Tak Ada Beda, Karena Mencintai dan Mengimani Sama Sesaknya
Tulisan ini adalah kerinduanku atasmu. Sahabat lamaku, yang juga membesarkanku dengan penuh peluh, kasih dan cinta. Kita memang tidak banyak bicara, tetapi setiap apa yang kita bicarakan selalu lekat dalam ingatanku. Tentang cinta, tentang mati, tentang hidup, tentang kerja, tentang menghantam prosa langitan dan Tuhan. Aku belajar darimu tentang kerelaan. Sengaja tidak pergi ke gereja karena ada hati yang perlu dijaga. Seisi rumah kita memang tidak tahu, kau pernah menangis pilu dihadapanku. Hanya kita berdua saat itu. Saat itu pula kau mengizinkan aku untuk mengejar cita dan baktiku pada telapak yang bersurga. Dalam setiap doa, aku hanya berharap bahwa Tuhan menyampaikan isi hatiku kepadamu. Meskipun kita telah berbeda jalan dan kepercayaan. Cuma satu kepercayaan yang sama dari kita bahwa Internasionale pasti di dunia. Apa bentuknya, kita hanya sama-sama tertawa, percaya saja !
Katamu, mencintai ibu adalah keputusan terbesar dalam hidup. Kau telah memenangkan hatinya, hingga dia menjadi seorang yang seagamamu. Tetapi memang perjalanan spiritual seseorang tidak bisa pernah kita tebak. Tuhan hadir secara tiba-tiba saat kita telah besar dan tumbuh mendengar keputusannya untuk kembali ke peraduan hatinya. Ya, ibu kembali menjadi seorang islam. Dan, kau pernah mengatakan secara sadar bahwa hal itu akan terjadi.
Tetapi kau tetap memilih. Manusia diberikan kebebasan untuk memilih, termasuk pada siapa cintanya akan dilabuhkan. Memilih berjuang sekuat tenaga dan bertahan sekalipun badai sering kali melubangi atap kita. Kau menegakan pilar-pilar kami yang mulai keropos dan hampir runtuh. ‘Jodoh tidak jatuh dari langit, mas. Dia harus diperjuangkan, Apa Tuhan menyebutkan nama siapa jodohmu? Tidak, disebutkan hanya diciptakan berpasang-pasang. Tidak ada namanya cinta pandangan pertama. Aku mencintai ibu tepat saat kau lahir dihadapanku sambil menangis. Disitu aku menjadi sangat mencintainya, melihatnya berjuang untuk sesuatu yang mungkin akan meninggalkan atau ditinggalkan kita di masa depan’, Begitu katamu.
Ya, mungkin apa yang ayah katakan benar, sampai hari ini ibu memang tidak menikah lagi. Sejak kau pergi, ibu hanya gelisah atas dirinya. Terakhir ibu bilang ‘Aku takut tidak ada yang bisa menerimaku seperti papamu menerimaku’, tepat setelah kami persilahkan dia untuk mencari penggantimu. Bisa jadi benar apa yang dikatakan oleh Erich Fromm bahwa “cinta adalah keputusan, itu adalah penghakiman, itu adalah janji. Jika cinta hanya perasaan, tidak akan ada dasar untuk janji untuk saling mencintai selamanya. Perasaan datang dan mungkin pergi. Bagaimana saya bisa menilai bahwa itu akan tetap selamanya, ketika tindakan saya tidak melibatkan penilaian dan keputusan. Cinta bukanlah sesuatu yang alami. Melainkan membutuhkan disiplin, konsentrasi, kesabaran, iman, dan penanggulangan narsisme. Itu bukan perasaan, itu adalah praktik.”
Padahal, jika kau mau ber-Islam, mungkin ibu akan mengizinkanmu untuk melakukan poligami. Kau bisa memiliki 4 istri yang patuh atas nama agama. Menyetubuhi mereka secara bergiliran asal kau tetap mampu berlaku adil. Tapi kau memilih setia pada janjimu dalam dalam sakramen pernikahan seperti di Matius 19:5-6 “Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Kau memilih menyingkir dalam sepi di sudut belakang rumah. Membangun ruang tidurmu sendiri, sekalipun aku tau engkau sangat ingin memeluk ibu dan menciumnya. Tetapi kau takut itu disebut zina. Karena kalian telah berbeda agama.
Lebih mudah untukku nanti, karena Islam masih mengizinkan aku menikahi yang berbeda di agama. Aku masih bisa mengantar istriku ke gereja atau sinagog setiap hari sabtu. Sekalipun dengan banyak syarat dan syariat. Seperti biasa, itulah agama. Meskipun begitu, bukankah pada masa Rasul Muhammad tidak semua orang ber-agama Islam? Tapi untuk masa kini, seperti Buya Hamka bilang, pernikahan beda agama sebaiknya dihindari, karena telah banyak umat yang memeluk agama yang sama. Karena takut dianggap merusak norma, tata cara, kebudayaan dan aturan agama. Seperti para pastur yang memilih diri tidak menikah. Tidak lain karena Yesus sepanjang hidupnya tidak pernah menikmati pernikahan. Mereka mengikuti jalan Yesus sebagai panutan mereka dalam beragama. Agama memang lekat dengan arus kebudayaan masyarakat. Bertumbuh dan berkembang sesuai dengan kontekstualisasi zamannya.
Muhammad lahir bukan dari kekosongan zaman, saat itu telah ada banyak aliran agama yang berkembang. Bermacam-macam aliran yang tumbuh dari setiap golongan seperti Kalsedonian, Nestorian, maupun Arian. Mereka telah memeluk bermacam-macam agama setelah kenabian Isa berhenti. Melalui Alquran, kita justru mengetahui bahwa Muhammad adalah seorang Bani Israil. Setelah membaca Thomas McElwain dalam The Beloved and I bisa jadi Muhammad adalah seorang proto-nasrani yang memang tengah melanjutkan sejarah kenabian agama Abaraham pasca Isa.
Pandangan utama Muhammad adalah jalan keselamatan bagi semua manusia, tidak hanya pada golongan Bani Israil saja, seorang humanis-universal. Hal ini sekaligus antitesa dari dokrin extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar gereja),. Hari ini kita lekat memahami doktrin ini diakui oleh mahzab katolik roma, meskipun beberapa mahzab kekristenan lainnya juga mengakuinya pada masa itu.
Bukan merupakan sebuah kebetulan juga pada Konsili Ekumenis Vatikan Kedua atau Vatikan II (1962–1965) berabad-abad setelah nabi wafat, Katolik Roma mengubah pandangan extra ecclesiam nulla salus. Gereja Katolik merubahnya secara moderat dengan menjelaskan bahwa terdapat kemungkinan keselamatan bagi orang-orang yang bukan karena dirinya tidak mengenal kristus dan gereja. Penjelasan selanjutnya cukup menarik yaitu, asalkan mereka hidup mencari Tuhan dan melakukan perintah-perintah-NYA sebagaimana diketahui lewat hati nurani, dan asalkan ia bertobat dan hidup dalam iman dan kasih. Sebab dengan hal-hal ini orang tersebut dapat diandaikan bahwa ia menginginkan Pembaptisan, seandainya mereka sadar akan peranannya demi keselamatan.
Kemudian, Gereja katolik mengantinya dengan “Keselamatan datang dari Kristus melalui Gereja Katolik” untuk menjelaskan kepada khalayak luas tentang perubahan doktrin tersebut. Sementara ajaran tentang extra ecclesiam nulla salus tetap diajarkan bagi kalangan mereka sendiri secara eksklusif di dalam Gereja Katolik. Kemudian apa yang berbeda dengan ajaran Muhammad dan penjelasan hasil Konsili Vatikan II ini?
Tulisan di atas merupakan pengantar untuk melanjutkan ceritaku. Karena beberapa kali ayahku sempat bertanya kepadaku, “apakah aku harus menjadi Islam?”. Ya, jika kau hendak mengimaninya, tetapi tidak jika engkau hanya terpaksa dan belum menemukan jalannya, iman mu adalah kepercayaanmu, jadilah sesuatu menurut kehendak-NYA” Jawabku. Sesaat setelah itu kau mengingatkanku tentang sepuluh perintah Allah ditambah kutipan dari Matius 19:21 Kata Yesus kepadanya: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Kita tertawa bersama saat itu. Selepas kepergianmu, aku baru sadar, ternyata kau memang meninggalkan semuanya. Namamu benar-benar hanya tercatat dalam nisan dan buku doa mengenang 1000 hari kepergianmu.
“Memberi adalah ekspresi potensi tertinggi. Dalam tindakan memberi, saya mengalami kekuatan, kekayaan, dan kekuatan saya. Pengalaman peningkatan vitalitas dan potensi ini membuat saya gembira. Saya mengalami diri saya sebagai meluap-luap, menghabiskan, hidup, karenanya gembira. Memberi lebih menggembirakan daripada menerima, bukan karena itu adalah perampasan, tetapi karena dalam tindakan memberi terletak ekspresi dari semangat hidupku.” begitu kata Fromm. Aku bahkan tidak kalah bangga dengan cerita Habibi dan Ainun. Di depan mataku terpampang jelas dua orang yang berbeda agama, latar belakang, cara berpikir dan prinsip saling mencintai begitu kokoh hingga maut benar-benar memisahkan.
Aku akan mengutip salah satu ceramah dari Quraish Shihab, seorang tokoh agama ditawarkan ayahku untuk ku dengar saat aku memutuskan belajar Islam. Kata Quraish Shihab “Ada jodoh yang sudah ditetapkan Allah dan tidak berubah, ada malam dan siang (jodoh). Untuk manusia diberikan kebebasan (terbatas) untuk memilih. Karena manusia memiliki kemampuan untuk berusaha. Manusia bukan seperti daun yang dihembus oleh angin dan mengikuti kemana arah angin pergi.”
Melihat mereka mengingatkanku pada salah satu filosof dan sufi kontroversial bernama Ibnu’l Arabi dalam sebuah puisinya yang berbunyi “aku sebelum ini menolak temanku karena agamaku tidak dekat dengan agamanya. Tapi kini hatiku dapat menerima aneka bentuk. Ia adalah arena penggembalaan kijang juga biara para pendeta rumah aneka berhala serta ka’bah bagi yang tawaf. Juga lembaran-lembaran taurat dan mus’haf alquran. Aku menganut agama cinta kemanapun ia mengarah, cinta adalah agamaku, dan dia adalah imanku.”
Memang sangat sulit mendefinisikan cinta, mulai dari filosof maupun orang awam berusaha untuk mendefinisikan apa itu cinta. Ada yang mengatakan Cinta dan perang adalah hal yang sama, dan siasat dan kebijakan sama diperbolehkannya di satu sama lain. Atau cinta adalah permainan antara dua pihak, keduanya bisa sama-sama menang atau sama-sama kalah. Cinta seperti naik sepeda, pada mulanya sulit, terjatuh-jatuh, ketika sudah mahir di jalan yang terjal tanpa memegang kendali. Cinta adalah dialog antara dua aku, yang memaksakan kehendaknya bukan berdialog itu bukan cinta.
Tetapi perkawinan ayah dan ibuku merupakan contoh hidup bagaimana cinta dan iman tumbuh bersama. Keduanya tak saling menyangkal sekalipun harus bertoleransi dan bermoderasi dalam menjalani hidup. Seperti kata Jalaluddin Rumi bahwa “Cinta mengubah kekasaran menjadi kelembutan, mengubah orang tak berpendirian menjadi teguh berpendirian, mengubah pengecut menjadi pemberani, mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan, dan cinta membawa perubahan-perubahan bagi siang dan malam. Tidak perlu membakar selimut baru hanya karena seekor kutu, juga aku tidak membuang muka dari kau hanya karena kesalahan yang tak berarti.”
Cinta mereka bekerja untuk saling melengkapi kekurangan mereka. Sementara iman mereka bekerja untuk menguatkan diri mereka sendiri. Meskipun tidak ada yang benar sempurna. Manusia adalah subjek yang terus meng-ada dalam proses kehidupan. Kembali mengutip Rumi bahwa “Kebaikan yang engkau tegakkan, bagaimanapun juga, ketidaksempurnaannya akan selalu tersembunyi darimu,”. Kelemahan dan ketidaksempurnaan manusia menjadi tanda agar kita terus berusaha. Mencintai tuhan berarti mencintai ciptaaanya. Beriman kepada Tuhan berarti memberikan penghargaan dan derajat setinggi-tinggi pada semua mahluk ciptaannya.
Mungkin mereka adalah seorang Ubermensch dalam pandangan Nietzsche. Seorang yang mencoba memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke seberang dunia. Mereka adalah kehendak atas diri dan pilihan mereka untuk selalu mengatakan ‘ya’ pada segala hal dan siap menghadapi tantangan. Berusaha tidak menyangkal ataupun gentar dalam menghadapi berbagai dorongan hidup yang terlampau dasyat. Bahkan Nietzsche juga menjelaskan bahwa seorang manusia unggul siap berhadap dengan konflik, manusia akan tertantang dan segala kemampuan yang dimiliki akan muncul dengan sendirinya secara maksimal. Maka, tidak ubahnya seperti perang, bagi mereka mencintai dan keimanan adalah medan perang dan konflik yang berkecamuk dalam diri dan antar mereka.
Mereka telah sepenuh-penuhnya menjalani fatum brutum amorfati, menghidupi hidupnya sehidup-hidupnya. Memandang keimanan sebagai jalan keselamatan menuju illahi, sembari menumbuhkan cinta sebagai jalan keselamatan menuju diri. Lalu dimanakah letak agama dalam diri mereka? Saya akan memberikan sebuah kutipan yang bisa ditafsirkan sesukannya berikut “Jika kamu pernah disakiti oleh agamamu, oleh para pemangku wewenangnya, atau oleh komunitasnya, ketahuilah bahwa kekhalifahan yang bertugas mewakili dan membela Islam telah membantai dan memenjarakan keluarga Sang Nabi,” kata Michael M. Knight.
Mungkin, mereka telah memahami bahwa keimanan berbeda dengan keagamaan. Iman adalah kepercayaan atas sesuatu (bisa jadi Tuhan) dengan memberikan diri secara pasrah namun tetap berusaha dalam doa. Karena sejatinya segala persoalan dalam kehidupan meskipun selalu ada jawaban akan sangat sulit jika terbentur pada tembok norma, adat, budaya dan agama. Batas antara keyakinan pada keimanan dan keinginan diri bisa saja sangat tipis. Bisa jadi suara hati adalah bisikan atas keinginan diri yang paling dalam, namun sulit diterjemahkan secara verbatim.
Menjadi lebih mudah mengasosiasikannya suara hati sebagai representasi Tuhan sebagai wujud yang ada. Apa itu skizofrenia, delusi, halusinasi, dan lainya, biarlah itu menjadi bentuk kepercayaan mereka akan sesuatu yang mencoba di-ada-kan. Setidaknya mereka telah berusaha hingga maut memisahkan, cinta dari lainnya tak mampu tergantikan dengan lainnya. Sementara iman mengganti cinta mewujud dalam kesalehan dan ketakwaan kepada Tuhan yang telah dipilih. Karena dari semua perjalanan itu, mencintai dan mengimani tetap sama sesaknya, begitu kiranya saya menangkap makna kata dari setiap perbincangan bersama mereka. (HSA)
Catatan pendukung:
1. Berdasarkan hasil riset Yayasan Al Atsar Al-Islam (Magelang) dan dalam rangkaian investigasi diperoleh data bahwa mulai tahun 1999-2000 Kristen dan Katolik di Jateng telah meningkat dari 1-5 persen diawal tahun 1990, kini naik drastis 20-25 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
2. Dari laporan Riset Dep. Dokumentasi dan Penerangan Majelis Agama Wali Gereja Indonesia, sejak tahun 1980-an setiap tahunnya laju pertumbuhan umat Katolik: 4,6 persen, Protestan 4,5 persen, Hindu 3,3 persen, Budha 3,1 persen dan Islam hanya 2,75 persen.
3. Dalam buku Gereja dan Reformasi penerbit Yakoma PGI (1999) oleh Pendeta Yewanggoe, dijelaskan jumlah umat Kristiani di Indonesia (dari Riset) telah berjumlah lebih 20 persen. Sedangkan menurut data Global Evangelization Movement telah mencatat pertumbuhan umat Kristen di Indonesia telah mencapai lebih 40. 000. 000 orang (19 persen dari total 210 jumlah penduduk Indonesia)
4. BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia melaporkan penurunan jumlah umat Islam di Indonesia. Contohnya di Sulawesi Tenggara turun menjadi 1,88 persen (dalam kurun waktu 10 tahun). Demikian pula di Jawa Tengah, NTT dan wilayah Indonesia lainnya.
5. Dalam Kiblat Garut 26 Juni 2012, Menteri Agama RI saat itu, Suryadharma Ali mengatakan, dari tahun ke tahun jumlah umat Islam di Indonesia terus mengalami penurunan. Padahal di sisi lain, jumlah penduduk Indonesia terus bertambah. Semula, jumlah umat Islam di Indonesia mencapi 95 persen dari seluruh jumlah rakyat Indonesia. Secara perlahan terus berkurang menjadi 92 persen, turun lagi 90 persen, kemudian menjadi 87 persen, dan kini anjlok menjadi 85 persen.
6. Menurut data Mercy Mission, sebanyak 2 juta Muslim Indonesia murtad dan memeluk agama Kristen setiap tahun. Jika ini berlanjut, diperkirakan pada tahun 2035, jumlah umat Kristen Indonesia sama dengan jumlah umat Muslim. Pada tahun itu, Indonesia tidak akan lagi disebut sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim.