Sepanjang hayatnya, Sono tinggal di tanah warisan orang tuanya. Ia tidak hanya tinggal, namun juga bekerja di cucian bus dan truk di sana yang merupakan usaha keluarga besarnya.
Dalam waktu selama itu, ia bersentuhan dengan segala sesuatu yang hidup di sekitarnya. Mulai dari manusia yang datang dan pergi melalui cucian, hantu-hantu yang tinggal di sebuah kuburan di belakang cucian, sampai hantu-hantu jenis baru yang muncul di sekitar tempat tinggalnya melalui proses yang sama sekali tidak pernah ia ketahui namanya: Gentrifikasi.
Kisah-Kisah Hantu Lama
Menyusur ke arah utara sebuah jalan besar yang dinamai dengan nama seorang Haji, akan ditemukan pertigaan yang ditandai dengan bangun segitiga. Bangun tersebut sama sekali bukan bekas markas Alien. Juga bukan simbol bahwa masyarakat setempat menganut sekte bebas iluminati. Ia hanya merupakan penanda pertigaan yang lazim ditemui di Purwokerto.
Segitiga tersebut akan memberikan pilihan pada pengguna jalan apakah akan menggambil jalan lurus, yang mengarah ke Baturraden lengkap dengan konotasi negatif ungkapan“meng nduwur”, atau mengambil jalan berbelok ke kiri. Apabila pengguna jalan memilih belok kiri selang beberapa meter setelah pilihan tersebut mereka akan disambut dengan deretan tempat-tempat makan kelas menengah, sawah-sawah yang mencoba bertahan hidup, dan cucian mobil sekarat.
Cucian mobil sekarat tersebut tidak berbentuk seperti cucian mobil yang terletak di pusat kota: Cherry, Auto Resik, atau car wash-car wash lainnya. Tidak ada perlengkapan hidrolik untuk mengangkat mobil atau semprotan pemancar busa tebal yang menimbulkan terminologi tenar “cuci salju”. Mereka berbentuk hanya seperti genangan air di kolam saja.
Di belakang cucian paling ujung barat terdapat 4 rumah. Mereka yang tinggal di situ merupakan trah dari keluarga besar Sanwireja. Ia merupakan petani besar yang memiliki sejumlah tanah di Pabuwaran. Salah satunya adalah tanah yang sekarang menjadi cucian tersebut. Tanah-tanah lainnya diwariskan kepada anak-anaknya yang berjumlah 14 orang.
Tidak semua tanah dimanfaatkan dengan baik oleh anak-anaknya. Sebagian berhasil dijaga fungsinya sebagai sawah, sebagian terpaksa diubah menjadi tempat tinggal cum tempat usaha, sedang sebagian terpaksa dilepas karena pemiliknya terlilit hutang akibat kegemaran cal-cul di arena judi.
Sono adalah anak ke 9 dari Sanwireja. Ia adalah salah satu contoh anak yang menggunakan tanah warisan sebagai tempat tinggal yang dekat dengan tempatnya bekerja di cucian. Selama bertahun-tahun, ia hanya bekerja di tempat itu sambil menerima pekerjaan serabutan sebagai kuli bangunan atau menjadi buruh tani.
Selama tinggal di sana, Sono mengalami persinggungan dengan banyak hal yang sebelumnya memang telah tinggal mendahului keberadaannya, atau yang datang lalu pergi. Pengalaman-pengalaman tersebut didapatnya dari dua hal yang berlalu lalang di sana, yang terlihat mata dan yang tak terlihat mata.
Pengalaman dengan yang terlihat mata sepertinya bukan merupakan sesuatu yang menarik karena setiap orang lazim mengalaminya, sebaliknya pengalaman dengan yang tidak terlihat mata akan menjadi sesuatu yang lebih menarik diceritakan karena melibatkan hal-hal ganjil yang tidak dialami semua orang.
Menurutnya, pengalaman tersebut disebabkan karena di belakang cuciannya, makam keramat bernama Kadalmeteng masih bertahan dengan tampang yang mampu mengintimidasi bahkan Chuck Norrispun. Bagi sebagian besar warga yang tumbuh, besar, dan selalu tinggal di Pabuwaran, Kadalmeteng merupakan pabrik aktif yang sampai hari ini masih memroduksi cerita-cerita hantu.
Sejak awal tinggal di sana Sono beserta istrinya mulai bersinggungan dengan hantu-hantu dari Kadalmeteng. Pengalamannya beragam mulai yang standar dibuntuti orang yang memiliki ukuran tubuh di luar ukuran tubuh manusia normal, melihat ular yang tak terlihat ujung kepala dan pangkal ekornya, sampai yang paling parah bermimpi didatangi seorang tua yang berujung pada meriang selama beberapa hari.
Hal-hal ganjil tersebut pada awalnya membuatnya berpikir untuk pergi dari tanah warisan bapaknya. Tapi, karena meninggalkan terlalu banyak hal di sana, mulai dari kenangan sampai tempat mencari penghasilan, ia akhirnya memilih untuk bernegosiasi dengan membiasakan diri hidup berdampingan dengan para hantu dari kuburan Kadalmeteng yang kerap keluar dari wilayahnya untuk menampakkan diri.
Gentrifikasi
Ketika Sono mulai bernegosiasi dengan keadaannya, di sebelah utara-timur kuburan Kadalmeteng sebuah resto kelas menengah-atas bernama Red Chilly selesai dibangun dan mulai beroperasi. Berdirinya resto tersebut memberikan efek sosial yang sangat besar bagi wilayah di sekitar utara Pabuawaran.
Apa yang dialami Sono, bersinggungan dengan hantu, bukanlah merupakan pengalaman pribadi atau perorangan. Bersinggungan dengan hantu adalah pengalaman kolektif di Pabuwaran. Artinya hampir semua orang di Pabuwaran pernah bersinggungan dengan hantu. Baik dalam pengalaman melihat, ditakut-takuti sampai tunggang langgang, atau bahkan hidup berdampingan menahun.
Memori kolektif tersebut mendorong terciptanya stigma bahwa Pabuwaran adalah daerah yang terbelakang dalam perspektif modernitas. Sebab dalam segala sesuatu yang meminjam kacamata modernitas, ruang bagi hal-hal yang demikian, hantu, sesuatu yang tidak terlihat mata, dan susah dijelaskan melalui pengetahuan yang bersifat biner: masuk akal-tidak masuk akal, dihapus sama sekali. Daerah terbelakang tentu saja akan berkaitan erat dengan masyarakat kelas bawah.
Pada awal 2010 tiba-tiba wilayah di sekitar cucian tempat Sono bekerja menjadi tempat-tempat makan kelas menengah yang pembangunannya mendasarkan diri pada keberhasilan spekulasi Red Chilly. Tempat-tempat makan tersebut rata-rata menawarkan sensasi makan di alam terbuka dengan sawah atau tanah kosong bersemak sebagai pemandangan. Sebuah barang jualan khas “eksotisisme buat orang modern”.
Tempat-tempat makan itu antara lain: Tantene, sebuah tempat makan yang meyediakan ayam goreng dengan bumbu khas yang oleh sebagian orang Pabuwaran dinamai Burus. Tantene tidak serta merta membuka tempat makan pertamanya di sana. Mereka sebelumnya memiliki tempat makan besar di bilangan Karangsalam. Mereka memerluas usahanya dengan membuka cabang di pertigaan Pabuwaran sampai tahun 2009an sebelum memutuskan pindah ke utara Pabuwaran.
Bebek Goreng Haji Slamet, sebuah waralaba dari luar Purwokerto yang menyajikan olahan bebek yang dipadu-padankan dengan sambal khas yang dinamai sambal korek. Beberapa orang yang tinggal di utara Pabuwaran sempat mengeluarkan ramalan bernada apokaliptik pada awal pembangunannya. Ramalan yang berasal dari kepercayaan turun-temurun.
Berbeda dengan tempat makan lainnya yang dibangun di wilayah ini yang memang dibangun di atas lahan tidak aktif, Bebek Goreng Haji Slamet dibangun di atas sawah produktif yang saat itu tengah mendekati masa panen. Bagi kebanyakan orang Pabuwaran yang masih atau pernah bekerja menjadi petani, tindakan tersebut merupakan tindakan yang terlalu sembrono, sebab dianggap menyia-nyianyakan pemberian alam kepada manusia. Namun, pada kenyataannya sampai hari ini tempat makan tersebut masih berdiri kokoh di sana. Entah karena memang benar-benar laris atau karena ramalan apokaliptik sekarang sudah tidak memiliki daya apapun di modernitas. Siapapun yang diprediksi menang dari asumsi tersebut, pemenang nyatanya adalah kapitalisme.
Oemah Waluh, merupakan tempat makan yang berdiri tepat di depan cucian tempat Sono bekerja. Mulanya tempat makan tersebut bernama Oemah Daun. Di tempat itu makan dengan cara diambrah-ambrah di atas daun menjadi sensasi makan tersendiri. Mereka bahkan sudah memerkenalkan sensasi makan tersebut before it was cool di Instagram lewat tagar #liwetan #liwetanhits #liwetanootd dan lainnya.
Enjoy, tempat ini tidak bisa dikategorikan menjadi tempat makan. Karena sebetulnya berkonsep kafe dan tidak menonjolkan menu makanan berat di daftar menunya. Kafe ini merupakan tempat yang sepi, namun menyimpan pertanyaan besar mengenai metodenya bertahan untuk terus beroperasi. Di dalamnya, minuman keras dari level alay anggur Orang Tua sampai yang berharga jutaan dipajang secara vulgar. Petinggi sebuah kolektif yang gemar mecelakakan diri dengan menyelenggarakan gigs yang berujung pada hutang puluhan juta rupiah kerap mengadakan hajatannya di sini. Ia kerap ditemukan kewer-kewer dan cerita dirinya gemar berkemih sembarangan di sini saat keadaan tersebut sudah menjadi rahasia umum.
Gereh Lodeh, tempat makan ini adalah tempat makan terakhir yang dibangun di sekitar cucian. Konsep makan yang disajikannya adalah makan dengan harga sangat murah dan menu ala orang desa. Selain itu, sensasi standar “eksotisisme buat orang modern” juga dihadirkan di sini.
Kehadiran tempat-tempat makan tersebut menggeser stigma yang sebelumnya dekat dengan Pabuwaran. Menurut pendapat kebanyakan pemikir, penggeseran stigma melalui perubahan rupa sebuah wilayah dari yang tadinya dekat dengan wilayah kelas bawah menjadi dekat dengan wilayah menengah ke atas disebut Gentrifikasi. Namun, apa yang terjadi di sekitar cucian tempat Sono bekerja tidak dapat dikatakan sebagai gentrifikasi secara penuh. Sebab, proses tersebut biasanya melibatkan penggusuran orang-orang yang sebelumnya tinggal di wilayah tersebut.
Hantu-hantu Baru
Ketika tempat-tempat makan itu mulai beroperasi dan membuat tempat di sekitar cucian tempat Sono bekerja menjadi ramai, ia mendapatkan hasil utama dari Gentrifikasi: cipratan perputaran kapital. Ia menjadi seorang tukang parkir di Tantene. Tidak hanya itu kakaknya mejadi tukang parkir cum caretaker di Gereh Lodeh. Mereka mendapatkan tambahan pendapatan.
Pada suatu malam di bulan September, ia berjanji untuk memberikan beberapa lagi kisah hantu yang baru saja dialaminya. Sebelum menceritakannya, ia bertanya mengapa keramaian sekitar tidak kemudian membuat para hantu yang berasal dari Kadalmeteng memilih wahana unjuk diri di tempat lain saja?
Ia mulai bercerita beberapa malam sebelum wawancara terakhir terjadi, didapatinya sesosok perempuan dengan gaun putih sangat panjang dan rambut hampir menjuntai tanah mondar-mandir sembari cekikikan dari arah Kadalmeteng ke lantai dua Enjoy. Ia tidak berjalan melainkan tidak menjejak tanah.
Selepas menceritakan kejadian tersebut sambil terengah-engah karena masih merasakan rasa takutnya pada malam itu, ia memutuskan rehat sejenak sambil melolos sebatang rokok Djarum 76 yang selalu disyaratkan agar wawancaranya lancar. Saat api sudah membakar rokok dengan sempurna dan hendak melanjutkan ceritanya, istrinya menyambar kesempatan. Ia bercerita mengenai kebiasaan jendela ruang tamunya yang hampir setiap malam diketuk-ketuk. Sono mengiyakan sembari memberikan tatapan terima kasih kepada istrinya yang mengingatkan pengalaman tersebut.
Istrinya melanjutkan kebiasaan tersebut kadang berujung baik, berujung buruk, atau kadang berujung buruk sekali. Dikatakan berujung baik ketika terjadi ketukan di jendela dan ia melongok dari dalam, akan didapati warga yang tengah mengingatkan bahwa rumahnya belum mengisi kotak jimpitan. Dikatakan berujung buruk ketika tidak ditemukan sesosokpun pelaku ketukan di jendelanya. Dikatakan berujung buruk sekali ketika sesosok pocong berdiri di depan jendela. Ia mengatakan pernah mengalami hal itu beberapa kali.
Di ujung wawancara tersebut Sono mengakui bahwa rasa takutnya pada para hantu berasal dari rasa asing. Sesuatu yang seumur hidupnya belum pernah ia lihat tapi seketika muncul dalam bentuk yang asing menimbulkan rasa takut.
Sembari memain-mainkan asap rokoknya ia menutup wawancara dengan pertanyaan mengapa semua cipratan kapital yang dirasakan dari munculnya tempat-tempat makan kelas menengah di sekitar cucian tempatnya bekerja tidak mengubah apapun? Ia masih menjadi orang yang dikategorikan sebagai kelas bawah. Ia dan keluarganya tidak serta merta dapat merasakan akses secara rutin ke sensasi makan yang ditawarkan tiap-tiap tempat makan itu. Perasaan itu memberinya rasa asing yang memunculkan rasa takut yang sama pada bentuk-bentuk yang kerap muncul dari Kadalmeteng. (WR)
Wawancara dilakukan oleh Wiman Rizkidarajat dengan narasumber Darsono & istrinya yang dilakukan selama 6 kali mulai bulan April sampai September 2019. Cerita hantu lainnya di Pabuwaran dapat disimak di https://serunai.co/2017/02/10/sungai-yang-tak-kehilangan-hantu-hantunya/