Kuntari, sebuah nama yang secara fonemik memberi kesan magis setiap kali mengucapnya. Terlebih lagi dengan banjirnya reputasi dan ulasan-ulasan megah di berbagai artikel. Mendengar kabar entitas eksperimental itu melakukan lawatan di Purbalingga, menjadi alasan saya dan rombongan Saba menyatroni gigs akhir pekan lalu di Kabupaten seberang yang jaraknya tak terlalu kepalang.
Hellofriends Purbalingga menjadi kolektif yang berinisiatif merangsang gigs tersebut. Mereka cukup reflektif dengan wacana spirit kolektif yang semakin hari kian terlipat oleh isu-isu bobroknya penyelenggaraan/pengelolaan event musik. Menilik beberapa waktu ke belakang, fenomena gagalnya berbagai skala event musik menjadi topik utama gogon (gosip-gosip andergron) di tiap tongkrongan. Satu-dua orang akhirnya dipojokkan dan diharuskan bertanggung jawab menanggung kerugian, tak jarang yang akhirnya menghilang dalam pelarian karena ketakutan atas kegagalannya sendiri. Respon atas kejadian-kejadian tersebut dimanifestasikan oleh Hellofriends dalam gigs tanpa sponsor, tanpa tarif masuk, hanya menyediakan kotak donasi yang disebut ‘urunan’ yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘iuran’ sebagai bentuk kontribusi penonton atas digelarnya gigs tersebut.
Gigs kali ini diselenggarakan pada sebuah lahan kosong tertutup di belakang komplek pertokoan area jalan utama Padamara (jalan penghubung Purwokerto ke Purbalingga). Posisi venue sama sekali tak terlihat dari jalan utama, akses masuk menuju venue berasal dari ujung komplek ruko, Tentang Kopi, sebuah coffeeshop yang tidak terlalu besar dari luar namun memiliki lorong sampai ke lahan yang digunakan sebagai venue. Baghero, seniman asal Purbalingga membuat sentuhan artistik di area stage dengan instalasinya.
Saya bersama rombongan Saba datang cukup awal, kami memang bertujuan mencuri momen selepas soundcheck agar bisa berbincang bersama Tesla Manaf, sosok dibalik identitas Kuntari. Kira-kira sekitar pukul setengah tujuh malam selepas soundcheck Tesla bersedia berbincang dan direkam untuk segmen Saba Talks, maklum sudah beberapa bulan tidak ada aktivasi dari rumah produksi alakadarnya ini. Sekitar sembilan pertanyaan terlontar oleh Shabrina Khanza Salsabila sebagai Anchor. Kurang lebih dua puluh lima menit sesi wawancara tersebut berlangsung. Sepanjang itu juga kami ketar-ketir dengan hasil audio yang direkam karena bising suara soundcheck penampil lainnya. Beberapa pertanyaan mungkin terasa template dengan berbagai wawancara yang ia pernah lakukan, namun sosok hangat Tesla Manaf tetap merespon dan selalu kaya akan cerita pada tiap poin yang ia gelontorkan. Semoga hasil dari wawancara tersebut dapat ditayangkan segera di kanal YouTube Saba dengan kualitas suara yang baik karena kisah pengembaraan Tesla Manaf dari berbagai wacana musik sangat menarik untuk disimak.
Tepat sebelum gigs dimulai ada hal personal menggelitik yang selintas lewat, terutama bagi saya dan tentunya bagi Kemal Fuad Ramadhan. Sosok yang cukup lama menghilang meninggalkan beban dan gesekan bagi skena terutama Heartcorner tiba-tiba muncul dengan gopoh. Masuk dengan sedikit tergesa meski sejauh yang saya tahu tidak ada urgensi apapun untuk bergegas, tampak matanya cukup terbuka lebar melihat saya dan mas Kemal di area venue. Dengan gestur yang lucu sosok tersebut menyalami mas Kemal, tentu saja saya tergelitik untuk meledek mas Kemal “Akhirnya ketemu rekan kerjanya lagi”. Guyon tersebut kemudian menjadi bahan sarkastik pada diri kami sendiri bahwa pernah ada konflik selucu itu di dalam lingkungan kolektif.
Gelaran dimulai dengan menampilkan The Presidance, sebuah kelompok indie pop dari Banjarnegara. Mereka tampil energik sebagai pembuka dalam sebuah gelaran kolektif ini. Bendera Palestina dikobarkan sedari awal, namun yang menjadi cukup kontras dan menggelitik adalah bagaimana The Presidance sempat membawakan nomor terkenal ‘There Is a Light That Never Goes Out’ dari The Smiths. Beberapa dari kita telah paham bagaimana posisi dan sikap Morrisey sang frontman band tersebut terhadap Israel, saya tidak akan bahas lebih jauh.
Kolaborasi hip-hop dan eksperimental hadir tepat setelah The Presidance usai berdendang. Dracul, Asta Kiri dan Kalasvvara, dua solois hip-hop dengan branding yang berseberangan dijamu dengan frekuensi suara yang memekik telinga dari Kalasvvara. Kolaborasi trio ini terpantau dipandu oleh DJ Cilik, Kiki (Getar/Karokewan) yang anteng duduk di depan laptop dan kontroler seakan mengerjakan lemburan dari bos-bosnya yang membuat beliau tipes seperti biasanya. Penampilan mereka terbilang cukup eksploratif, namun sayang komposisi suara yang terlalu bising, bertumpuk dan menggulung membuat banyak dari ucapan mereka tak terdengar jelas, atau terlampau “ART” rupanya sampai saya tak benar-benar paham. Pernak-pernik artistik cukup banyak diletakkan sebagai pemanis tata panggung, mulai dari lilin, tengkorak hingga dupa, sentuhan artistik yang bikin geleng-geleng, dukun hip-hop!
Yang ditunggu akhirnya bersuara, penampilan Kuntari kali ini didampingi tabuhan perkusi oleh Rio Abror. Sejauh yang saya dengar, Kuntari memainkan set Larynx yang cukup panjang dengan repetisi semacam dentuman rapalan mantra. Padu padan tone dawai yang tebal, variasi pukulan unison, linear dan poliritmik, ambience yang mencekam, kemudian sesekali tiupan trompet semacam seruan hewan di alam liar memekik serta menghipnotis penonton. Ada untungnya berbincang sebentar dengan Tesla sebelum menyaksikan penampilannya, tentang bagaimana ia melakukan riset, menguatkan wacananya sebelum akhirnya lahir produk track-track magis tersebut. Kuntari menyebut bahwa ia mengambil komposisi dari Hadrah Kuntulan Banyuwangi dan ritmik Sar Ping dalam proses memasaknya. Ia pun menyebut bahwa akhir-akhir ini justru banyak mendapatkan wacana bermusiknya dari sinema, baik dari segi sinematografi maupun aspek naratifnya. Ia menyebut beberapa film dari sutradara Ari Aster cukup memengaruhi wacana bermusiknya.
Tidak begitu banyak seniman kontemporer dan eksperimental yang pernah saya saksikan, namun menonton Kuntari dapat saya sebut sebagai penalaran spiritual akan wacana yang selama ini masih rumpang untuk dianalisis secara kognitif. Tesla Manaf yang memiliki dasar bermain musik dengan disiplin akademis, memahami dan cakap untuk berdiskusi akan teori serta wacana bermusik membuat Kuntari layak atas capaiannya. Kami juga sempat berkelakar perihal geger-geger wacana musik eksperimental yang sempat ramai di sosial media beberapa waktu lalu, hal tersebut cukup terjawab ketika menonton Kuntari secara langsung dengan pondasi wacana dan musikalnya yang kuat. Saya teringat pertama kali menonton Tesla Manaf di Purwokerto pada perhelatan Ramadhan Blues 2014 silam, ia tampil dengan format jazz band dan tone gitar yang clean. Format yang berbeda jauh dengan apa yang ia bawa akhir pekan lalu, begitulah manifestasi pengembaraannya pada berbagai fokus wacana bermusik.
Gelaran gigs ditutup dengan penampilan duo post apocalyptic dance music Sukatani dengan spirit punk yang membara. Sukatani memaskan lantai dansa dan menutup gelaran tersebut dengan lirikal yang kritis dan penuh perlawanan. Sepanjang gigs berlangsung terpantau cukup disiplin perihal waktu serta pengelolaan ruang, penampil serta penonton. Tidak terlalu banyak meletakkan line up dalam sebuah gigs dengan waktu yang minim adalah pilihan bijak bagi kolektif atau penyelenggara. Gigs semacam ini layak untuk dikelola secara kontinu, seperti pesan mereka yang tertulis pada kotak urunan. (FF)