SUSUULTRAROCK RECORD

Share

Kamis,5 Desember kemarin di Elano De Coffe digelar sebuah gig minimalis namun memberikan sebuah warna baru bagi musik Purwokerto. Adalah SUSUULTRAROCK Record, sebuah netlabel besutan Ozsa Erlangga atau alias Rantau Ranjau yang membuat Showcase keduanya. Setelah sebelumnya, tepatnya bulan lalu, menggelar Malam Racau yang mendatangkan duo noise experimental Bonne Humeur Provisoire dari Prancis yang juga didukung penampilan dari teater Teksas, Luqiana Vera dan Kang Daong. Kali ini SUSUULTRAROCK Record menampilkan sebuah gigs yang berbeda dari Malam Racau dimana semua penampil pada gigs ini merupakan pegiat noise experimental. Segera, saya berkesimpulan kalau gig kali ini merupakan gigs yang patut dicatat dalam catatan sejarah gig di Purwokerto, alasannya sudah jelas ini adalah pertama kali diadakannya gig yang benar-benar menampilkan kreatif-kreatif noise. Selama yang saya tahu belum pernah ada gig yang menyajikan sajian yang isinya musik-musik bising beginian sebelumnya. Adapun guna mendukung kebisingan maksimal malam itu, gig ini menampilkan Rantau Ranjau dan Mandera Kalbu sebagai penampil lokal dan juga Astrojo Serta Theo Nugraha dari Samarinda Electricity sebagai tamu.

DSC_0730
DSC_0700
DSC_0695
DSC_0681
DSC_0649

Gig yang dimulai pukul 8 malam ini sepertinya mulai tepat waktu karena ketika saya datang saya sudah melewatkan penampilan dari Mendera Kalbu, padahal saya cukup penasaran dengan penampil noise dari Purwokerto selain Rantau Ranjau. Selain melewatkan penampil lokal Mandera Kalbu, saya juga gagal menyaksikan Astrojo, yang kabarnya batal tampil karena ada urusan sehingga harus stay di Jogja, tidak bisa ikut ke Purwokerto. Dengan keterlambatan saya, otomatis hanya dua penampil yang bisa saya saksikan malam itu, yang pertama adalah Theo Nugraha. Jauh-jauh dari Samarinda, Theo Nugraha menggelar beberapa gear unik berupa  beberapa efek, keyboard dan mixer juga dengan tambahan sebuah alat berupa pipa pralon yang dimodif sedemikian rupa sehingga menyerupai  gitar namun cara memainkannya dengan  dipukul. Selain cara mainnya yang unik, instrumen tersebut juga memiliki nama sendiri yaitu Gamada yang menurut Theo merupakan akronim dari Gael Matt Samarinda hasil workshop dengan Bonne Humeur Provisoire di Samarinda.
Dalam perjalanan komposisinya selama gig, Theo Nugraha sukses memberikan kebisingan yang masih mengandung naik-turun tensi buat pendengar dengan struktur yang masih bisa dibaca dan didengar (paling tidak itulah sepenangkapan saya). Selain mampu memainkan tensi melalui komposisi, Theo juga berhasil memberikan klimaks melalui visual laser yang diproyeksikan pada sebuah alat yang saya tak tahu namanya, sehingga membuat sebuah bebunyian tambahan pada saat komposisi yang dia mainkan hampir mencapai akhir komposisinya. Setelah Theo menyelesaikan setnya,  penampil lokal Rantau Ranjau langsung membuat saya tersenyum karena dalam komposisinya Rantau Ranjau seperti benar-benar merupakan lawan yang sepadan bagi Theo, bukan hanya dalam kemampuan membisingkan telinga penonton, namun Rantau Ranjau benar-benar kebalikan dari Theo dimana tanpa basa-basi mereka langsung menggeber setnya tanpa memberi kesempatan saya untuk berpikir lama. Tak hanya melalui peralatan elektroniknya saja, Rantau Ranjau malam itu juga menggunakan alat konvensional berupa meja penampung set yang digoyang-goyang sehingga menimbulkan bunyi gesekan guna menambah kebisingan yang mereka hasilkan malam itu.

Dari siksaan yang saya alami selama gig, saya mendapatkan sesuatu yang tidak ternilai, dalam hati saya berkata, “Senang rasanya bisa menjadi saksi salah satu catatan sejarah musik di Purwokerto”.

Hightlight dari gig malam itu adalah jamming antara Theo dan Ozsa yang sebenarnya tidak direncanakan. Mengingat gaya berbeda yang ditampilkan keduanya, jamming yang terkesan spontan dan tidak terencana sudah pasti merupakan point paling menarik disini, hasilnya adalah kolaborasi kedua penampil malam itu yang  berhasil menghasilkan kebisingan maksimal (kalau saya boleh bilang, kolaborasi mereka sepertinya akan mengantarkan saya pada akhir dunia). Selain berhasil menciptakan bebunyian yang unik, mereka berdua juga sadar akan kemasan penampilan, hal tersebut mereka buktikan dengan visual pada proyektor yang tetap konsisten mereka mainkan sampai akhirnya….siksaan kepada kuping ini berakhir.

“…malam ini menyenangkan..” sebuah kata penutup dari Ozsa, singkat dan tanpa perasaan bersalah sepertinya telah menyiksa indra pendengaran saya. Pada akhir acara, saya sempat bercengkrama dengan Theo dan Ozsa dalam sebuah perbincangan menarik mengenai noise sendiri, dan tak menutup kemungkinan obrolan ini akan dimuat pada tulisan-tulisan selanjutnya. Diluar siksaan indra pendengaran dan perasaan saya, saya berkesimpulan gig malam itu benar-benar gig  yang sangat intim dan menyenangkan. Dari siksaan yang saya alami selama gig, saya mendapatkan sesuatu yang tidak ternilai, dalam hati saya berkata “senang rasanya bisa menjadi saksi salah satu catatan sejarah musik di Purwokerto”. (RW)