Di tengah cuaca mendung dibarengi musimnya penyakit flu maupun batuk yang entah merupakan serangan Covid versi lite atau memang kondisi alam lagi sering tidak bersahabat dengan tubuh kita akhir-akhir ini, saya memutuskan untuk mendatangi sebuah gig. Gig tersebut adalah gelaran Heartcorner Records bertajuk Record Store Day. Bukan sembarang gig, konon gig tersebut adalah perayaan Record Store Day yang telah menyentuh usia 1 dekade.
Gig yang dijadwalkan pada 21 April 2024 di Hetero Space Banyumas dimulai Pukul 13.00 WIB. Seperti gig pada umumnya, siang hari tidak mungkin dipenuhi oleh pengunjung. Nampak beberapa lapakan yang sudah tertata rapi dari De Majors Purwokerto, JAV-AR Record & Repair, Takgejus, Mulut Celaka Recs dan lainnya. Lapakan ini mengisi bagian dalam hall acara di Hetero Space Banyumas. Sementara lapak-lapak minuman dan makanan diletakkan di bagian luar hall.
Baru terdapat sedikit orang yang berkunjung sambil duduk-duduk bercengkrama melakukan gibah-gibah antar skena. Apalagi, sejak semakin besarnya skena di Purwokerto dan semakin banyak aktor-aktor yang terlibat dalam kerja-kerja di industri kreatif. Sudah barang pasti, akan ada banyak cerita-cerita seru yang patut menjadi bahan gibahan. Tentu saja, gibah dilakukan tidak untuk memberi solusi apapun atas permasalahan yang terjadi. Tetapi, gibah adalah bumbu bagi tumbuh dan kembangnya skena di Purwokerto. Suasana hujan sambil menikmati kopi panas menjadi bahan bakar gibah yang seru.
Merangkum gibah sebagai sajian utama gig kali itu, saya mencoba mengkorelasikannya dengan ungkapan Kemal selaku pengelola Heartcorner Records ketika ditanyai perihal acaranya yang tanpa sponsor. Menurutnya, “Ya udah biasa bikin sendiri, ngapain juga pake sponsor”. Padahal menurut pengamatan saya, menyewa sound saja sekarang sudah tidak murah lagi. Minimal harus merogoh kocek sekitar 3 juta rupiah. Beruntungnya, Purwokerto sudah punya Hetero Space, sebuah fasilitas publik yang disediakan pemerintah untuk menyokong gigs kreatif dengan budget yang bisa sangat murah. Cukup bilang aja, gignya kaya apa? dan budgetnya berapa? Apalagi kalau tanpa sponsor-sponsor korporasi besar, tentu jelas lebih murah.
Menyelenggarakan gig itu sejatinya sangat mudah. Kita hanya butuh teman, niat dan konsep. Jadi, kalau kita sudah mampu mengukur kapastias penyelenggaraan gig sendiri, akan menjadi mudah melaksanakan acara tanpa sponsor yang nggak seberapa itu tapi permintaanya sok asik. Selama ini sponsor-sponsor itu dimintai dukungan karena alasan biaya produksi yang makin tinggi. Heartcorner sendiri sebenarnya nggak suci-suci amat dalam hal menyelenggarakan gig dengan bantuan sponsor korporasi. Tercatat beberapa kali mereka sempat dan sudah mengadakan kerjasama dalam penyelenggaraan gig.
Masalahnya kemudian adalah bahkan untuk gig yang saya nilai konsepnya biasa saja, kadang para penyokong-penyokong ini tidak mampu memenuhi tawaran konsep yang diajukan oleh Heartcorner. Yang terjadi di balik kata “support komunitas” para sponsor ini sejatinya hanya akan menyediakan beberapa persen dari biaya produksi, dan sisanya komunitas-komunitas harus tetap harus mencari sisa biaya produksi sendiri. Belum lagi prasyarat seluruh acara harus menyebut nama perusahaan tersebut, menjual berapa ratus produk mereka, menyantumkan logo mereka di dalam pamflet, dan meminta balik modal. Kenyataannya tawaran-tawran sponsor kerap menjadikan komunitas serupa pengakses pinjaman online yang menawarkan kesenangan sementara dan berujung pada celaka seumur hidup.
Sebenarnya, cukupkan saja mengatakan bahwa dana sponsorship adalah biaya marketing yang memang harus dikeluarkan oleh mereka untuk meningkatkan penjualan. Dan bagi kami, cukup dengan membeli produk kalian yang menyertakan pajak untuk dibebankan kepada konsumen. Jadi, tidak perlu membangun narasi seakan-akan kalianlah yang menjadi penunjang utama ekosistem seni kreatif.
Lagian, banyak ukuran yang bisa diperdebatkan untuk mencari justifikasi “suksesnya sebuah acara”. Kita bisa menyediakan banyak variabel ukur untuk mengetahui, apakah memang acara sukses itu ukurannya ramai, banyak yang nonton? Ataukah karena mampu menghadirkan band-band terkenal atau apa? Semua itu bisa menjadi premis yang layak diberdebatkan bahkan sampai kiamat tiba.
Sampai di sini saya cukupkan narasi-narasi ngotot untuk mendebat premis-premis kreatif dan gig ramai. Mari menyimak jalannya Record Store Day Purwokerto kemarin. Hujan masih mengguyur deras sampai pukul 16.00 WIB, para penampil sudah mulai berdatangan membawa perlengkapan mereka silih berganti. Penampilan pertama dibuka oleh Fremde Thirteen, band yang baru berdiri pada 2021 mengusung genre metal dicampur hardcore dicampur lagi dengan electronic dance music. Secara nomenklatur mungkin mereka menyebut dirinya mengusung moshcore. Sejujurnya, saya tidak lagi mengikuti banyak percabangan sub-genre yang makin hari makin bikin pusing. Band yang terdiri dari Adwin pada vokal, Nanda pada gitar, dan Agung pada drum membawakan lagu-lagu mereka sendiri. Sebelumnya, Fremde Thirteen juga telah merilis single pertama berjudul ‘Acceptance’ yang rencananya juga akan masuk ke dalam sebuah album pertama mereka. Kesan pertama mendengar mereka, ini memang tidak pakai bass? Dan ternyata memang tidak ada komposisi bass dalam musik mereka.
Selanjutnya Getar Kegelapness mengakuisi panggung dengan formasi vokalis si paling anti sponsor rokok Rio Gempi Wijaya yang tampil enerjik. Sore itu menjadi spesial bagi Getar karena dua hal. Pertama karena para para personilnya tampil dengan mengusung bermacam-macam tema corpse paint. Mulai versi jin gembil, anime hingga orang pucet yang terjangkit flu. Arena moshpit sudah dipenuhi penonton yang datang silih berganti. Kedua karena hari itu Getar merilis album pertamanya berjudul Bakemono-バケモ バケモノ, dengan format kaset pita. Perilisan album ini dilakukan berbarangan dengan Record Store Day, di mana Heartcorner Records juga merupakan rumah produksi bagi Getar.
Dari pandangan mata saya, selama Getar tampil tidak ada orang yang merokok dan vaping ketika acara berlangsung. Ternyata penonton memang punya tingkat kesadaran yang tinggi, panitia hanya memberikan kode sebuah ruangan ber-AC yang sejuk, tanpa himbauan dan tulisan larangan satupun. MC Dewi Kinasih dan Jijang Hehe pun tidak sekalipun melakukan imbauan dan larangan merokok. Setiap orang yang akan merokok dengan kesadaran penuh akan keluar ruangan, dan setelah habis barulah mereka masuk kembali. Ternyata ini adalah bentuk kesadaran, bukan sebagai respect kepada Gempi si paling anti gig bersponsor rokok.
Mengisi jeda magrib sampai isya, Bagas Sekar Budi Luhur melakukan spinning vinyl lucu dari koleksi pribadinya. Konon, Bagas juga merilis sebuah album berisikan lagu-lagu acak hasil dari scrapping dan jammingnya dengan teman-teman. Dia merilis menggunakan nama Rima Kala Senja, dirilis dalam bentuk kaset dan CD. Sembari mendengarkan spinning, saya juga berjalan-jalan mengunjungi lapak-lapak yang tersedia. Saya melihat kaset pita bertuliskan Rusa Liar unreleased track, album yang digunakan untuk memperingati 10 tahun mereka bediri. Acara ini tergolong cukup ramai, untuk sekelas acara yang diselenggarakan oleh Heartcorner Records. Komunitas yang selalu mendapuk dirinya berada di puncak piramida skena di Purwokerto, elitis, ndakik-ndakik, dan selalu mengundang band-band yang lebih sering butuh pendengar ketimbang orang-orang yang memburunya. Bahkan tak jarang, orang yang ingin bergabung merasa segan untuk ikut. Padahal kesan pertama yang mereka dapat seperti fenomena gunung es. Keren di puncak, amburadul ora karuan di bawahnya. Tapi ya itulah suksesnya sebuah komunitas berisi orang-orang enggak jelas merepresentasikan diri dan membentuk citra seolah-olah keren penuh dengan wacana, diskursus, tajam dan kritis, padahal hahahahahaha…!
Lanjut ke gig, Eternal Desolator menaiki panggung pada pukul 19.15 WIB. Dalam pentas kali ini, saya tidak melihat Bangkit dalam deretan personilnya, apakah? Adakah? Upayanya? Oh begitu rupanya. Seperti biasa, band mahal ini tidak pernah tanggung-tanggung buat urusan performance. Mau itu gig dengan ribuan jin muslim atau ribuan penonton kasat mata, mereka selalu membawa peralatan yang lengkap. Bagi mereka, performa maksimal saat manggung adalah kepuasaan yang harus dicapai. Ucapaan terima kasih banyak pasca manggung, tak lantas mengendurkan permainan mereka untuk memukau para pendengarnya. Aksi panggungnya mereka juga sangat keren, dengan model panggung tanpa sekat, para pemain berusaha untuk membaur dengan penonton. Steven Acong memang yang paling pecicilan, berjalan ke sana ke mari petentengan seolah-olah dia seorang Babinsa.
Penampilan selanjutnya, Voodska, band ska kawakan yang telah sukses menjalankan Tour Keliling Jawa Lewat Revival De Journey pada bulan Maret lalu. Ada sih band yang lebih kawakan dari Voodska, namanya One Step Beyond dengan Addi Kapper selaku personel dan juga Calon Anggauta Dewan Pembina Ultra Prime Heartcorner. Ditemui oleh tim reporter saat gig ini berlangsung, beliau menjelaskan bandnya tidak ikut manggung kali ini bukan karena tidak bisa, tapi karena tidak mau dikarenakan acara miskin tiada uangnya. Jadi, sudah barang tentu, Voodska bisa mengisi kekosongan ini. Dapat dikatakan, Purwokerto juga mulai semakin redup untuk band-band bergenre ska, rocksteady mapun reggae. Voodska, harus mendapat apresiasi atas kekonsistennya bertahan dari 2012 sampai hari ini, bahkan sudah menelurkan mini album berjudul Journey dengan 8 orang personel Voodska yaitu Arby (Vokal), Ires (Gitar), Kukuh (Gitar), Farhan (Bass), Ridho (Keyboard), Yosi (Saxophone), Andi (Trumpet), Reza (Drum) sukses membuat santai penonton pasca dihajar musik-musik metal sebelumnya.
Meningkat, tak habis oleh Voodska, pada acara ini, panitia juga menghadirkan band ska asal Cipinang, Jakarta bernama Highmoon Ska. Mereka mengunjungi Purwokerto dalam rangka “HIGHMOON RINDU PILU WEEKEND TOUR”. Sebelumnya pada Sabtu, 20 April 2024, Highmoon Ska sudah mengunjungi kota Solo untuk bertegur sapa dengan kawan-kawan ska di sana. Band ini telah sukses melahirkan dua album penuh yaitu Awal Pencerahan (2015) dan Kehidupan & Batas Waktu (2019). Penampilan mereka cukup menjadi pembeda dari penampil sebelumnya. Aksi panggung yang asik dan alunan musik yang enak, mampu menggugah penonton untuk ikut bergoyang. Kemudian gig ditutup oleh Yearns, tak perlu panjang lebar menjelaskan band ini. Karena seluruh personilnya punya band sendiri-sendiri dan mungkin mereka lagi gabut aja sampe bikin band post-punk nyanyi-nyanyi begini. Bikin band post-punk di era gempuran pop-punk, tuh Asking Alexandria aja sampe ngebut bikin E.P di tahun 2024.
Secara keseluruhkan, acara ini seperti pada umumnya. Banyak wajah-wajah baru juga yang muncul. Menandakan bahwa umur kami ini memang sudah waktunya memikirkan hal-hal lain. Namun apa daya, bahwa band-bandan adalah bentuk paling murni dari wujud kesenangan kami. Membuang uang untuk menyelenggarakan acara, sudah biasa. Membuang lebih banyak lagi untuk produksi lagu tanpa mengharapkan apapun, juga sudah pasti sering terjadi. Jadi, minimal ini bisa membuat kalian yang membaca sempat mengernyitkan dahi pada narasi tanpa sponsor di atas. Ya, karena Heartcorner melebihi hal-hal ndakik-ndakik yang disebutkan di atas. Heartcorner selalu otonom dan tidak terbeli oleh siapapun!!! Akhir kata, wasalam.