Rabu, 8 Januari 2025 diselenggarakan sebuah Focus Group Discussion dengan topik pembahasan “Pemanfaatan Gedung Kesenian Soetedja”. Kegiatan ini diinisiasi oleh Jagabaya Nuswantara dengan mengumpulkan berbagai lapisan kelompok, mulai dari pemangku kebijakan, institusi pendidikan terkait, pegiat seni dan budaya, sampai komunitas atau kolektif terkait. Saya hadir sebagai perwakilan Heartcorner, ya, Heartcorner sebagai kelompok yang menasbihkan diri berada di puncak piramida skena kota ini turut diundang dalam diskusi tersebut. Awal tahun memang menjadi momentum untuk segala bentuk wacana dan perencanaan didiskusikan, dari sektor paling liar sampai dengan tingkat birokrasi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, diskursus tentang kota ini tidak bosan saya hadirkan dalam tiap kesempatan menulis. Celotehan mengenai Gedung Soetedja secara khusus telah memiliki ruang diskursus yang cukup signifikan bagi saya dan beberapa rekan di kolektif ini. Sejak dua tahun ke belakang hingga hari ini, kami cukup getol membicarakan Gedung Soetedja sebagai korpus utama dalam beberapa luaran medium sekaligus, mulai dari penelitian ilmiah sampai film dokumenter. Tentu saja topik permasalahannya terkait bagaimana gedung ini kehilangan inklusivitasnya, serta buruknya segala aspek yang berkaitan dengan Gedung Soetedja pasca pemindahan. Hari ini, beberapa keluhan serupa disuarakan hampir dari berbagai pihak yang hadir dalam FGD tersebut.
Soetedja menjadi nama yang cukup monumental berbasis identifikasi karyanya pada tiap-tiap wacana warisan seni dan kebudayaan. Namun, tidak dengan gedung barunya yang hingga detik ini belum juga menjadi ruang layak untuk bertumbuhnya wacana-wacana tersebut. Secara personal, pandangan saya terhadap Gedung Soetedja ini cukup abu-abu, terlebih keterlibatan saya pada aktivisme kultural kota ini juga tidak begitu jauh dengan gelaran Soetedja Dungkar tahun 2015 silam. Pada tiap-tiap masa kejayaan sebuah ruang akan hadir berbagai kisah heroik yang terjadi pada periode tersebut, hal itu yang menjadi salah satu basis dialektika saya dalam menafsirkan dekadensi ruang ini. Dan saya rasa kisah heroik itu tidak ditemukan melalui panggung, bangku penonton, atau lorong koridor Gedung Soetedja periode ini.
Diskusi ini dimoderatori oleh Irfan Bachtiar dari Hetero Space, dimulai dengan paparan agenda pembangunan taman budaya di area Gedung Soetedja baru, terutama penambahan fasilitas-fasilitas pendukung kegiatan seni dan kebudayaan. Rencana tersebut dipaparkan oleh Setia Rahendra selaku Kepala Dinas Pariwisata dan Olah Raga Kabupaten Banyumas. Berdasarkan pemaparan, terlihat cukup banyak program dan fasilitas yang akan dibagung di area tersebut guna menunjang realisasi agenda taman budaya. Mulai dari ruangan-ruangan diskusi dan pengkaryaan, perbaikan area luar sebagai ruang komunal, sampai pembuatan ornamen yang berkaitan dengan sosok R. Soetedja sebagai identitas. Sebelumnya, perihal identitas ini cukup dipertanyakan oleh pihak keluarga Soetedja karena tidak ada ikon yang berkaitan dengan sosok R. Soetedja di area gedung. Setelah itu, Subagyo selaku ketua DPRD Banyumas menanggapi wacana ini dengan beberapa perspektif, mulai dari tata kelola ruang, program atau kuratorial pertunjukan, sampai medium sebagai aktualisasi diri bagi para pegiat. Hal ini juga disambut oleh Andy F. Noya, salah seorang tokoh besar yang belakangan kerap berkegiatan di area Banyumas Raya. Andy F. Noya yang memilih kota dan wilayah ini sebagai tempat menikmati upaya istirahat dari hiruk pikuk, menyampaikan bahwa Purwokerto dan Banyumas, terutama keseniannya akan di bawa ke mana, akankah sebatas aktualisasi diri atau sampai di titik industrialisasi. Selanjutnya, giliran Jarot C. Setyoko memberikan sanggahannya. Jarot selaku perwakilan dari Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas (DKKB) menyampaikan beberapa hal krusial terkait Gedung Soetedja periode ini, terutama beberapa hal terkait teknis, mulai bentuk panggung, tata suara, tata lampu, sampai dengan posisi penonton yang masih perlu dilakukan peninjauan ulang. Poin ini yang kemudian memunculkan dialog lebih lanjut dari beberapa peserta diskusi lainnya.
Beberapa peserta diskusi menanggapi isu kelayakan Gedung Soetedja sebagai ruang pertunjukan, mulai dari akademisi, budayawan sampai pegiat sepakat apabila pembahasan ini harus ditarik mundur menilik ke dalam gedung sebelum buru-buru mempercantik area lainnya. Pada akhirnya keresahan ini mendapat lebih banyak tanggapan dan suara yang terdengar, berangkat dari gagasan pemindahan gedung ini satu dekade lalu yang pembangunannya penuh dengan upaya klandestin, hingga hari ini ketika beberapa keluhan dikumandangkan.
Budayawan Bambang Wadoro cukup berapi-api dalam menyampaikan maklumatnya terhadap dangkalnya pembangunan gedung ini beberapa tahun silam baik secara gagasan maupun realisasinya. Ia bahkan tidak ragu untuk mengucapkan ultimatum “Dungkar bae!”, atau yang berarti bongkar saja dalam bahasa Indonesia. Bambang Widodo, akademisi dan antroplog yang berada di ruang diskusi ini juga memberi kritik terkait penggunaan terma “Taman Budaya Soetedja”. Menurutnya penggunaan istilah “Taman Budaya”harus mencakup tujuh unsur kebudayaan, sementara agenda yang akan diterapkan pada Gedung Soetedja ini hanya mencakup satu unsur kebudayaan saja, yakni kesenian. Bahkan Bambang Widodo tidak segan untuk menyarankan Subagyo (Ketua DPRD) sebagai salah satu pemegang kekuasaan tertinggi di Kabupaten ini untuk menandatangani petisi agar Gedung Soetedja tepat guna memenuhi kebutuhan pegiat seni maupun masyarakat.
R. Satria Setyanugraha, seorang akademisi, pegiat dan salah satu penggagas Soetedja Fest tahun 2024 juga menceritakan bahwa pengelolaan gedung ini masih belum efektif, mulai dari sistem sewa, penjadwalan dan kurasinya. Ia juga menceritakan bahwa ia harus merombak banyak hal teknis di Soetedja Fest agar lebih proporsional sebagai panggung pertunjukan. Hal ini tentu saja menjadi masalah, kenapa Gedung yang didesain untuk pertunjukan harus diubah lagi sampai ke hal paling krusial saat ada sebuah pertunjukan. Isunya, sebelum pembangunan gedung ini beberapa orang dari seniman dan budayawan diajak untuk studi banding ke beberapa gedung kesenian di daerah lain sampai dilibatkan dalam hal rekomendasi teknis untuk pembangunan Gedung Soetejda sekarang.
Namun, proses pembangunannya menjadi gaib, tidak ada yang tahu dan menyaksikan perkembangannya sampai berdiri sebuah gedung yang buruk ini. Nugroho Pandu Sukmono, seorang wartawan yang cakap dengan sejarah kota ini sedikit menyinggung kilas balik geger runtuhnya gedung ini satu dekade silam. Mulai dari status tanah yang masih jadi misteri, penulisan nama ‘Soetedja’ yang berbeda dengan beberapa manuskrip, sampai dengan agenda gedung lama yang berpotensi sebagai cagar budaya, namun hanya tinggal angan-angan belaka. Akhirnya, diskusi ini ditutup dengan beberapa tuntutan bahwa seniman, budayawan, serta beberapa pihak terkait harus diikutsertakan dalam proses perombakan atau pembangunannya kembali. Subagyo selaku Ketua DPRD Banyumas menyampaikan bahwa ia terbuka untuk mengadakan diskusi lebih lanjut dengan berbagai pihak di ruang gedung DPRD Banyumas.
Nasib Gedung Soetedja hampir sama naasnya dengan keadaan kota ini, sunyi, dirobohkan dan tidak banyak yang membicarakan. Saya sering mendengar ucapan bahwa kota ini memiliki ikatan emosional bagi sebagian orang, atau hal ini sekadar pretensi belaka. Dengan tendensi apapun, maka saya juga menjadi bagian dari tiap arogansi dan kebohongan diri atas kegusaran kota ini.