Sinopsis:
Seorang komposer dan dua rekannya terlihat tengah serius menodongkan alat perekam pada seorang tua yang sedang menyanyikan lagu daerah. Setelah selesai ia mengemasi peralatannya ke dalam van yang membawanya menuju seorang anak perempuan yang juga akan menyanyikan lagu daerah. Saat rehat, salah seorang rekannya, berpangkat direktur, mengunjungi bekas gereja yang telah runtuh. Sepanjang perjalanan tak ada warna lain selain putih salju yang turun kelewat pekat. Komposer itu bernama Wiktor.
Sebuah truk pengangkut penumpang yang menembus salju lebat dan jalan tanah becek berhenti di sebuah gedung tua. Gedung itu disewa sebagai konsentrasi proyek kebudayaan yang diinisiasi Wiktor dan disponsori oleh Partai Komunis Polandia yang kala itu tengah berkuasa.
Para penumpang dipersilakan turun dari truk. Sebelum masuk ke dalam gedung mereka diperingatkan kembali bahwa tugas mereka dalam konsentrasi adalah untuk menunjukkan kejayaan lagu-lagu daerah yang berasal dari kehidupan asli Polandia.
Di ruangan sebelah Wiktor dan rekannya sibuk mengaudisi para peserta proyek kebudayaannya. Di ruang tunggu, seorang perempuan terlihat tidak memedulikan kegugupan yang menguar di sekitarnya. Ia dengan enteng menanyakan pada seorang perempuan lain yang duduk di sebelahnya akan membawakan lagu apa. Mereka akhirnya menyayikan lagu itu di hadapan Wiktor dan rekannya. Setelah dirasa cukup, Wiktor memersilakan salah satu dari mereka untuk kembali ke ruang tunggu. Sedang perempuan lainnya mendapat pertanyaan lanjutan. Perempuan itu bernama Zula.
Di sebuah gedung yang telah dirias sedemikian rupa, proyek kebudayaan ini akhirnya dipertunjukan. Wiktor menjadi konduktor, sedang Zula dan rekannya menjadi penyanyi utama. Lagu yang ditampilkan pertama adalah mengenai seorang bocah yang kehilangan ibunya. Para penonton bertempik sorak atas penampilan tersebut.
Saat rehat menuju penampilan selanjutnya, Wiktor dan rekannya bersantai. Matanya tidak bisa lepas dari Zula, begitu juga sebaliknya. Mereka melakukan hubungan badan singkat di satu ruangan di gedung itu.
Menteri Kebudayaan lalu memanggil tiga orang anggota proyek kebudayaan ini ke dalam ruangannya. Ia puas. Tapi, proyek ini tidak sejalan dengan manifesto Partai saat itu yang berkaitan dengan reforma agraria dan keagungan pemimpin besar mereka, Ioseb Besarionis dze Jughashvili alias Stalin. Mereka mau tidak mau harus mau mengiyakan pesan tersebut.
Penampilan selanjutnya proyek kebudayaan ini menyanyikan lagu pujaan untuk Stalin. Di belakang mereka dikerek besar-besar gambarnya. Wiktor sangat tidak setuju, sedang Zula tak terlalu mengindahkannya.
Proyek kebudayaan tersebut akhirnya mendapat kesempatan tampil di Berlin. Di kereta, Wiktor telah merencanakan untuk menyeberang ke Jerman Barat. Ia tentu saja mengajak Zula. Semua akan berjalan lancar dengan ide begini: Wiktor akan keluar duluan untuk menunggu di perbatasan, lalu Zula akan menyusulnya. Tapi, kenyataannya Ia hanya menunggu seseorang yang tak pernah datang. Ia kehabisan rokok dan cahaya matahari. Ia menyeberang sendiri.
Kejadian tersebut menjadi titik awal kisah cinta sepanjang film yang menggebu-nggebu, saling melukai, dan yang paling penting, menyeberangi dua batas ideologi.
Poin menarik:
Di tangan sutradara lain kisah cinta mungkin akan menjadi hal yang penuh melankoli klise. Tapi di tangan Pawlikowsi dan Zal kisah cinta menjadi luar biasa karena berkaitan dengan sejarah Polandia sekaligus menjadi hal yang sangat politis. Kita tentu ingat kolaborasi keduanya dalam film sebelumnya berjudul Ida yang kurang lebih menggunakan metode praktis yang sama: long shot dan warna hitam putih sekaligus metode bercerita yang sama: kisah cinta berlatar belakang sejarah Polandia.
Namun, tidak seperti Ida yang berjalan dalam waktu yang sesungguhnya singkat, Zimna Wojna mengkapsulisasi waktu hampir 15 tahun dalam filmnya. Film ini adalah gambaran upaya yang sangat keras dari Wiktor dan Zula untuk terus menjaga ungkapan yang diikrarkan pada awal film: mereka akan terus bersama. Meskipun harus melakukan hal yang lebih sulit dibanding ketika Musa menyeberangi laut merah: menyeberangi dua ideologi yang membagi dunia saat itu.
Ambilah adegan tragis ini untuk membayangkan bagaimana Pawlikowsi secara bernas menggambarkan bahwa cinta mampu menyeberangi apapun: Satu waktu Zula rela membahayakan dirinya dengan eksil ke Paris demi menyusul Wiktor. Mereka tinggal di sana beberapa waktu. Ia kemudian mengalami deraan tekanan keterkejutan kultural di negara bebas melalui hal-hal yang tidak mungkin ditemui di negara tirai besi. Ia mengorbankan identitasnya dicabik-cabik dan dicibir.
Saat Zula memutuskan untuk pulang karena keteraturan tirai besi yang terlanjur mengakar sepanjang hidupnya sebagai gadis desa, Pawel yang cenderung lebih berpendidikan rela menyusulnya dengan taruhan jari-jarinya diremukkan di penjara berpengamaman ketat yang sama saja dengan akhir hidupnya sebagai komposer. Ia membalas pengorbanan Zula.
Cinta yang saling berbalas, meskipun ditebus dengan kenyataan yang pahit dan penderitaan yang kelewat sakit akibat meyeberangi batas ideologi adalah cinta yang sesungguhnya
Kesimpulan:
Sejak Pawlikowski memutuskan mengoperasikan formula andalan kisah cinta berlatar sejarah Polandia, ia hendak menyampaikan pada penontonnya bahwa cinta adalah hal yang sangat politis, sesuatu yang mampu menyeberangi batasan-batasan yang diciptakan oleh manusia untuk menghalanginya.
Dalam Ida ia pernah bercerita bahwa cinta dapat mendobrak batasan seorang Yahudi untuk mencintai Tuhan yang sejatinya milik agama lain. Ida akhirnya malah menemukan cinta untuk hal yang lebih konkret dibandingkan Tuhan: kesenangan duniawi.
Zimna Wojna cenderung lebih konkret dalam menceritakan batasan yang menghalangi cinta: ideologi politik yang kala itu tengah membagi dunia, Komunis dan Kapitalis. Kedua filmnya membuktikan premis yang hendak ingin dicapai bahwa cinta mampu menyeberangi batasan apapun yang menghalanginya. Yakinlah, di tangannya, cinta mampu melewati rintangan apapun. Kalaupun tidak di dunia yang fana ini, masih ada dunia kematian untuk menyatukan dua orang yang saling mencinta. Bila kalian tetap tidak percaya, tanyakan kepada Romeo yang seorang Montague dan Juliet yang seorang Capulet . (WR)