Belakangan ini, mengunjungi kota Bandung sebagai pilihan berlibur di akhir pekan bagi sebagian orang adalah sebuah hal yang kurang menyenangkan. Bagaimana tidak, kota yang dikenal sejuk segar kini menjadi kota yang dikurung cuaca gerahdengan paduan lalu lintas yang padat. Keduanya tentu akan menghambat kesenangan kala kita mengunjungi kota tersebut untuk liburan. Tapi kondisi tersebut tidak mengurungkan niat saya untuk langsung menuju Bandung, yang begitu muncul video teaser dari Liga Musik Nasional (Limunas) soal gelaran yang ke-XX pada pertengahan bulan September, saya putuskan tanpa pikir panjang untuk menerjang rintangan yang ada, termasuk finansial.
Meluncur dengan menggunakan kereta di pagi hari, saya tiba di Bandung pukul 12:44 di Stasiun Kiaracondong dan langsung dijemput oleh kontributor Heartcorner area Bandung Raya, Made Yana yang rajin memberikan reportase untuk kegiatan musik di Bandung, satunya adalah gelaran Limunas dua episode terakhir.
Setelah merampungkan makan siang dan jadwal ngopuy (minum kopi ala Karfianda), kami menuju auditorium IFI Bandung yang menjadi lokasi pertunjukan untuk melakukan registrasi media dan menyimak sound check dari Sigmun dan Taruk. Nama terakhir masih asing di telinga saya, jadi keputusan untuk hadir sore hari mampu memberikan sedikit gambaran akan penampilan mereka.
Sebagai informasi, Limunas adalah sebuah pagelaran yang menyajikan penampil-penampil dalam jumlah terbatas, namun dengan setlist yang panjang. Mereka senantiasa menyajikan pertunjukan skala kecil, kisaran 300-400 pengunjung namun menghadirkan produksi panggung, sound, tata cahaya, serta pengelolaan pertunjukan yang proper. Hal ini bertujuan menjaga keintiman pertunjukan antara penampil dan pengunjung, serta meninggalkan memori yang berkesan bagi semua. Sejak mulai digelar pada tahun 2011, ini adalah gelaran Limunas perdana yang saya hadiri dengan tiga pertimbangan besar.
Pertama, dari sudut pandang saya Limunas menyajikan spirit yang senada dengan Heartcorner, melakukan kurasi dengan nilai-nilai yang dipercaya dan menyajikan dengan kualitas prima, tanpa melihat faktor pasar. Kedua, sebagai pelaku seni pertunjukan, ini adalah momen yang tepat untuk studi banding, mempelajari kondisi lapangan di kota lain, dan mengambil ilmu sebanyak mungkin. Ketiga, ini adalah perjalanan spiritual penuh dendam. Kenapa? 10 tahun yang lalu, tepatnya tahun 2014 saya pernah berkorespondensi dengan Mas Rully dari Senyawa untuk menggelar pentas kecil-kecilan di Purwokerto untuk Senyawa dan beberapa rekan-rekan dari luar negeri. Dengan segala persiapan yang sudah dikerjakan dan dituntaskan, pada saat pelaksanaan malah saya tidak bisa hadir karena harus bekerja di kota Mas Rully berasal, yaitu Jogja. Sungguh hati kecil saya terluka. Jadi menurut saya, ini adalah saat yang tepat untuk menyaksikan Senyawa dengan dukungan tata suara dan cahaya yang paripurna.
Memasuki sekitar pukul 18:30, beberapa pengunjung mulai berdatangan untuk melakukan penukaran tiket yang dibeli melalui online. Namun, tak sedikit pula yang membeli tiket pada saat di tempat. Sembari menunggu pintu auditorium dibuka, pengunjung bisa menikmati visual poster gelaran Limunas edisi terdahulu yang dipajang pada kain hitam sebelum pintu masuk. Juga deretan merchandise Limunas, serta band-band yang tampil pada malam itu.
Waktu menunjukkan pukul 19:15, announcer memberikan arahan kepada para penonton untuk mengantre dengan tertib saat memasuki gedung pertunjukan. Melangkah menuju auditorium, di depan pintu saya membaca tulisan anjuran untuk tidak merokok di dalam arena pertunjukan. Regulasi semacam ini tentu saja sangat menyenangkan hati bagi saya yang seorang perokok pasif. Masuk ke dalam auditorium, penonton disajikan ruangan dingin kedap suara, dengan penantaan visual panggung yang sederhana, tanpa LED monitor, hanya ada kain hitam sebagai latar, dengan beberapa garis horizontal berwarna abu-abu yang tidak saya mengerti.
Tepat pukul 19:30, acara dibuka dengan narasi singkat mengenai Limunas dan juga band yang pertama akan tampil, Taruk. Pada saat sound check, saya sempat sedikit menyimak samar-samar nuansa musik yang dimainkan oleh mereka, yakni hardcore dengan gaya ala Swedia macam DS-13, Totalitär, yang orang banyak menyebutnya D-beat, crust punk, neo crust dan lain sejenisnya. Sepintas memori memutar ingatan beberapa nama generasi sebelumnya yang sudah pernah saya simak penampilannya seperti, Kontrasosial, Krass Kepala, Ayperos, juga Disabled.
Taruk naik ke atas panggung dengan setelan necis, berkemeja hitam dan juga jas. Sang vokalis berkepala plontos, dan berkaca mata hitam. Agak mirip Mas Rully saya rasa, hingga saya pikir ini adalah bentuk kolaborasi. Namun ternyata hanya stuntman saja. Taruk membuka set panjang mereka dengan lagu ‘Lebam’ dan ‘Mencekam’, yang diambil dari album terakhir mereka “Bara Dalam Lebam” yang dirilis oleh Grimloc Records. Ternyata aksi pembuka Limunas kali ini cukup menarik antusias warga Bandung untuk masuk lebih awal dan memadatkan area moshpit. Band yang lahir pada tahun 2018 ini, cukup membuat beberapa pengunjung merangsek ke barisan depan. Ada yang fokus menyaksikan dengan seksama, beberapa menganggukkan kepala tanda setuju. Menurut pendengaran saya, Taruk ini tidak sepenuhnya membawa unsur Swedish hardcore saja. Saya agak curiga dengan penampilan salah satu gitarisnya yang menenteng gitar flying-v, yang dugaan saya akan ada unsur thrash atau heavy metal yang dileburkan. Dugaan saya agak terbukti ketika menyimak lagu ‘Bersulang Sampai Mati’ yang menjadi single pada tahun 2023, lahir dengan riff downstroke serta lengkingan solo gitar ala thrash metal yang cukup kental.
Beberapa nomor lama dari EP perdana mereka yang berjudul “Sumpal” pun dihadirkan, seperti ‘Berapi-Api’, ‘Pesta Durga, Kegelapan Adalah Surga Terakhir’ yang ternyata hadir dengan bernuansa hardcore punk, lengkap dengan anthemic part di beberapa bagian lagu. Set list yang cukup intens ini akhirnya mampu memaksa penonton untuk melakukan sedikit gerakan tambahan berupa circle pit yang menyenangkan. Tak lupa, mereka juga membawakan lagu ‘218’ yang mengundang beberapa kolaborator, yakni Doddy Hamson dari Komunal yang juga mengisi vokal pada sesi rekamannya, juga bassist terdahulu mereka, Dritt, untuk mengawal lagu ini yang membuat moshpit semakin memanas. Pada akhirnya, Taruk menutup penampilan agresif mereka dengan ‘Satire Keabadian’ yang diambil dari album terakhir mereka, serta bocoran rencana proyek split 7” vinyl bersama Godplant.
Selepas Taruk, penonton dipersilahkan untuk meninggalkan auditorium selama kurang lebih 15 menit untuk band selanjutnya melakukan persiapan. Adalah Sigmun, yang tentu banyak dirindukan oleh banyak khalayak akan karya dan penampilannya. Setelah 9 tahun vakum dari dunia kepanggungan, mereka hadir kembali di tahun 2024 dengan meluncurkan EP dalam format piringan hitam berjudul “Maladies”.
Penampilan Sigmun malam itu dibuka dengan shalawat yang dipandu oleh announcer, lalu ucapan salam dari Haikal Azizi. Sedikit membuat gagal fokus bagi penonton, bahkan Sigmun sekalipun, hingga koordinasi mereka agak kurang sinkron untuk membawakan lagu pembuka ‘Great Devourer’ diiringi senyam-senyum dan tawa kecil penonton dikarenakan seketika suasana berubah sedikit lebih Islami.
Sigmun banyak memainkan set dari album “Crimson Eyes”, yang diantaranya ada ‘In the Horizon’, ‘Ozymandias’, ‘Vultures’, ‘Prayer of the Tempest’. Sisanya diisi dengan lagu-lagu dari EP terbaru “Maladies”, kecuali ‘Myriad Eyes’. Yang cukup menarik pada malam itu adalah, Haikal tidak terlalu banyak berinteraksi dengan penonton, namun lebih aktif dalam melempar pantun sebelum masuk memainkan lagunya. Tentu yang paling berkesan adalah ketika mereka akan membawakan lagu penutup, Haikal kembali memulainya dengan pantun.
“Dingin-dingin minum pop ice. This is Devil is Disguise”. Cakep!
Satu jam tak berasa sudah dilewatkan dengan penampilan Sigmun yang menawan. Setelahnya, penonton kembali dipersilahkan keluar dari auditorium untuk memberi kesempatan kepada Senyawa mempersiapkan panggung. Pada momen inilah saya menyadari fungsi garis horizontal yang di latar belakang panggung. Begitu beberapa lampu panggung dimainkan dan diarahkan ke bagian latar tersebut, maka terbentuk perwujudan bangunan candi berwarna merah keemasan yang menjadi representasi visual Candi Pawon yang tertuang dari album Vajranala sebagai penunjang dari aksi panggung Senyawa. Betul-betul teknik produksi yang sederhana tapi mengena.
Senyawa naik ke atas panggung setelah dibuka oleh announcer dengan sambutan meriah berupa tepuk tangan dan teriakan dari penonton. Saya yang sudah lama menantikan aksi balas dendam ini merasa energi penonton dan aura Senyawa yang menyatu semakin membuat detak jantung semakin menderu. Memainkan set dari album Vajranala, sepanjang lagu saya hanya bisa terpukau dan terpana. Banyak hal yang tidak bisa dimengerti, dan diikuti oleh manusia biasa pada umumnya. Dengan peralatan yang dimodifikasi secara mandiri oleh Mas Wukir, mampu menghadirkan berbagai macam suara instrumen dari gitar, drum kaleng, bahkan beberapa soundscape yang belum bisa saya tangkap perbandingannya. Ditambah optimalisasi penggunaan berbagai teknik vokal yang dikuasai Mas Rully, nuansa tribal yang disajikan sungguh serasa nyata keberadaanya di arena pertunjukan. Berada di barisan depan, saya memperhatikan banyak penonton terdiam, fokus menyaksikan, beberapa seperti menahan nafas kagum akan aksi panggungnya, beberapa mendokumentasikan sembari menggeleng kepala terheran-heran. Dengan paripurna, Senyawa mampu mengajak penonton berimajinasi menggambarkan peradaban mitologi yang hadir di Brajalanan yang menjadi wacana besar dari album Vajranala. Sungguh Senyawa adalah harta berharga yang dimiliki bangsa ini tanpa perlu diperdebatkan lagi.
Satu jam berlalu, kembali terlewati tanpa terasa bahwa Senyawa telah memasuki ujung waktu untuk meninggalkan panggung dengan tanpa aba-aba, tanpa tanda. Kami yang telah terbius akan aksi gila mereka, merasa durasi waktu pertunjukan yang disediakan oleh penyelenggara rasanya kurang memuaskan jiwa raga. Entah kapan lagi bisa menikmati karya-karya mereka yang telah mendunia secara tatap muka.
Pada akhirnya, pertunjukan Limunas XX telah usai digelar, dengan tertib dan tepat waktu. Memasuki usia mereka yang ke-13, kelompok ini senantiasa konsisten melakukan kurasi yang terencana, rahasia, hingga akhirnya mampu menciptakan koridor tersendiri dengan kebiasaan-kebiasaan menikmati pertunjukan terbatas nan memuaskan. Semoga kobaran api semangatnya tetap terjaga dan berlipat ganda. Sampai jumpa di Limunas edisi selanjutnya. (KFR)