“Sadar atau tidak, lambat laun kita sedang menuju pada kehancuran” begitu ucap M. Faizal atau akrab disapa Ifa (Vokalis) ketika merangkum singkat perihal substansi lirikal debut album mereka. Dalam benak saya tergambar ternyata kumpulan Om-om ini masih cukup bergairah untuk akhirnya merilis debut album mereka.
Meski Viral Damage merupakan unit Grindcore yang terbilang belum begitu lama, terhitung aktif dari tahun 2015. Namun substansi dan orang-orang yang ada di dalamnya adalah mereka yang menurut saya sudah melewati beragam siklus kerja-kerja independen dalam perjalanan bermusiknya. Setelah merilis single ‘Nihilist’ pada tahun 2018, akhirnya pada tanggal 20 Oktober 2020 ini mereka menegaskan bahwa unit ini bukan semata-mata pelarian dari kesibukan masing-masing member di dalamnya. Meskipun yang saya lihat membuat dan merilis album bagi Om-om ini bukan lagi menjadi fenomena yang luar biasa dan ‘so exciting!’.
Kegiatan pada malam perilisan tersebut dikemas dengan sangat sederhana. Bahkan, Tomy (Drummer) menyampaikan apabila undangan hanya diberikan kepada rekan media dan komunitas, rekan band lokal yang berkenan hadir dipersilahkan tanpa harus mendapatkan undangan. Pada malam tersebut saya hadir sebelum kegiatan dimulai bersama rekan kritis saya Gibransyah, seorang praktisi metafisik yang sedang menekuni ranah jurnalisme kritis. Gibran yang asing dengan atmosfir dan kultur ‘srawung’ ini menyerah di awal kegiatan dimulai dan melarikan diri, melimpahkan kewajiban reportase pada saya. Meskipun undangan dibuat selektif dan terbatas, namun nyatanya Warung71 yang digunakan sebagai tempat bersalin debut album ini penuh dengan tidak menyisakan kursi kosong.
Kegiatan yang dilaksanakan meliputi hearing session tiga lagu dari album ‘Hymne Kehancuran’, sesi diskusi album, dan pemotogan tumpeng. Rangkaian kegiatan ini dipandu oleh Anunk Soemargo. Rangkaian acara tersebut berlangsung dengan sangat singkat, tidak ada satupun dialog dan diskusi yang terjadi antara hadirin dan band. Seperti yang saya katakan di awal bahwa fenomena ini bukan lagi menjadi hal yang luar biasa bagi setiap dari mereka (Viral Damage), semuanya dirangkum singkat, dihabisi dan dihancurkan sesingkat-singkatnya, seperti judul track terakhir dalam album, ‘Destroy to Complete’. Acara memang dibuat santai, tidak dalam urgensi menunggu sesuatu atau diharuskan lekas dimulai. Pada akhirnya dialog yang terbangun dari mereka yang datang dan mereka yang mengundang berada dalam siklus ‘tongkrongan’ di awal sebelum acara dimulai dan setelah rangkaian acara selesai. Karena memang apabila dikalkulasi dengan perkiraan saya adalah tidak lebih dari dua jam rangkaian kegiatan tersebut berlangsung, lalu selebihnya selama semalaman itu dihabiskan untuk ngobrol ringan, menyantap tumpeng, dan mabuk bagi mereka yang menjalankannya.
Perihal merilis album dimasa pandemi dengan segala resikonya menurut saya adalah premis yang tidak begitu penitng untuk dibahas, apalagi untuk unit Grindcore yang satu ini. Pembacaan saya terhadap band ini adalah: album selesai ya dirilis dan dicetak, memangnya ada apa dengan pandemi?
Meskipun dialog diatas panggung masih cenderung normatif dalam menyikapi situasi yang sedang terjadi, menurut saya kemampuan mereka beradaptasi lintas generasi sampai saat ini dengan ekosistem kerja independen adalah jawabannya. Ada sebuah kelegaan tersendiri setiap merilis album, apalagi untuk Ibenk (Gitaris) yang menjadi member paling muda dalam band meskipun notabene bagi saya sudah masuk kategori Om-om. Ibenk yang mengalami keresahan dalam menetaskan karya bersama band asalnya (Notion Baby Murder) diibaratkan diperlihatkan oleh rekan-rekannya yang sudah terbiasa dengan siklus tersebut, tentang bagaimana atmosfir dan perasaan merilis album di skena lokal ini.
Album ini hanya dirilis dalam bentuk fisik yang juga mereka jual pada malam perilisan, entah nantinya akan tersedia dalam bentuk digital atau tidak. Perihal kehilangan momentum untuk melaksanakan tour sebagai bentuk langkah promo album sepertinya bukan urgensi yang begitu dipertimbangkan oleh unit Grindcore (nguwil) satu ini. Term ‘nguwil’ menjadi pandangan awal saya terhadap substansi album ini yang mungkin suatu saat akan saya ulas apabila tiada halangan, rintangan, dan gangguan menghadang. Latar belakang Ibenk yang memiliki basis Technical Death Metal, dan member lainnya yang cukup teknis dalam produksi lagu membuat sudut pandang saya menuju pada term ‘nguwil’ tersebut meskipun baru tiga lagu yang diputar dalam kegiatan malam itu. Hasilnya, saya pulang dengan menenteng album (oleh-oleh dari neraka) ini.
Tidak banyak yang bisa saya tangkap dari diskusi band dan pembawa acara di atas panggung. Selain gerimis yang menggulung seisi dialog, keributan kecil dari meja-meja sebelah yang mulai terkontaminasi aroma minuman keras juga sekali dua membuat kami cengar-cengir. Yang terpenting dalam kegiatan ini sepertinya adalah silaturahmi dan kultur ‘srawung’ tetap terjaga. Dengan adanya pandemi dan tidak adanya gigs dalam beberapa bulan kebelakang, kegiatan malam perilisan ini dianggap sebagai oase bagi rekan-rekan komunitas, skena, dan band untuk setidaknya bisa haha hihi sambil udud. Akhir kata, selamat untuk om-om Viral Damage (Ifa, Tomy, Bosky, Muiz, & Ibenk) atas perilisan album perdananya yang bertajuk “Hymne Kehancuran”. (FF)