Pemutaran Film “Ruang Kami: Soetedja” di Pena Hitam Malang Melalui Pehagengsi Tur Dalam Negeri

Share

Setelah tiga belas tahun lamanya, akhirnya saya kembali ke Malang juga. Bagi saya, menjadi penantian yang cukup lama, selain menyelesaikan album Sadstory On Sunday, mencari momen yang tepat untuk menginjakkan kaki kembali di Kota Apel ini pun cukup makan waktu juga.

Malang sekilas mirip dengan Purwokerto, yaitu memiliki perguruan tinggi yang menjadi sasaran banyak remaja untuk menuntut ilmu, namun tentu jumlahnya jauh lebih banyak dan beragam. Pun Malang berada di dekat kaki gunung yang menyajikan wisata alam serta hawa dingin yang menyejukkan, mirip dengan Purwokerto dan Baturraden di bawah kaki Gunung Slamet.

Kembalinya saya Malang tentu dengan alasan. Setelah tiga belas tahun yang lalu saya hadir untuk melakukan pertunjukan musik, kali ini saya tetap membawa kisah Purwokerto dan musiknya, namun dengan menggunakan medium yang baru kami tekuni, yaitu film. Beberapa hari sebelum keberangkatan ke Malang, saya diberi kabar oleh Kiki Mansur dari Pehagengsi yang pernah menjadi kolaborator Heartcorner lewat Rekam Skena bahwa akan ada pemutaran film dokumenter Rekam Skena edisi kedua, yakni “Ruang Kami: Soetedja” dan juga “Dayabara” garapan kawan-kawan Purbalingga pada tanggal 3 Juni 2024 di Pena Hitam Artspace. Setelah sebelumnya menjadwalkan keberangkatan ke Semarang mengawal tur dari duo rapper Purwokerto, Dracul dan Asta Kiri dengan Project Mayhem-nya, tanpa berpikir panjang saya langsung mengiyakan keberangkatan ke Malang dengan meminta restu teman-teman komunitas, dan tentunya yang utama dari orang tua.

Melalui perjalanan selama 8 jam dari Semarang menuju Malang menggunakan kereta ekonomi, membuat tubuh cukup lelah dan pegal karena kualitas istirahat yang sangat kurang. Dengan waktu kedatangan yang cukup pagi, sekitar pukul 02:30, tidak memungkinkan bagi saya untuk menghubungi kawan-kawan yang seumuran karena sudah pasti itu adalah waktu yang tepat untuk kelonan ataupun shift malam. Jadilah saya memutuskan untuk mencari kafe 24 jam untuk merebahkan diri beberapa saat, alih-alih buka laptop dan pesan cemilan.

Meningkat pada pukul 13:00, saya memutuskan untuk ‘check out’ dari kafe yang bergaya Nordik tersebut untuk menuju hotel syariah yang sudah saya pesan melalui aplikasi, yang belakangan membuat saya menyesal. Harga sewa semalam kamarnya adalah separuh harga yang saya habiskan untuk jajan di kafe ala Swedia tadi. Oalah jangkrik! Tapi tak apa, selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah pengalaman dan pelajaran. Setelah menaruh barang di penginapan, langsung saja saya meluncur menuju Pena Hitam Artspace pukul 14:30 dengan menggunakan ojek online karena kabarnya acara akan dimulai pada pukul 15:00.

Sesampainya di lokasi, saya langsung melakukan registrasi kegiatan dan terlihat rekan-rekan Pehagengsi yang diwakili oleh Bung Kiki Mansur dan Dinda yang sedang melakukan persiapan pemutaran. Terlihat pula beberapa peserta yang lain pun mulai berdatangan dan memilih tempat duduk masing-masing. Jadi, lokasi pemutaran film itu berada di ruang bawah tanah Pena Hitam Artspace, sebuah bangunan berupa semacam toko yang diatur sedemikian rupa untuk memajang karya-karya visual serta zine, merchandise, poster, dan produk turunan lain yang dihasilkan oleh kolektif seni rupa yang berusia 14 tahun tersebut, serta jejaring-jejaring mereka. Saya pribadi mengikuti kabar dan geliat Pena Hitam semenjak tahun 2012 setelah banyak berkolaborasi serta bertukar gagasan dengan almarhum Irfan Gama yang saat itu menjadi donatur tetap dalam urusan ilustrasi dan layout grafis Heartcorner. Nah, ruang bawah tanah ini dijadikan untuk menggerakkan lini bisnis yang lain dengan dinamai Bawah Tanah dengan menyajikan food and beverages yang sederhana, serta space untuk pertunjukan kecil-kecilan. Dengan berjalan melalui tangga menuju bawah tanah yang kanan-kirinya dinding penuh poster-poster penuh warna, jadi serasa masuk ke rock bar bawah tanah yang ada di video-video musik luar negeri. Real underground, literally!

Akhirnya waktu menunjukkan pukul 16:00, pemutaran film pun dimulai setelah melalui beberapa kendala yang bisa ditangani dengan bantuan Mas Lutfan dari Pena Hitam. Setelah kedua film selesai diputar, sesi diskusi dan tanya jawab pun dimulai. Beberapa pertanyaan dari teman-teman kolektif film dan sastra yang hadir sore itu, cukup membuat saya yang menjadi perwakilan Heartcorner jadi trataban untuk menyampaikan makna film, bahkan tujuan pembuatan film dokumenter komunitas yang kami bawa. Ini adalah salah satu poin yang penting yang menarik dari kolaborasi pemutaran film bersama Rekam Skena dan Pehagengsi, bahwa setiap permintaan pemutaran film diharuskan untuk membuat ruang-ruang diskusi setelahnya agar pesan yang ingin disampaikan oleh masing-masing pembuatnya bisa dimengerti oleh pemirsa. Hal inilah yang membuat saya berminat untuk meluangkan waktu menempuh jarak lebih dari 500km untuk membuka diri berdiskusi, dan berbagi cerita secara intim dengan beberapa teman yang hadir sore itu.

Selepas acara, saya dan rekan-rekan Pehagengsi berpisah. Saya berkunjung ke abang-abangan skena Malang pada malam harinya, sedangkan Pehagengsi masih harus memutarkan film-film lainnya di Srawung Hub. Sungguh hari yang menggembirakan, bisa berkeliling dan menemui teman-teman baru lintas disiplin yang seru. Terlebih menutup malam dengan obrolan skena lintas waktu bersama Deny ‘Timbul’ (The Illusions) dan Alfan Papa Onta selaku petinggi Paguyuban Emo Nusantara yang saya kenal sejak jaman MySpace, kurang lebih sekitar 18 tahun yang lalu.

Sekali lagi, Malang masih istimewa. Baik kotanya, juga orang-orang di dalamnya. Seperti berita-berita yang saya terima, hingga kini selalu saja ada yang tumbuh dan berada. Semoga ruang-ruang hangat yang senantiasa dihadirkan bisa selalu terjaga. Tak lupa, bagi teman-teman yang berminat untuk memutarkan film-film Rekam Skena, bisa langsung menghubungi pihak Rekam Skena atau Pehagengsi ya! Panjang umur pertemanan. (KFR)