malas menghadirkan cerita-cerita yang mungkin tidak langsung bisa dipahami tanpa diselami substansinya. Berangkat dari imajinasi liar Eka Kurniawan dalam novelnya, Edwin mengadaptasi cara tutur liyan tersebut. Hal itulah yang membedakan cara tuturnya dibandingkan dengan berbagai film adaptasi novel di Indonesia.
Dendam menyajikan kengerian dengan aksi bunuh-bunuhan sadis ala-ala femme fatale dalam sekuens Kill Bill, serta karakter-karakter yang keberadaannya kadang sulit dicerna macam yang kita kerap lihat pada karya-karya Del Toro, Lynch, mau pun Apichatpong.
Hal-hal kecil banyak dimunculkan untuk mendukung realitas yang mewakili zaman dan keadaan dalam semesta Dendam: lukisan dan tulisan belakang truk, gelas suguhan rokok Surya pada mantenan Ajo dan Iteung (Ladya Cheryl), hingga pembicaraan mengenai rasa takut terhadap petrus. Mengambil latar akhir tahun 80an hingga awal tahun 90an di daerah Bojongsoang, Dendam dengan segala kekakuan bahasa dalam dialog-dialognya, lampu teplok pada sudut-sudut ruangannya, atau balas-balasan cinta lewat radionya, membawa penonton ke tingkat imajinasi akan suatu zaman yang manis, dan membawa banyak senyuman.
Beberapa kejadian-kejadian di film ini dihadirkan sebagai fantasi yang mendobrak unsur kenyataan dengan garis pembatas yang cukup buram. Keberadaan karakter Jelita (Ratu Felisha) menjadi contoh. Dalam asumsi saya, ia dapat diandaikan dengan Dewi Amba dan Srikandi dalam epos Mahabarata. Rona Merah adalah Dewi Amba dan Jelita adalah Srikandi yang menuntaskan dendamnya. Penonton dibuat menduga-duga apakah Jelita itu? Demit, kah? Manusia, kah? Bidadari, kah? Walaupun pada akhirnya pertanyaan tersebut diserahkan sepenuhnya pada penonton untuk dijawab, hal tersebut membuktikan bahwa terdapat batas antara realitas dan fantasi yang buram, yang dapat dikatakan sebagai ciri khas cara tutur kisah-kisah realisme magis. Keburaman tersebut bagi saya tidak menjadi soal, karena bagaimanapun dendam dan rindu lah yang mesti dibayar tuntas, hal yang perlu dipatri dalam benak penonton saat menonton film ini.
Koherensi cerita dibangun dengan apik, Edwin menyejajarkan rasa penasaran penonton dengan rahasia-rahasia yang belum diketahui dari para karakter. Pertanyaan-pertanyaan seperti kenapa Ajo Kawir tidak bisa ngaceng, siapa itu Jelita, atau mengapa Paman Gembul memberi banyak perhatian ke Ajo Kawir, dibuka dengan perlahan—dengan pemberian informasi yang kembali menyejajarkan pemahaman penonton dengan pengetahuan para karakternya. Rasanya tidak salah jika menyematkan genre Kriminal/Misteri pada Dendam, penuturan narasinya begitu rapi.
Epilog
Walau harus sepakat dengan pandemi, sensor-sensor, hingga segmentasi umur yang menyempitkan penonton, Dendam menjelma buah idealisme sang sutradara yang manis dalam apresiasi serta sebagai karya artistik. Keberanian Edwin dalam karya ini menetaskan penghargaan yang besar, Dendam memenangkan penghargaan tertinggi pada festival film internasional di Swiss, Locarno Film Festival—well deserved!.
Dikemas dengan banyak candaan yang menggelitik serta ironi-ironi yang disampaikan dengan lucu, Dendam tidak kehilangan kemampuannya untuk menghantarkan pesan belum usainya permasalahan maskulinitas toksik bahkan dalam kondisi masyarakat yang sekarang. Tragedi dalam komedi—alegori bagi ironi, Dendam dengan segala kebaruannya, berhasil menjadi awal yang mendefinisikan ulang wajah sinema Indonesia di mata penonton lokal, maupun internasional.
Ditulis oleh Raihani Wikantyasa, mahasiswa komunikasi Unsoed yang kebetulan suka film. Saat ini sedang berusaha memberi nyawa pada Kolektif Film Kaktus—sekumpulan mahasiswa yang memfasilitasi diskusi dan pemutaran film di Purwokerto.