Budi Pekerti: Apa yang Tampak dan Tidak Tampak

Share

Sutradara: Wregas Banutheja | Pemain: Ine Febriyanti, Angga Yunanda, Prily Latuconsina, Dwi Sasono | Negara: Indonesia | Durasi: 110 menit

Prolog

Dalam memahami realitas, sudah semestinya manusia modern mengerti ada banyak hal yang dapat memengaruhinya. Salah satu yang paling masif di zaman ini adalah media sosial—yang boleh jadi tambang harta, tetapi juga, mimpi buruk bagi siapa saja. Melalui keberadaannya, otoritas untuk berasumsi bagi publik tidak terbatas, terbentuk dari apa yang terekam dan terunggah, dan membangun realitas baru yang kerap kali tidak terantisipasi dengan baik, Ketiganya kerap menghasilkan mimpi buruk baru: penghakiman sosial.

Wregas Bhanuteja lewat Budi Pekerti (2023) mencoba menceritakan hal itu, dari sudut pandang yang—dapat dikatakan—sangat dekat dengan kehidupan masyarakat. Ialah Bu Prani (Sha Ine Febriyanti), seorang guru konseling SMP yang menemui bencana cancel culture, di momen paling tidak tepat di hidupnya. Di masa pandemi Covid-19, Bu Prani, suaminya Didit (Dwi Sasono), serta kedua anaknya Tita (Prilly Latuconsina) dan Muklas (Angga Yunanda), adalah keluarga yang sangat bergantung pada media sosial dan segala konsekuensinya. Bu Prani mesti menggunakan ruang pertemuan daring untuk mengajar konseling di sekolahnya. Didit harus memutar otak untuk memulai usaha baru karena terdampak pandemi. Muklas yang menjadi influencer di TikTok. Serta Tita yang berjualan pakaian bekas atau thrift di Instagram.

Selama durasi film, Budi Pekerti menunjukkan bahwa ia adalah film yang sangat akrab dengan realitas. Sebagai kisah fiksi, ia mencoba mendekati pengalaman yang seolah-olah paling mungkin dialami oleh karakter-karakter yang ada di dalamnya. Namun di baliknya ada banyak konsekuensi yang perlu digali, baik dari yang tampak maupun yang tidak tampak.

Yang tampak

Konflik bermuara pada Bu Prani yang berselisih dengan turis lokal yang sedang sama-sama dalam antrean untuk kue putu Bu Rahayu, lalu pengunjung lain merekam saat Bu Prani menyela dan melontarkan kata-kata “ah suwi” (ah lama dalam bahasa jawa) kepada Bu Rahayu yang kemudian dimisenterpretasikan sebagai “asui” (anjing lah dalam bahasa jawa), video singkat itu pun menyebar cepat dan menjadi gurauan di media sosial. Kemudian film berkutat sekaligus berjalan menunjukkan konsekuensi dan sudut pandang Bu Prani sebagai korban penghakiman sepihak dari narasi tersebut.

Budi Pekerti beserta kedekatannya dengan kehidupan nyata membuat cara tutur wajarnya sangat eksplisit. Berbeda dengan film sang sutradara Wregas Bhanuteja yang sebelumnya, Penyalin Cahaya (2021), yang masih menyimpan jarak dengan realitas sehingga dapat memproyeksikan makna dengan cara tutur yang lebih metaforis. Sebagai bukti dalam Penyalin Cahaya dapat dilihat pada adegan-adegan seperti aksi teatrikal saat fogging, atau saat Sur dan teman-temannya menyebar kertas fotokopi di atap kampus. Maka apa yang terlihat dalam Budi Pekerti adalah upaya mendekati pengalaman nyata dengan metode bercerita yang menyandarkan penyampaian pesannya pada narasi-narasi realis yang dihadirkan sepanjang film berlangsung.

Di sisi lain, Budi Pekerti menunjukkan eksistensinya sebagai film yang paripurna secara teknis. Alat-alat penceritaan diberdayakan pada peran yang ideal.  Intensitas penggunaan warna-warna yang diupayakan menjadi unit pemaknaan terpampang dengan jelas. Apabila dalam Penyalin Cahaya film didominasi warna hijau, dalam Budi Pekerti, warna kuning juga biru nyaris tak pernah absen untuk mengatributkan makna-makna tertentu. Kembali lagi pada kedekatannya dengan realitas, unit-unit pendukung lain tidak lupa dihadirkan. Misalnya, pada aspek suara sang sutradara acap kali membawa voice over Google Translate, dan pada scoring-nya menggunakan lagu-lagu breakbeat menggelikan yang sering kita dengar pada media sosial sekarang. Sebagai karya audio visual yang berupaya menyampaikan pesan, dapat dikatakan Budi Pekerti mengerjakan tugasnya dengan baik.

Yang tidak tampak

Dalam beberapa hal, Budi Pekerti berbagi acuan yang sama dengan Like & Share (2022). Dari bahaya media sosial sampai perjalanan korban untuk menemui resolusi. Keduanya menyampaikan tentang dampak media terhadap realitas sekaligus bingkai narasi tersebut dengan pengalaman traumatis tentang ancaman dan konsekuensinya. Keduanya pun memiliki kedekatan dengan realitas yang, meskipun pada dimensi atau level yang berbeda, mereka memiliki tanggung jawab yang sama untuk menuntaskan wacana.

Sayangnya, dengan kedekatannya pada realitas tersebut, Budi Pekerti terlalu berambisi mengiris banyak persoalan, mulai dari cancel culture, kesehatan mental, hingga keresahan generasi pre-Gen Z terhadap Gen Z. Ia tidak puas membahas beringasnya penghakiman sepihak di media sosial saja, sehingga pengirisan terhadap wacana-wacana lainnya tidak terbubuh dengan tuntas.

Sebagai contoh, impresi yang dibentuk dalam Budi Pekerti terhadap murid-murid Bu Prani menjadi terkesan seperti pengaminan pada apa yang orang-orang tua di masa kini yakini terhadap generasi baru. “Refleksi”, istilah yang digunakan Bu Prani sebagai hukuman pada kenakalan murid-muridnya, menjelma menjadi tataran konstruk moralitas orang tua yang apabila bekerja dengan baik, kreditnya akan diberikan ke si pengajar. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, yang menjadi sasaran refleksi adalah pihak yang dianggap tidak menangkap pesan dengan baik. Sudut pandang lapuk yang memojokkan moralitas generasi baru.

Memegang tanggung jawab besar untuk menuntaskan wacana, logika cerita dan proses sense-making hanya disandarkan pada pondasi penceritaan rapuh yang juga tidak terlembagakan dengan baik. Di sepanjang film, keseriusan narasi yang disampaikan justru makin dipertanyakan, tersebar bola-bola liar yang merobohkan pemaknaan, banyak hal-hal berlubang pada penceritaan yang akhirnya hanya bisa dimaklumi agar film tetap bisa dinikmati hingga akhir.

Epilog

Alih-alih menafsirkan makna nyata dari fenomena-fenomena yang dipotret pada film ini agar kita bijak dalam bersosial media, pada suatu penyimpulan, film ini mungkin justru mengamini pendapat McLuhan bahwa: medium is the message. Tanpa menafikan pesan-pesan komunikasi yang dimuat, boleh jadi media adalah pesan itu sendiri—pesan yang menjadi perpanjangan tangan manusia untuk menghadapi zaman. Bahwa media sebagai ekstensi dari tubuh manusia mesti dipahami secara utuh, dengan segala konsekuensi dan kebermanfaatannya. Dan film ini adalah penggambaran kasus nyata gegap pergeseran zaman, baik dari sudut pandang teknologi, maupun moralitas.

Budi Pekerti menyediakan proyeksi horor di zaman media baru yang penuh misinterpretasi ini, atau boleh jadi mendikte generasi baru agar mencontoh budi pekerti yang dimiliki generasi lama. Film ini menjadi tontonan yang cocok untuk masuk kurikulum siswa sekolah, agar menjadi penurut dan setia pada moralitas patuh yang secara mengakar ditumbuhkan dalam diri.

Akhir kata, dalam menyampaikan kisah fiksi, cara tutur film Wregas Bhanuteja memang sepertinya lebih baik seperti di karya-karyanya yang sebelumnya—produk sinema kontemplatif yang menyisakan kekosongan untuk diisi oleh interpretasi penonton.

Ditulis oleh Raihani Wikantyasa. Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Univ. Jenderal Soedirman sekaligus pegiat komunitas film Kaktus