Penyalin Cahaya: Narasi Terbaik tentang Fiksi Kekerasan Seksual

Share

Sutradara: Wregas Banutheja | Pemain: Shenina Cinnamon, Chicco Kurniawan, Giulio Parengkuan, Dea Panendra, Lutesha | Negara: Indonesia | Durasi: 130 menit

Sinopsis:

Sur adalah seorang perempuan yang baru mengenal dunia barunya di kampus. Ia tengah berusaha mencicipi apa yang semua pemuda-pemudi idamkan: kepopuleran. Di tengah usahanya untuk mencapai hal tersebut, ia dikelilingi oleh lingkungan yang seakan mendukungnya. Sampai suatu malam, ia mengalami sebuah tragedi yang membuat lingkungan-lingkungan lain yang hidup di sekitarnya berantakan. Tugasnya sebagai mahasiswa yang bergantung pada beasiswa berantakan karena tragedi itu. Hidupnya di rumah sebagai anak perempuan yang mesti kuliah dan berperilaku baik berantakan pula. Sur mengobarkan keinginan untuk menuntut keadilan bagi siapa yang menyebabkan tragedi dan membuat hidupnya berantakan.

Poin menarik: Fiksi-fiksi tentang kekerasan seksual

Sebagai film yang memilih cara tutur fiksi, Penyalin Cahaya secara apik memotret kekerasan seksual dalam semesta yang tuntas. Seluruh ranah yang terlibat di dalam kekerasan seksual hadir dengan tegas dan jelas. Baik dalam hubungan saling mendukung maupun dalam hubungan yang saling meruntuhkan. Semesta-semesta yang terlibat dalam kekerasan seksual adalah Wacana, Ruang, dan Kekuasaan.

Wacana kekerasan seksual dan narasi kekeluargaan

Semesta pertama yang terlibat dalam kekerasan seksual dalam Penyalin Cahaya adalah wacana kekerasan seksual. Ia bersinggungan dengan entitas yang seharusnya mampu menopang siapapun yang mengalami kejadian buruk tersebut: keluarga. Setidaknya terdapat dua contoh persinggungan tersebut.

Persinggungan pertama terjadi dalam Teater Mata Hari, tempat di mana Sur mencoba hidup di lingkungan barunya di kampus. Keberadaannya di teater digambarkan selalu dalam keadaan yang canggung. Namun, itu tidak jadi soal, karena dua orang yang paling dominan di teater Rama dan Anggun selalu memposisikan mereka adalah keluarga.

Keluarga rekaan dalam teater Mata Hari sialnya merupakan tempat di mana wacana kekerasan seksual terjadi. Seorang laki-laki anggota keluarga rekaan melakukan sesuatu tanpa persetujuan sadar Sur. Sialnya lagi seperti yang kerap terjadi, seluruh permasalahan kekerasan seksual harus diselesaikan secara kekeluargaan dengan dalih memelihara keluarga rekaan ini agar tetap utuh.

Persinggungan kedua terjadi di rumah Sur. Keluarga yang sesungguhnya. Keluarga nuklir pada umumnya: Bapak-Ibu-Anak yang masih menjadi tanggungan orang tua. Karena tragedi tersebut ia berkonflik dengan ibunya. Lebih jauh ia diusir oleh bapaknya. Keluarga sesungguhnya yang seharusnya bisa menjadi tempat berlindung Sur, atau paling tidak mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi malam itu hingga ia tidak lagi dibiayai kampus lewat beasiswa, memilih tidak berpihak kepadanya. Mereka memilih untuk menghukum Sur dengan mengusirnya karena abai terhadap moralitas turun-temurun yang disampaikan keluarga untuk tetap berada di garis berperilaku baik.

Ruang pelembaga kekerasan seksual dan ruang digital

Ketika pergi dari rumah dan memutuskan untuk mengobarkan bahwa ia harus mendapat keadilan, Sur berhadapan dengan dua ruang liat. Pertama pelembaga kekerasan seksual bernama kampus dan kedua ruang-ruang digital serupa labirin.

Kampus, digambarkan dengan hampir tepat oleh Penyalin cahaya, adalah ruang besar yang sekuat tenaga melegitimasi istilah for the sake of common goods, untuk kebaikan dan kenyamanan lebih banyak orang. Riak yang diakibatkan oleh Sur merupakan riak yang sederhana dan telah ditanggulangi kampus berpuluh-puluh tahun melalui berbagai cara yang sudah terlembaga. Paling jelas dapat dilihat bagaimana upaya kampus justru menekannya untuk mencabut tuntutannya terhadap laki-laki yang dituduh menimpakan tragedi kepadanya. Lebih banyak kebaikan yang akan dicapai dengan mencabut tuntutan ketimbang memikirkan keburukan yang bagi pihak kampus belum terbukti. Walaupun Sur sudah mati-matian membuktikannya.

Belum tuntas dengan satu ruang, Sur mesti berhadapan lagi dengan ruang liat lainnya, labirin berupa ruang digital. Penyalin cahaya juga sekali lagi menghadirkan gambaran yang tepat mengenai bagaimana ruang digital adalah ruang yang kedap jejak. Sekali orang mendapatkan kekerasan seksual dalam bentuk penyebaran konten digital, maka dipastikan ia akan tersesat ketika memiliki keinginan untuk melacak siapa yang pertama kali menyebarkannya.

Sur berada dalam keadaan demikian. Untuk mendapatkan keadilan yang memang seharusnya didapatkannya, ia memilih jalan yang abu-abu secara moral untuk menemukan jejak di ruang digital.

Kekuasaan yang memaksa banyak orang untuk permisif

Setelah memutuskan untuk tetap berhadapan dengan dua ruang liat tersebut, akhirnya Sur berhadapan dengan permasalahan utama dalam setiap kasus kekerasan seksual, kekuasaan yang memaksa banyak orang di sekitar kasus ini menjadi sangat permisif.

Sur terjebak juga dalam keadaan demikian. Ia mengalami pelecehan seksual, tetapi laki-laki yang melakukannya menyediakan ruang rekaan bernama keluarga. Ia nampak sangat akomodatif ketika Sur mengejar kebenaran. Belum lagi kekuasaan yang berada di pihak laki-laki itu menawarkan jalan pintas untuk mengakhiri keruwetan hidup yang dialaminya akibat kekerasan seksual.

Kolaborasi kekuasaan yang berlebihan tersebut memaksa orang di sekeliling Sur menjadi bersikap permisif dengan dugaan-dugaan yang membuat perut penonton Penyalin cahaya mual. Jangan-jangan itu halusinasi saja kerena kamu mabuk? Bukankah lebih baik kamu melupakan itu semua karena kamu sudah dicarikan jalan keluar? Puncak dari sifat permisif tersebut dilakukan dengan baik oleh Bapak Sur. Ia secara laku badan dan laku batin mengakui bahwa anaknya bersalah dan menyatakan siap menanggung kesalahan anaknya. Laku-laku orang kalah dan permisif.

Mengapa film ini bermasalah?

Dengan paduan-paduan semesta di atas, sudah barang tentu Penyalin cahaya bukan film yang bermasalah. Ia tuntas dalam menceritakan kekerasan seksual dan hal-hal yang melingkupinya. Ia juga paripurna sebagai sebuah produk film. Tapi, cara bertutur film ini ternyata menjadi penyebab film ini bermasalah.

Penyalin cahaya mendaku sebagai sebuah film fiksi. Dalam arti yang paling sederhana berarti film ini menyandarkan cara tuturnya pada sebuah cerita rekaan. Tapi bukan berarti sebuah cerita rekaan menafikan realitas sama sekali. Karena didasarkan pada logika, tentu saja cerita fiksi mesti memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan seandainya cerita rekaan tersebut terjadi dalam kehidupan nyata.

Penyalin cahaya memilih untuk menyampaikan cerita fiksi kekerasan seksual dalam balutan cerita seru. Ia mendorong jalan cerita maju dengan cepat, ketat, dan menegangkan untuk memburu siapa yang menimpakan tragedi pada Sur. Tapi, ini bukan teka-teki detektif siapa yang kemalingan dan siapa yang menjadi maling. Ini adalah teka-teki yang menyita kewarasan korban. Bukankah dalam setiap upaya pemecahan kasus kekerasan seksual selalu terdapat pendampingan untuk memastikan korban tetap terjaga kewarasannya? Lalu di mana hal itu dalam Penyalin cahaya?

Apabila dilakukan perbandingan secara kasar dan hanya memperhitungkan kesamaan tema, terdapat 27 Steps of May yang secara bernas memilih memperhitungkan trauma korban. Apabila kemudian ada yang beranggapan bahwa trauma dalam May dan Penyalin cahaya berbeda, terletak pada adanya penetrasi dan tidak adanya penetrasi, maka apa bedanya mereka dengan orang yang mengolok-olok rencana perluasan arti terma spesifik pemerkosaan dalam terma besar kekerasan seksual?

Sebagai alternatif, Penyalin cahaya akan menjadi film yang tidak terlalu bermasalah ketika ia memutuskan untuk berakhir di adegan Sur dipaksa membuat video minta maaf. Adegan itu akan membuat terdapat sedikit kenyataan dalam fiksi. Karena bukankah setiap korban kekerasan seksual lebih sering berakhir sebagai orang kalah dibandingkan orang yang menang? Mereka bukan orang yang memiliki keberuntungan mengumpulkan para korban lainnya, bukan pula orang yang mampu menyusun konsensus dalam satu institusi bernama kampus, apalagi orang yang mampu mendorong gerakan sosial lewat penuturan ulang kisah kekerasan seksual yang menimpa mereka ke pendengar yang lebih luas.

Kesimpulan

Sebagai produk film Penyalin cahaya membuktikan diri bahwa film ini pantas disemati dengan beraneka penghargaan. Segala sesuatu yang berada di dalamnya hampir sempurna: jalinan ceritanya, cara aktor dan aktrisnya berperan, cara pengambilan gambarnya, bahkan sampai pembuatan musik latarnya. Namun sebagai film yang berkaitan dengan banyak lanskap sosial, terutama kekerasan seksual, film ini hanya menjadi narator yang baik saja mengenai kekerasan seksual. Karena di dalamnya kekerasan seksual dianggap sebatas fiksi semata.

Belakangan terdapat riuh rendah di ruang digital tentang pertanyaan apakah sastra dan fiksi dapat digunakan untuk memahami realitas sosial. Sebagian menyatakan bisa, sebagian menyatakan tidak. Masing-masing memiliki argumen yang barangkali diketik dengan tangan yang mengejang. Di suatu hari yang buruk, tiba-tiba tercuit pemberitahuan bahwa penulis skenario Penyalin cahaya dituduh sebagai pelaku kekerasan seksual. Seketika riuh rendah mengenai hal tersebut seharusnya diakhiri. Sebab pada kenyataannya sastra dan fiksi tidak dapat digunakan untuk memahami realitas sosial. Dan Penyalin cahaya telah turut serta melegitimasi kegagalan tersebut. Entah sengaja atau tidak sengaja.