Blissteria #3: Indie Pop Di Tengah Hujan

Share

Udara dingin memeluk kulit dengan sedikit rintik hujan yang nampak berkilau terkena silatan lampu. Sudah pukul 19.00 WIB, hujan tak kunjung reda, membuat acara belum juga di mulai. Mawar Biru Coffee And Eatery sengaja mempersiapkan tempat outdoor untuk gelaran Blissteria #3 yang diselenggarakan oleh Heartcorner Collective. Terhitung sudah lebih dari 1 tahun, Heartcorner tidak mengadakan gigs karena virus COVID-19. Bagi orang yang sangat menginginkan kematian pun, virus ini sangat membuat khawatir.  Karena jika tidak mati karena terpapar virus, Kita lebih sering terpapar informasi menyesatkan yang membuat kita bodoh secara tidak sadar. Namun, hari itu 28 November 2021 telah nampak berbeda. Orang-orang yang berdatangan sudah tidak lagi peduli akan kehadiran virus tersebut. Sedikit sekali orang yang menggunakan masker menempel di mulutnya. Semua tergantung dileher, ada yang memasukkannya ke dalam saku atau tergeletak saja di atas meja. Memang kematian dan kebodohan kadang cukup ditanggapi dengan ketidakpedulian. Termasuk saya, setelah melepas masker dan memesan sebuah minuman. Saya duduk dipojokan sambil sesekali mengamati situasi. Tidak ada yang menarik, sampai akhirnya saya berpindah tempat duduk. Kemudian menemukan mba yang terlihat sangat lucu. Berrambut bondol, hidungnya mancung dan saya yakin mbanya sadar kalau sesekali saya justru lebih fokus mengamati mbanya ketimbang suasana maupun acaranya. Melihat saja sudah senang, apalagi tau nama, IG dan bisa berkenelan. Maaf mba, tatapan mata saya bukan dalam rangka abusive, emang mbanya lucu.

Balik lagi, menulis gigs report juga sebenarnya bukan tugas saya, tetapi karena yurnalis NDOG dimungkinkan sedang tidak ingin menulis maka saya bertugas menggantikannya. Blissteria terakhir diadakan pada tahun 2018, itu pun dalam format studio gigs. Memang komunitas kami ini lebih sering serampangan dalam merencanakan segala sesuatu. Pada gelaran Blissteria #3, teman-teman komunitas indie keple Purwokerto kedatangan tamu dari Bandung dan Yogyakarta. Dalam flyer acara disebutkan ada 5 penampil yang akan mengisi acara. Well Whale (Bandung), The Bunburry (Yogyakarta), Nood Kink (Yogyakarta), Baramantra (Purwokerto), dan Dracul (Purwokerto). Acara yang direncanakan dimulai pada pukul 19.00 WIB, terpaksa mundur hingga pukul 21.00 WIB dikarenakan hujan. Pemilik tempat Mawar Biru Coffee And Eatery bahkan sudah gelisah berjam-jam karena pawang hujan yang dipesannya tidak kunjung membuahkan hasil. Namun, bukan Heartcorner jika tidak penuh inisiatif, ekspansif dan destruktif. Sejenak saya berdiskusi dengan Kemal, dan merencenakan untuk memindahkan stage ke dalam ruangan. Baru saja menemukan tempat baru untuk gigs, langsung saja, kebiasaan lama kami mengacak-acak tempat dilakukan lagi. Dibantu oleh teman-teman Mawar Biru, segala perlengkapan akhirnya dipindahkan.

Tepat pukul 21.15 WIB, stage telah tertata rapi dan siap untuk digunakan. Acara dibuka oleh duo MC Jijanghehe dan Adit. Mereka berdua mengaku dari Komunitas Stand Up Comedy Purwokerto. Mereka membuka acara dengan apik, memecah suasana kebosanan karena terlalu lama menunggu dengan joke-joke level kabupaten yang membuat penonton tertawa. Penonton yang berasal dari Purwokerto tentunya. Saya bisa tau, karena mata saya masih suka curi pandang ke mbanya yang ternyata salah satu dari rombongan tour.
Dan memang, rombongan mereka irit tertawa karena tidak relate dengan lawakan MC.

Baramantra menjadi band pembuka, band yang mengaku dalam perkenalan sebagai UKM Baramantra, terbentuk sejak akhir 2019 dengan formasi Tasya sebagai vokalis, Bimo sebagai gitaris, Fay sebagai gitaris, serta Ilham Seran sebagai keyboardis. Tetapi penampilannya kali ini dibantu oleh 2 auditional players untuk Drum dan Bass. Mereka tidak menceritakan ke mana sisa personil yang tidak bisa datang. Baramantra membawakan 4 buah lagu dengan varian genre rock ambient-nya. Lagu pertama berjudul Seran, dilanjut dengan Lekas, Tak Utuh dan Rasuk sebagai lagu penutup. Baramantra membangkitkan suasana penonton yang telah lelah menunggu lama dimulainya acara, sama seperti saat menunggu mbanya yang entah di mana.

Berakhir pukul 21.50 WIB, Baramantra turun panggun. MC kembali mengambil posisi dengan komposisi kelakar, antara mumet pikiran karena ciu dan ide punchline untuk ice breaking. Pukul 22.15 WIB, Well Whale  naik panggung. Band asal Jatinangor ini digawangi oleh Faizal Agusdin (vokal, bas), Kelana Ashil (drum), Puteri Ayesha (vokal, gitar), dan Raja Mahardika (gitar). Suasana sudah semakin asyik, dibuka dengan lagu Untitled, penonton mulai berdiri di depan panggung sembari sesekali ikut menyanyikan lagu. Dilanjut lagu kedua berjudul Throw Away  dan lagu ketiga berjudul Kung Fu Kenny. Band ini  kental dengan aliran British Pop dalam komposisi musiknya, juga variasi aksen Twee Pop memang sangat cocok untuk band yang memiliki vokalis perempuan. Lumayan untuk saya bisa bernostalgia dengan lagu garapan The Shermans, The Siddeleys, maupun Seapony. Dua lagu terakhir disajikan berjudul Sleeping dan Diana.

Penampil selanjutnya, The Bunburry asal Yogyakarta yang berisi Mirza (vokal), Fikra (gitar), Dimas (gitar), Guyub (bass), dan Eja (drum). Mirza sebagai vokalis menampilkan dandanan yang unik dengan mengenakan dress panjang berwarna putih. Kebetulan rambutnya yang panjang tergerai membuatnya nampak seperti seorang perempuan. Dalam opening-nya, dia mengatakan bahwa perlunya untuk menciptakan ruang aman di mana pun tanpa terkecuali atas orientasi seksual. Ya, itu memang isu yang sedang banyak menjadi concern bagi beberapa orang. Secara khusus juga ketersediaan ruang aman di gigs.

Masih dalam nuansa indie-pop, The Bunburry memberikan perbedaan dari penampil sebelumnya. Jika sebelumnya sangat kental dengan Britpop, kali ini saya mendengar variasi indie-pop yang bertemu post-punk dan shoegaze. Lagu pertama berjudul Halleluya, kemudian dilanjut dua buah lagu berjudul Act Of Treason dan Hide Me From The Sun. Alunan lagu yang dibawakan The Bunburry membuat saya mengingat The Mary Onettes asal Swedia.  3 lagu selanjutnya berjudul Track 5, Blue Haze dan Evil Khievel.

Selanjutnya Nood Kink yang juga berasal dari Yogyakarta. Band beranggotakan Gregorius Andika (vokal & gitar), Katarina Drexel (vokal & bass), dan Matias Aditya (vokal & gitar). Unit indie-rock ini juga membawakan 5 buah lagu. Sayang sekali saya lupa menanyakan song list karena mereka setelah selesai manggung langsung beres-beres. Nood Kink menarik perhatian saya karena sound gitar dengan distorsi dan reverb yang ringan, membawa saya berjelajah pada band kesukaan saya bernama Northern Portrait. Penonton juga sangat menikmati penampilan Nood Kink dengan melakukan crowd surfing. Sesekali juga ikut menyanyikan lagu dan bergoyang-goyang.

Akhir acara, Dracul tampil sebagai pembeda di pentas kali ini. Membawakan 3 lagu rap, dengan beat khas grime/UK drill. Saya lebih sering merasa ikut kehabisan nafas ketika mendengar Dracul bermain. Lirik yang dibawakan memang bagus, dengan format bahasa inggris. Namun,  lebih sering saya kesulitan untuk mencerna lagu karena artikulasi yang kurang jelas. Ditambah nafas yang tersenggal-senggal, saya khawatir Dracul bahkan akan kesulitan ketika disuruh manggung 1 albumnya sendiri. Hahahahhaha,  Peace bro, this is for real, I know motherfucker who know motherfucker.

Acara berakhir pukul 02.00 dini hari, gelaran acara pertama setelah lama vakum yang cukup meresahkan warga sekitar. Sesi ditutup dengan remeh-temeh dan foto. Rombongan tour langsung bergegas untuk melanjutkan perjalanannya ke Yogyakarta sebagai titik akhir tour mereka. Penyelenggaraan acara didukung penuh oleh Mawar Biru Coffee And Eatery. Saba squad juga turut terlibat dalam proses dokumentasi dan interview.