Pindah Agama, Patah Hatiku Tetap Sama
“Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi, tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari” Pengkotbah 1:9
Ayat tersebut sebagai penggambaran awal bahwa tulisan ini dibuat sebagai hal yang pernah ada dan dibicarakan. Tema yang bagi sebagaian orang telah usang untuk dibicarakan. Di tengah tuntutan bertahan hidup dalam mode produksi dan akumulasi primitif. Overproduksi yang dinanti-nanti tak kunjung hadir sebagai juru selamat kelas pekerja. Hingga milliaran kelas pekerja memilih terbuai dalam dogma. Karena hakikat bekerja bukan lagi perwujudan eksistensi manusia, melainkan hanya insting untuk bertahan hidup semata uang.
Sebagai orang yang tumbuh dalam keluarga dengan berbedaan keyakinan selama puluhan tahun. Perdebatan tentang agama dan Tuhan merupakan makanan sehari-hari. Agama menjadi alat politik bagi kami untuk saling mengintimidasi atas nama surga dan neraka. Tuhan menjadi alat untuk meyakinkan kami bahwa semua akan baik-baik saja, sekalipun kami terpisah. Agama dan Tuhan yang dicitrakan sebagai sebuah kemuliaan hancur seketika menjadi sesuatu yang mengerikan. Dari anggapan yang mengerikan itulah saya mulai mencari tentang bagaimana Agama bekerja dalam kehidupan manusia.
Selama 20 tahun lebih saya adalah katolik yang sangat taat tanpa banyak menggugat. Bahkan terlintas cita-cita untuk menjadi seorang room/pastur. Hidup menjauhi Hasrat dunia dengan mengabdi pada Tuhan atas dasar 3 kaul (Kemiskinan, Kemurnian dan Ketaatan). Saya telah dibaptis dan diurapi. Setiap minggu ke gereja, melengkapi iman dengan mejalani sakramen krisma. Menjadi Misdinar yang membantu pastur melaksanakan liturgi. Berpantang di hari jumat sepanjang tahun, mengikuti jalan Musa, Elia dan Yesus berpuasa selama 40 hari pada masa prapaskah pada usisaya yang menginjak 17 tahun. Meskipun gereja menerapkan syariat yang memperbolehkan saya berpuasa dan berpantang hanya di Rabu Abu dan Jumat Agung. Menjalani sakremen pengsayaan dosa setiap jumat di minggu kedua setiap bulan.
Tetapi dari semuanya, saya sangat senang ketika menerima komuni pertama. Tak lain karena saya diberi kesempatan memakan tubuh Yesus (hosti/roti) dan mencecap darahnya (anggur) dalam sebuah cawan. Ini dinamakan transubstansi, substansi dari roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Jadi yang tinggal hanyalah rupa roti dan anggur, tetapi substansi roti dan anggur sudah lenyap, digantikan dengan kehadiran Yesus. Sayapun harus menaruh hormat di depan tabernakel dengan berlutut dan menundukan diri sebagai ‘tanda’ keterdundukan kita pada-NYA. Ya, anggur gereja merupakan anggur kelas satu yang tidak banyak orang mampu nikmati. Selain harganya mahal, anggur itu juga premium karena dibuat puluhan tahun lalu. Bahkan ketika menjadi misdinar, saya biasanya berebut dengan kawan saya untuk mencecap sisa-sisa anggur setelah perayaan ekaristi selesai.
Tetapi keimanan saya terusik, ketika mendengar ceramah masjid yang berada tepat di belakang rumah. Melalui pengeras suara berbunyi “orang-orang Nasrani dan yahudi adalah orang kafir yang tidak layak mendapatkan surga Allah. Karena menolak jalan keselamatan dari Muhammad”. What the F, sebegitu rajinnya saya beribadah dan melakukan hampir semua perintah Tuhan, namun saya tak akan mendapatkan surga. Benarlah, keinginan saya menggebu-gebu untuk mencari pangkal dari ceramah itu. Dalam pencarian itu, saya bahkan pernah menggunakan Islam sebagai alat politik. Saya dipilih sebagai ketua sebuah organisasi mahasiswa Islam di kampus hanya dengan bermodalkan kata “Saya Islam”. Ya memang saya tengah mempelajari Islam kala itu. Bukan main-main, saya belajar kristologi kepada pastur dan bruder. Belajar Islamologi kepada ustad dan santrinya. Bagi sebagian orang, panggilan islam atas diri saya adalah panggilan Tuhan. Sebuah mukjizat dan karunia yang patut saya syukur. Tidak, saya mempelajari Islam karena perwakilan mereka telah mengatakan saya tak layak masuk surga. Kebencian saya terhadap Islam membuat saya ingin belajar agar lebih mudah untuk mengolok-oloknya.
Sama seperti Katolik yang mulai membosankan karena banyak menutupi banyak hal. Vatikan hanya institusi agama yang memberi legitimasi atas penutupan beberapa fakta tentang agama mereka. Jika Vatikan jujur pada kebenaran agamanya. Saya meyakini agama ini akan runtuh sejadi-jadinya. Tetapi biarlah, agama memang menanamkan dogma bagi pengikutnya. Kala itu, jikapun saya harus percaya agama, maka Kristen adalah Yesus, Yahudi adalah Musa, Islam adalah Muhammad. Selain itu mereka semua hanya seorang pengikut yang ingin “menjadi” diri seperti Nabi. Mungkin mereka (nabi) adalah satu-satunya orang yang mampu mendengar Tuhan. Tetapi pengikutnya hanya bisa mencecap sisa-sisa nisbi Tuhan.
Berkenalanlah saya dengan Islam, agama yang muncul dari suatu tradisi semit kuno. Agama paling muda dalam rentetan sejarah Abaraham/Ibrahim yang ditahbiskan sebagai bapak agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam). Tak tanggung, saya melumat berbagai macam literatur tentang agama-agama tersebut. Sampailah pada kesimpulan bahwa tiga agama masih merupakan saudara sekandung satu bapak. Ibarat kakak-beradik, agama ini selalu bertengkar memperbutkan pengaruh atas jalan keselamatan menuju Surga atau Kerajaan Allah dimana Tuhan berada. Menurut saya, menjatuhkan pilihan kepada Islam kala itu adalah pilihan yang rasional. Islam muncul untuk melengkapi keduanya. Namun saya berpikir, kenapa tidak semua orang yang beragama samawi memilih Islam sebagai jalan terkahirnya? Jika Islam muncul sebagai pelengkap dan penyempurna dari keduanya lalu untuk apa agama lain masih eksis?
Saat itu, kupikir Islam merupakan keindahan, tempat dimana saya bisa berlabuh dan menemukan ketenangan. Ternyata masih terdapat 73 golongan yang hari ini masing bertempur berebut kuasa atas tafsir Tuhan. Saling menghinakan dan menyingkirkan, padahal mereka semua adalah sama. Saya membacanya terkait sejarah Karbala, dimana Husain yang merupakan cucu Muhammad dibunuh atas kebencian yang diajarkan Muawiyah kepad anaknya. Setelah itu, jazirah arab dipimpin oleh seorang Khilafah yang sudah melakukan pembunuhan terhadap cucu nabi mereka, Yazid namanya. Sama halnya pertarungan Katolik dan reformis yang melahirkan Kristen. Semua juga memiliki aliran yang berbeda dan saling berebut pengaruh. Sama-sama menawarkan jalan menuju surga dan menghindari neraka. Tetapi justru mereka membuat neraka lebih dulu ada di dunia sebelum Kerajaan Allah tiba.
Tuhan tak lebih jauh dari urat nadi katanya. Tetapi menggorok leher orang lain mungkin cara paling paling cepat untuk mengetahui keberadaan Tuhan. Mungkin lebih baik menggunakan tangtop dan hotpans dalam sebuah misa ekaristi. Karena yang penting adalah niat kita tunduk pada Tuhan. Sembari membiarkan penutupan dokumen skandal pelecehan seksual di Vatikan. Bisa jadi, 3 kaul yang menjadi dogma katolik perlu ditinjau ulang dan membuka kembali lembar viri probati. Tradisi Apostolik mungkin sudah tidak relevan, harus berganti menjadi tradisi modernitas yang menujung tinggi kebebasan, kesetaraan dan keadilan. Manusia memang hanya seorang “alter Christus” (Kristus yang lain), dan bukan benar-benar “ipse Christus,” (Kristus itu Sendiri).
Hasrat binatang manusia memang tidak perlu di bendung sedemikian rupa melalui dogma ketaatan dan kemurnian. Biarkan seperti para ustad yang menikah dan memiliki banyak istri sembari mencuri-curi pandang dalam keimanan mereka. Kesalehan mereka dalam lima waktu memang kadang luput sehingga masih tetap ingin menyetubuhi santrinya ketimbang istrinya. Kristen malah merubah dogma kemiskinan dari Katolik menjadi spirit mencari kekayaan di Dunia. Menjadi kaya memudahkanmu untuk menjadi seorang filantropis, sembari tunduk pada hukum pasar dan akumulasi kapital. Seseorang juga bisa menjadi yang dermawan membantu orang lain, yang nantinya bantuan itu digunakan kembali untuk membeli produk yang seorang dermawan itu ciptakan.
Bukan, itu oknum. Hehehehe, ya itu semua oknum. Kita semua adalah oknum yang mencoreng penciptaan Tuhan terhadap manusia. Oknum yang mencoreng nama baik manusia yang dikatakan-NYA amat baik. Sama dengan alat represif negara dengan melakukan kekerasan dan pembunuhan terhadap rakyatnya sendiri yang mempertahankan hak hidupnya. Mereka juga hanya oknum yang menggunakan baju tentara dan polisi untuk memukul dan menginjak harkat martabat manusia lainnya. Atau seperti oknum anggota dewan yang merepresentasikan rakyat agar bekerja untuk menuju kesejahteraan bersama. Namun, lebih banyak tidur siang, makan, dan meminta banyak tunjangan kerja. Jadi, kita memang oknum yang memperburuk rupa dunia dengan sadar !
Jadi jelas, akan sangat sulit menyatukan agama yang muncul dengan rentang waktu dan sejarah berbeda menjadi satu agama Tuhan. Bahkan untuk membentuk jargon NKRI harga mati pun Indonesia harus melakukan beberapa kali penaklukan dan pemberangusan. Untuk menjadi NKRI harga mati, Indonesia harus melakukan dekonstruksi sejarah sampai membawa-bawa Majapahit untuk legitimasi kekuasaannya. Melakukan perubahan insititusi sosial secara massif agar Indonesia disayai sebagai State as Holy Ghost yang berarti negara adalah penjelmaan Roh Absolut (organ suci) menurut Hegel. NKRI disakralkan karena negara adalah langkah Tuhan di bumi. Roh Absolut menandakan adanya pandangan Hegel yang mensakralisasi negara merupakan the State is divine idea as it exists on earth, sebagai wujud keterlibatan Tuhan di bumi.
Apalagi untuk institusi sekelas 3 agama tersebut, yang penganutnya lebih dari 3,7 milliar orang. Apa jadinya dunia juga semua orang menjadi Islam. Bahkan dalam cerita sejarah agamapun, kekuasaan memang mengakomodir agama seperti Romawi mengakuisisi Kristen sebagai agama Negara. Perang dan penaklukan juga selalu bertali-kelindan dengan persebaran agama. Sekalipun belum pernah ada catatan bahwa Yesus, Musa maupun Muhammad melakukan pembunuhan.
Tetapi yang jelas pengikutnya melakukan itu. Jadi, pindah agama secara massal karena ada agama yang sempurna, sama saja menciptakan revolusi sosial ditengah masyarakat kapitalistik. Bukankah kita juga sama mengamini kapitalisme sebagai sistem yang taken for granted? Sama seperti kita meyakini agama kita? Kita sama-sama mempercayai keduanya sebagai sistem kehidupan yang harus dijalani oleh manusia sampai kiamat atau overproduksi benar-benar terjadi. Agama tidak akan mudah dipersatukan hanya karena klaim kebenaran Illahi. Terdapat kuasa, stabilitas sosial, motif ekonomi, struktur sosial, dan politik yang tidak mudah digugat.
Agama memang diciptakan untuk mengatur cara hidup manusia. Setiap agama memiliki syariat yang sama-sama sulit bila kita ingin menjadi umat yang taat. Untuk aliran samawi, beberapa syariat memiliki aturan yang sama. Namun, tidak bisa dilepas dari konteks sejarah saat agama itu ada dan bertumbuh. Seperti Paus yang melakukan konsili untuk menentukan bagaimana agama bekerja untuk manusia.
Begitupun para ulama yang berijtihad agar agama mampu menjadi jawaban bagi manusia. Dalam Imamat 11:7 dan Al-Maidah 3 sama mengatakan babi merupakan yang haram. Sama dengan larangan meminum minuman keras, dalam Imamat 10:9-10 dan Al-Maidah 5:91. Oleh para ulama fiqih dan cardinal aturan-aturan tersebut ditafsirkan agar manusia mudah memahaminya. Ada yang total melarang, tetapi ada juga yang memperbolehkan dengan syarat. Jadi saya tidak akan membicarakan agama lebih rumit dari itu. Memilih mentertawakan diri sendiri karena memang saya bukan merupakan siapa-siapa dalam semesta yang agung ini.
Saya yakin bahwa agama adalah sistem moral sosial sebagai representasi “Tuhan” yang tidak pernah benar-benar terjangkau oleh manusia. Agama bisa jadi representasi Tuhan, tapi agama bukan Tuhan. Sebaliknya Tuhan bukan agama, dan Tuhan tidak merepresentasikan agama. Seperti pada pemikiran revolusioner Immanuel Kant tentang substasi dan aksiden.
Ada sebagai ens commune (ada ciptaan) memiliki substansi-aksiden yang mana kedua prinsip tersebut tersatukan dan saling melengkapi ada. Maka, substansi-aksiden membangun cara mengada yang paling fundamental dari ada ens commune karena substansi-aksiden adalah struktur ada. Sebuah pohon cemara yang menghiasi taman kota menjulang tinggi dengan daun-daunnya yang lebat, warnanya hijau dan bentuknya yang tinggi. Yang disebut dengan substansi adalah pohon sementara warnanya, tingginya merupakan aksiden. Mungkin begitu gambaran relasi Tuhan dan Agama dalam pemahaman manusia.
Maka, saya lebih risau menjalani kehidupan dalam dunia yang tidak pernah muncul seperti indahnya gambaran Tuhan. Seperti kata Karl Popper dalam In Search of a Better World, “The question is not ‘Who should rule’ or ‘Who is to have the power?’ but ‘How much power should be granted to the government?’ or perhaps more precisely ‘How can we develop our political institutions in such a manner that even incompetent and dishonest rulers cannot do too much harm?’ In other words, the fundamental problem of political theory is the problem of checks and balances, of institutions by which political power, its arbitrariness and its abuse can be controlled and tamed.” Mungkin kutipan itu sedikit berguna menjelaskan bagaimana seharusnya kekuasaan negara dan agama bekerja bagi manusia.
Di tengah menghadapi fakta bahwa ribuan rumah kosong mentertawakan kita karena tak mampu terbeli. Pengharapan dan ekspektasi terhadap manusia lain yang justru lebih sering melukai kita. Jodoh yang tak pernah disebutkan namanya menuntut kita harus melakukan ikhtiar meskipun harus patah hati berulang kali karena berbeda preferensi dan selera. Rejeki yang bisa berupa apa saja, tetapi yang pasti terdapat 10% orang dari seluruh polulasi dunia menguasai lebih dari 50% perputaran uang global. Biaya kuliah anak yang semakin tinggi. Usaha gagal karena sistem ekonomi yang tengah krisis dan kredit bank yang tidak bersahabat. Pemerintah yang semakin otoriter, koruptif dan menganggap murah hak hidup manusia. Agama yang masih menjadi alat penaklukan dan intimidasi.
Kekuasaan yang disalahgunakan hanya untuk bertindak seenaknya dan semaunya. Kembali lagi, pada siapa akhirnya kita akan bersandar? Biarlah saya berdoa dalam perpustakaan berisi buku-buku yang menceritakan tentang perang dan pembunuhan. Dalam kamar mandi sambil menikmati masturbasi. Di Lorong sempit gang kota dimana anak-anak tak punya lagi ruang bermain. Disudut dan bilik Gedung tinggi dimana para pekerja mengalami kehawatiran akan di PHK. Dimanapun.
Karena, pencarianku hingga pindah, patah hatiku tetap sama. Bukan pada Tuhan, tetapi pada manusia yang merupa tuhan. Tuhan tetap ada dalam diri saya, dia lebih dekat dari nadi saya. Tapi sangat jauh dari klaim kebenaran dunia yang ada di depan mata kita. (HSA)