Bincang Buku Flip Da Skrip : Terima Kasih MV, Terima Kasih Hip Hop

Share

Hip Hop adalah potret sebuah usaha keluar dari keterasingan dan kebosanan. Namun sama nasibnya dengan ‘Rock N Roll’ dan ‘Punk’ , Hip hop hari ini tak lebih dari sekadar ‘hip hop’. Sebuah entitas yang seringnya juga lupa akan titik berangkat identitas dan pemaknaan. (Morgue Vanguard)

Pagi itu nampak panas dan terik, entah karena kita sedang menghadapi ancaman yang makin nyata tentang pemanasan global. Tetapi memang hati saya yang begitu berapi-api, persis seperti pembakaran ribuan hektar hutan Kalimantan untuk perluasan lahan sawit. Membayangkan saya akan duduk sebangku bersama seorang idola membicarakan soal bukunya berjudul Flip Da Skrip serta diskusi kecil tentang Melampaui Ideologi: Komunitas, Musik dan Buku.

Namun, sejauh ingatan saya, Purwokerto-Purbalingga tak pernah sepanas dan seterik ini pada pagi hari. Lupakanlah soal terik dan panas, karena hari itu merupakan sebuah hari bahagia bagi saya. Melihat seorang pria yang menjadi katalis bagi saya untuk mulai serius menggeluti hip hop bukan hanya mendengarkannya. Namun juga, untuk melumat lebih banyak buku dan masuk lebih dalam ke bagian budaya yang saya cintai. Melihat seorang Morgue Vanguard (MV) former Homicide berdiri dihadapan saya, lebih dari cukup bagi untuk tak menghiraukan apapun hari itu.

Pukul 13.00 WIB acara yang diadakan di Basecamp Oneday dimulai. Sesi diawali dengan cerita MV tentang buku Flip Da Skrip yang ditulisnya. Ia menjelaskan, buku itu terbagi menjadi dua bagian. Pada bagian pertama berisi catatan kaki yang ditulis dalam kertas oranye. Bagian itu menjelaskan tentang serpihan-serpihan yang menjadi bagian penting tentang perkembangan hip hop. Mulai dari, cerita soal the break, toko legendaris Fat Beat, rap star dan album yang dianggap fenomenal, hingga fase sejarah tentang Blackout 77 di New York yang menjadi bagian penting meluasnya hip hop di Amerika.

Perlu digarisbawahi, hip hop pada mulanya bukan sebuah budaya yang terintegrasi seperti saat ini. Hip hop tak pernah dikenal dengan empat elemen; Rap, DJ, Graffiti, dan Break Dance.  Pada tahun 70an hip hop hanya sebuah pesta yang dihelat oleh sekelompok anak muda kulit hitam di apartemen untuk melepas kejemuan sembari mencari receh penyambung hidup. Persis seperti dangdut koplo yang membawa Via Vallen pada era baju ‘blink-blink’ dan microphone berlapis emas, hip hop bukan sesuatu yang penting. Layaknya Orkes Musik Selera Rakyat (OM Sera) atau OM Palapa, hip hop adalah pentas seni pinggiran yang dipentaskan di gang dan taman. Maupun merupa club dan pub yang disulap dari apartemen dan kontrakan kumuh dengan sinar lampu seadanya.

Di dalam buku tersebut, MV juga menceritakan bahwa dia tidak mencantumkan satupun tulisan tentang album karya rapper Indonesia. Menurutnya, sebagai pelsaya dia ingin menghindari kesan objektif dalam memberikan referensi tentang album-album terbaik tanah air. Memang yang paling ideal tentang tulisan album-album rap Indonesia sebaiknya muncul dari kurator, jurnalis, kritikus maupun orang memang mendedikasikan diri untuk menulis tentang hip hop. Sementara, di Indonesia, menjamurnya rapper dari Sabang sampai Merauke tidak diimbangi dengan bertumbuhnya literasi sebanyak lagu yang diunggah dan diproduksi.

Bahaya laten seperti keinginan banyak orang kembali ke masa Soeharto dengan jargon ‘piye penak jamanku’ tanpa diimbangi kajian maupun tulisan kritis tentang apa yang pernah terjadi di masa itu. Seakan ingin menikmati rezim keemasan hip hop namun lupa melihat titik dan pijakan dari mana hip hop bertumbuh. MV memandang perlu bagi teman-teman yang juga mencintai dan menyukai hip hop untuk membangkitkan tradisi literasi. Karena, dari keempat elemen yang ada di hip hop, satu elemen yang berpusat pada pengetahuan yaitu media dalam bentuk tulisan masih sangat kurang. Mungkin karena menulis tidak akan membuat cepat terkenal, pun tugas ini memang sangat berat karena benar-benar perlu banyak belajar. Bagi saya, membaca Flip Da Skrip membawa ke dalam sebuah bayangan tentang isi otak seorang MV yang berisi banyak tumpukan kaset maupun buku tentang hip hop.

Diskusi berlangsung seru, MV menjelaskan tentang hip hop bukan hanya sebagai genre musik, melainkan sebagai kesatuan budaya yang tidak lepas dari proses sejarah. Selain itu, di dalam diskusi saya berkesempatan menjelaskan sedikit tentang perkembangan hip hop di Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen (Barlingmascakeb). Meskipun saya sendiri belum mampu melacak secara tepat terkait menjamurnya hip hop di Barlingmascakeb. Namun, beberapa fakta sejarah tentang bermuncullannya grup-grup break dance di Purwokerto pada medium tahun 2000an bisa menjadi penanda. Perkembangan itu juga tidak lepas dari informasi yang dibagikan oleh teman-teman yang menempuh studi ke kota-kota seperti Yogyakarta, Solo, dan Jakarta. Mahasiswa yang merantau jauh dari kampung halaman membawa serta informasi tentang hip hop ketika mereka pulang ke kampung. Di Banjarnegara dan Purbalingga pengaruh itu sangat terlihat karena banyak teman-teman yang memilih melanjutkan kuliah ke Yogyakarta. Sejak tahun 1990an di Yogyakarta telah terdapat beberapa grup rap, salah satu yang diketahui adalah G-Tribe dan DJ Vanda. Setelah terjadi pasang surut, pada tahun 2000an muncul grup fenomenal bernama Jahanam, meskipun sebelumnya telah muncul beberapa grup seperti Rotra dan lainnya. Seperti yang telah diketahui, hip hop di Yogyakarta tumbuh melalui gigs-gigs kecil di kampus dan café. Wijilan merupakan salah satu tempat yang terkenal sebagai tempat berkumpulnya para penggemar hip hop. Hal itu bisa dilacak mulai dari tahun 2005 hingga saat ini dimana terdapat sebuah label bernama Hell House yang juga memilih Wijilan menjadi home base mereka. Menurut sepengatahuan saya, perkembangan hip hop di Yogyakarta mempengaruhi banyak perkembangan di daerah-daerah sekitarnya seperti magelang hingga Purwokerto.

Setelah beberapa sesi MV memaparkan isi bukunya, diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Beberapa pertanyaan muncul bukan hanya terkait hip hop, tetapi juga tentang aktivitas MV dalam melakukan kerja-kerja sosialnya. Pertanyaan pertama, terkait hip hop sebagai Secara ringkas, menurut MV, hip hop tidak selalu harus berbicara politik seperti yang dilakukannya dalam Homicide. Hip hop adalah tentang usaha melepaskan kebosanan dan keterasingan atas hidup yang dijalani. Pun, pada awal kemunculannya hip hop tidak pernah benar-benar penuh berbicara tentang politik. Kecuali, sesaat setelah kemunculan Chuck D bersama Publik Enemy, kemudian media mulai melabeli mereka dengan political rap. Dalam rap, estetika juga sangat berpengaruh dalam menarik minat pendengarnya. Bagi MV, untuk apa membuat sebuah musik tentang kritik sosial, namun tidak memperhatikan estetika dalam bermusik. Seorang rapper juga perlu dengan serius menempatkan lirik, sillabel, cadence, flow, hingga beat menjadi kesatuan estetika yang utuh agar enak di dengar. Pun menurut saya, bagaimanapun rap adalah bidang seni yang sama seperti patung, lukisan dan bangunan. Detail-detail estetika merupakan bagian penting dalam rap, sekalipun yang dibicarakan hanya soal sepatu, baju, apalagi untuk isu-isu sosial.

Dari semua pertanyaan yang dilontarkan peserta, ada sebuah pertanyaan yang menurut saya menghasilkan jawaban sangat penting dari MV. Ini terkait tema diskusi selanjutnya yaitu Melampaui Ideologi: Komunitas, Musik dan Buku. Tetapi saya merasa perlu berhati-hati menulis ini, sebagai disclaimer, ringkasan saya ini bisa jadi mengalami reduksi maupun distorsi. Namun, secara inti semoga bisa menjelasakan secara ringkas tentang esensi dari sesi diskusi kami pada bagian ini. Pertanyaan ini muncul, bahkan sebenarnya di kepala saya terkait paradigma politik yang dimiliki MV atau setidaknya menjadi cara pandang MV. Dalam, asumsi saya, MV adalah seorang anarkis, hal itu merupakan hasil indentifikasi sembrono melalui lingkaran sosial medianya. Asumsi saya terjawab pada sesi diskusi terakhir, bahwa MV sepenuhnya tidak peduli soal label ideologi yang dilekatkan pada dirinya. Baginya, ideologi merupakan tatanan nilai yang tidak perlu menjadi dogma. Dalam ranah praktis ideologi harus menjadi pelepas kebuntuan untuk menjawab persoalan-persoalan yang terjadi secara nyata. Melihat ideologi sebagai produk yang hitam dan putih hanya menjauhkan kita dari realitas objektif. Padahal, kondisi lapangan membutuhkan cara berpikir yang tidak hanya filosofis, tetapi juga harus taktis dan strategis. Dalam membangun gerakan sosial, ideologi bisa dimaknai sebagai pengetahuan dan pedoman bergerak. Tetapi tidak harus menjadi seorang yang kaku membawa panji-panji ideologi. Hal ini karena persoalan di masyarakat terjadi sangat kompleks. Ideologi bukan seperti kaca mata kuda, melainkan pisau analisa untuk membongkar realitas sosial agar lebih holistic dan terang.

Jawab MV ini juga merupakan penguat bagi kerja-kerja kolektif yang tengah dilakukan kawan-kawan di Purbalingga dan Purwokerto. Kami yang berangkat dari latar belakang pemikiran berbeda, mencoba untuk berpikir melampaui ideologi yang kami percaya. Membangun solidaritas dan gerakan yang lebih kuat dengan saling mendukung satu sama lainnya. Mempercayai bahwa ideologi bukan merupakan sebuah label yang harus dibela sampai mati. Kerja kolektif juga sebisa mungkin didorong pada spectrum yang lebih luas dari sekedar ideologi. Mungkin, hal itu menjadi terdengar sangat reformis dan evolusionis. Namun, pengetahuan tentang ideologi selalu terus kami pelajari, pun dibarengi dengan tradisi kritik auto kritik. Mungkin akan sulit mewujudkan gambaran dunia yang lain dalam arus dunia utama saat ini. Tetapi setidaknya, kami tengah mencoba menjalani dan melakukan hal yang kami cita-citakan. Berhasil atau tidak, kami memilih membiarkan proses yang menilai. Tetapi kami mencoba berusaha.