Bagi warga Purwokerto dan sekitarnya tentu mengenal sosok Soetedja sebagai maestro komponis yang namanya dipakai sebagai gedung kesenian serta karya ciptanya “Ditepinya Sungai Serayu” menjadi lantunan penanda kereta tiba di Stasiun Purwokerto. Perihal seberapa dalam mereka mengenalnya, ibarat menemukan riak pada air. Rasanya tidak banyak yang tahu betul nama lengkap beliau, apa saja serta berapa karya sudah dicipta, kisah perjalanan hidupnya, raihan pencapaian, hingga tempat beliau disemayamkan. Rentang zaman jadi alasan paling mudah bagi mereka yang kerap lupa sejarah. Terlebih akses konsumsi budaya populer kini serba mudah malah semakin memberi jarak terhadap budaya tradisional.
Butuh adanya sinergi agar kedua budaya tersebut bisa seiring sejalan tanpa saling melemahkan satu sama lain. Dalam hal ini, upaya semacam itu hadir melalui film “Mencari Soetedja” garapan Bowo Leksono. Film berupa dokumentasi tentang seniman bernama lengkap Raden Soetedja Poerwadibrata yang dikumpulkan dari berbagai wawancara keluarga serta beberapa relevansi lain, untuk kemudian dirangkai menjadi jalan cerita naratif. Seperti merajut kenangan, mulai dari kisah masa kecil hingga akhir hayat. Secara visual juga memperlihatkan serpihan kenangan yang masih tersimpan dalam benda peninggalan; berupa mikrofon, lembar partitur, biola Stradivarius Paganini nan legendaris; saksi bisu terciptanya banyak lagu. Rumah lampau tempat tinggal beliau pun tampak masih utuh, lain halnya dengan Gedung Kesenian Sutedja lama, akhirnya dirobohkan sampai batas perlawanan dari mereka yang percaya monumen bersejarah tak pantas berganti rupa.
Beberapa singkap fakta menarik untuk disimak. Soetedja remaja tumbuh sebagai pemuda rebel, menentang pendidikan konvensional lantas lebih memilih mengembangkan minatnya pada seni musik. Ia bahkan sempat melakukan aksi minggat demi menjaga marwah citanya, pucuk dicinta keteguhan hatinya mampu membawanya menuntut ilmu hingga Italia. Sepulang dari negri orang, Ia menularkan gairah bermusiknya melalui Orkes Melati, konon kabarnya merupakan orkes simfoni pertama yang terbentuk di negeri ini. Berkarir sebagai direktur musik Radio Republik Indonesia (RRI) kerap membuatnya menemukan serta mengasah talenta masa depan kancah permusikan. julukan Bing pada seniman legenda serba bisa Bing Slamet merupakan pemberian beliau mengacu pada kemampuan multitalenta bagai Bing Crosby. Meski identik dengan musik keroncong, jasanya begitu besar bagi perkembangan musik komtemporer pada masa awal kemerdekaan. Jack Lemmers (Lesmana) merekam ulang Lagu beliau dalam album “Mengenangkan Soetedja” sebagai balas jasa serta duka atas kepergianya.
Berdurasi tak sampai setengah jam, rasanya terlalu singkat bagi sejarah panjang gemilang. Harus diakui minimnya data informasi terkait jadi kendala. Mengenai ketersediaan data primer macam dokumen otentik atau rilisan fisik, malah makin menambah daftar kecerobohan pengarsipan di negri ini. Narasumber seniman yang bersentuhan zaman juga nyaris tiada tersisa. Berbekal data seadanya saja membutuhkan waktu sewindu, terus menanti upaya melengkapi akan terasa percuma bila film ini tak pernah jadi.
Biografi sebagai kisah perjalanan hidup tentu punya rentetan yang koheren. Seperti misalnya, alasan memilih konservatorium musik Roma ‘Accademia Nazionale di Santa Cecilia’, bisa jadi berkaitan dengan keberadaan Niccolo Paganini sebagai anggota kehormatan[i]. Sebab nama beliau merupakan sobriquet (alias) pada biola Stradivarius milik Soetedja. Terlepas dari hal logis, sebuah kisah juga bisa menuntun pada kontradiksi bila sejumlah premis bertolak dari kenyataan yang paradoks. Kiprah memimpin Orkes Studio Djakarta berperan penting dalam melahirkan susksesor sekelas Ismail marzuki dan Sjaiful Bahri[ii]. Melalui catatan pada piringan hitam berjudul “Mengenangkan Soetedja” oleh Jak Lemmers dkk, terlihat karya Soetedja sangat diterima oleh masyarakat pada masa itu tak lain merupakan refleksi kepribadian penciptanya yang menyenangkan[iii]. Ragam torehan prestasi tadi malah tampak masih meyisakan kekecewaan, Soetedja melarang anak-anaknya mengikuti jejaknya, cukup dirinya saja yang merasakan pahitnya ‘terlupakan’. Mengenai hilangnya catatan karya rekam jejak beliau, memang karena alasan teknis atau ada alasan lain pun masih jadi misteri. Mengingat pemerintah kala itu sepertinya sedang dalam upaya menentukan manifesto kebudayaan, juga ketika masa akhir hayatnya bertepatan dengan negeri ini mulai memasuki periode sejarah gelap.
Banyaknya rekam jejak buram menyisakan ruang bagi interpretasi. Dalam sebuah film dokumenter, interpretasi bisa jadi daya pikat juga sebagai pembeda dari karya non-fiksi lainya macam liputan jurnalisme yang lazimnya sebatas sajian informatif faktual. Terhadap tema sejarah kolosal mudah saja menemukan banyak film dokumenter dengan ragam interpretasi bahkan tak jarang pula berujung kontroversi. Pendapat ahli ataupun akademisi tentu memiliki kompetensi dalam memberikan tafsir pelengkap fakta buram, ibarat merangkai urai fragmen guna membentuk mozaik sehingga mendapat gambaran lebih jelas terlihat. Tentu dengan harapan gambaran tersebut bisa disimak oleh kalangan lebih luas tak sebatas hanya bagi pemilik ikatan emosi saja. Hal ini yang belum banyak terlihat pada “Mencari Soetedja”.
Bila melihat dari judulnya “Mencari Soetedja” sebagi sebuah pencarian belum sepenuhnya usai. Mencari dalam hal ini bisa dimaknai banyak hal; deskriptif memberi gambaran kelam tentang kisah sejarah panjang terancam hilang, persuasif mengajak untuk segera mengambil sikap sekaligus tindakan, eksposisi menjelaskan betapa pentingnya sebuah pencarian, argumentatif dalam menumbuhkan kesadaran agar jangan lagi terulang. Tentu bukan tugas Bowo Leksono sebagai sutradara untuk merawat ingatan khalayak, tanggung jawab sineas pantasnya cukup dengan menghasilkan karya sinema yang baik. Peristiwa sejarah menjadi monumental bukan melulu karena peristiwanya kolosal namun paparan serta resonansinya pada khalayak mengubah cara merespon pengalaman suatu peristiwa lah yang membuatnya mengkristal dan gigantis. Legenda tak pernah kehilangan relevansinya pada zaman, terbatasnya akses informasi kian kronis lambat laun memaksa zaman memudarkan relevansinya. Jika memang benar “satu hal yang tak akan pernah berubah ialah perubahan itu sendiri” maka mulailah melestarikan sebelum hilang di masa mendatang.
[i] http://www.santacecilia.it/en/chi_siamo/index.html
[ii] https://jakarta.go.id/artikel/konten/3196/orkes-studio-djakarta
[iii] http://iramanusantara.org/#/record/730