Asosiasi Penyelenggara Event Musik Purwokerto, Respon terhadap Penyelenggaraan Konser yang Bobrok

Share

29 Desember 2024, sebuah konser musik batal terselenggara di Purwokerto. Line up-nya tidak main-main, mulai dari Raisa, Good Morning Everyone serta Oomleo dan Baale (Iqbal Ramadhan). Ratusan tiket telah terjual, beberapa lapisan masyarakat Purwokerto menanti pertunjukan tersebut. Antusiasme untuk menyaksikan idola sekaligus perayaan akhir pekan terakhir di 2024 berujung menjadi kegeraman masyarakat dan berbagai pihak. Satu per satu artis mengumumkan batal mengunjungi dan melakukan pertunjukan di Purwokerto. Hal tersebut terjadi karena kelalaian penyelenggara konser yang gagal menunaikan tanggung jawabnya terhadap pihak manajemen artis terkait dan berbagai sektor pendukung penyelenggaraan konser.

Tahun lalu hal serupa juga terjadi di Purwokerto, dengan inti permasalahan yang sama, pihak penyelenggara konser yang gagal menunaikan tanggung jawabnya. Tahun 2024 tercatat cukup banyak konser musik terlaksana baik yang diinisiasi oleh promotor dari dalam atau luar Purwokerto, bahkan spesifik yang digagas oleh “Mahasiswa”. Dari data yang tercatat, beberapa gelaran tersebut berjalan dengan pincang bahkan hampir dibatalkan, terutama event yang diinisiasi oleh “Mahasiswa”, baik mewakili Prodi, Fakultas, Himpunan dan sebagainya. Ekosistem penyelenggaran konser di Purwokerto berangsur bobrok dengan kasus serupa dan berulang.

Beberapa orang yang terjejaring dari industri showbiz di Purwokerto memutuskan berkumpul dan membentuk forum guna merespon fenomena tersebut. Konsorsium ini terdiri dari berbagai sektor penyelenggaraan event, mulai dari promotor, event organizer, vendor, sponsor, manajemen artis, pemangku kebijakan, dan stakeholder lainnya. Diskusi ini dilaksanakan pada tanggal 29 Desember 2024, hari di mana seharusnya konser besar diselenggarakan. Difasilitasi oleh Hetero Space Banyumas, tercatat sekitar tujuh jam diskusi berlangsung memaparkan lapisan fundamental penyelenggaraan event, hingga isu krusial yang mendorong dialog ini berlangsung. Diskusi ini dipandu oleh Anindya Ryadinugroho dan Among Rahsadewa, dua orang yang telah cukup kenyang di arena penyelenggaraan konser musik Purwokerto. Beberapa pihak profesional hingga yang tersertifikasi di bidang ini diundang sebagai narasumber dengan wacana memperbaiki ekosistem penyelenggaraan event musik di Purwokerto. Oomleo, salah satu line up konser yang gagal tersebut bahkan turut hadir dalam diskusi ini. Oomleo, merupakan seniman yang cukup beririsan pada geliat serta pergerakan ekosistem pertunjukan, bahkan sampai di skala kabupaten.

Diskusi ini dimulai dari bahasan potensi dampak yang akan terjadi apabila konser musik batal atau berjalan dengan pincang, terutama karena faktor kelalaian penyelenggara atau penggagas event. Dampaknya tidak hanya berhenti pada kerugian finansial dan kapital, namun berpotensi menjalar ke lapisan lainnya, mulai dari tingkat kepercayaan antar stakeholder yang dipertanyakan, boikot dari pihak manajemen artis, daya beli dan tingkat kepercayaan masyarakat turun sehingga berdampak pada event selanjutnya, perizinan yang akan semakin sulit, sampai kekhawatiran pelaku industri showbiz di Purwokerto akan invasi dan intervensi oknum penyelenggara dari luar Purwokerto mengambil alih ladang mata pencaharian mereka.

Babak pertama dialog dimulai dengan memanggil dua orang narasumber dari pihak event organizer dan promotor, Indra dari Brother Indonesia dan Santo dari Shaolin Music dihadirkan untuk memberi pandangan tentang pengelolaan penyelenggaraan konser dari garis yang paling sederhana sampai sistem yang mereka terapkan. Indra sebagai pemilik sebuah organizer dengan legalitas resmi menyampaikan bagaimana perihal administrasi dan tata kelola sebuah perusahaan jasa sangat penting dalam berbagai keadaan. Sebagai salah satu organizer yang cukup besar dan punya citra yang baik di Purwokerto, Brother Indonesia menjelaskan bagaimana metode mereka bekerja sama dengan berbagai pihak, terutama promotor, brand atau pemilik modal yang akan mempercayakan keberlangsungan gelaran kepada sebuah event organizer. Meski memiliki struktur yang sistematis, Indra juga menyampaikan bahwa saat ini pekerjaan di bidang penyelenggaraan event musik tarutama sebagai promotor masih cukup riskan, karena belum ada kelembagaan yang mengatur mekanismenya bahkan dari pihak otoritas yang lebih tinggi seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Sementara Santo berangkat dari penyelenggaraan event musik yang lebih akar rumput, mulai dari gigs dari skena lokal sampai akhirnya punya basis bisnis yang dapat memberi nilai tawar sebagai promotor secara komersil. Dalam pengelolaan sebuah event, dua orang ini datang dengan pengalaman yang matang sehingga memiliki dasar kalkulasi yang siap untuk menyelenggarakan sebuah pertunjukan.

Babak kedua menghadirkan sudut pandang dari manajemen artis, Ubay sebagai perwakilan dari manajemen Fiersa Besari dan Dayat Permana sebagai perwakilan dari Momo ex. Geisha didapuk sebagai narasumber. Keduanya merupakan orang yang tumbuh dan besar di lingkungan Purwokerto, namun punya basis yang matang untuk membicarakan tentang teknis dan profesionalitas sebagai manajemen artis. Dengan isu kekhawatiran boikot dari manajemen artis ke Purwokerto karena kasus yang terjadi, baik Ubay maupun Dayat menyampaikan beberapa kemungkinan yang terjadi. Secara profesional apabila promotor gagal memenuhi kewajiban kontrak untuk mendatangkan artis terkait di kota tertentu, boikot akan berlaku pada promotor atau organizer-nya. Secara spesifik ‘kota’ tersebut masih memungkinkan sebagai destinasi, namun dengan pertimbangan dan kurasi yang lebih ketat. Dayat memiliki fokus tinggi terhadap detail penyelenggaraan event secara teknis. Hal ini juga menjadi permasalahan yang masih sering diabaikan belakangan ini, terutama beberapa konser yang digagas oleh “Mahasiswa”. Mulai dari rundown, kebutuhan teknis, riders dan kontrak yang sesuai, sampai itinerary merupakan lapisan terpenting untuk berbicara bagaimana sebuah penyelenggara memperlakukan musisi dan tim produksinya. Beberapa kejadian cukup fatal dan krusial belakangan ini acap kali ditemukan, mulai dari jadwal soundcheck yang berantakan, belum siapnya vendor karena kelalaian pembayaran dari penyelenggara, sampai belum siapnya penyelenggara memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi saat event berjalan.

Babak selanjutnya diskusi beralih pada persoalan perizinan penyelenggaraan konser, Fanny Bandot sebagai narasumber merupakan orang yang belakangan ini cukup sering bersinggungan sebagai pihak yang menjembatani antara penyelenggara dan pihak-pihak terkait yang mengeluarkan perizinan. Salah satu yang disoroti adalah perihal bobroknya birokrasi yang dilakukan oleh “Mahasiswa”, beberapa kali ditemukan adanya indikasi lompatan koordinasi yang bersifat fatal, salah satunya adalah koordinasi terhadap pihak rektorat universitas yang sifatnya menaungi pergerakan mahasiswa. Pada akhirnya kurasi yang terjadi belum cukup matang untuk mengetahui pihak penyelenggara telah siap untuk menjalankan event, baik secara pendanaan, sponsor, maupun pendampingan dari institusi yang menaungi. Babak ini cukup banyak dikritisi karena perizinan menjadi modal yang krusial untuk sebuah gelaran layak diselenggarakan. Tahun 2024 menjadi tahun yang cukup punya sorotan terutama pada penyelenggaraan konser musik yang diinisiasi oleh “Mahasiswa”. Beberapa nama musisi besar populer lebih sering terdengar singgah di kota ini pada tahun 2024. Namun yang disayangkan, tidak sedikit dari konser musik yang digagas oleh “Mahasiswa” ternyata juga sama bermasalahnya. Mulai dari pendanaan yang kurang, hingga birokrasi yang bermasalah. Aldiz (Voice Hell) merupakan salah satu orang yang paling sering bersinggungan dengan event yang diselanggarakan oleh “Mahasiswa”, baik sebagai vendor, organizer, konsultan, bahkan sebagai orang yang siap pasang badan untuk event yang hampir menyerah dan batal. Tentu saja hal ini menjadi polemik yang berkelanjutan serta merugikan banyak pihak.

Tidak sedikit dari mereka (Mahasiswa) yang belum memahami fundamental penyelenggaraan sebuah konser musik, terutama perihal tanggung jawab dan pendanaan. Tidak jarang narasi yang mereka bawa hanya sebatas euforia selebrasi, sampai dengan indikasi kepentingan personal yang dipaksakan, dan akhirnya menyeret banyak pihak untuk menanggungnya. Irfan Bachtiar selaku pengelola Hetero Space Banyumas dan penggagas media yang cukup masif di Purwokerto menyayangkan beberapa kasus yang belakangan terjadi. Sosial media menjadi corong utama bentuk komunikasi penyelenggara dan masyarakat sebagai konsumen, segala opini dan kampanye yang dihadirkan tentu memiliki dampak yang wajib untuk dipertanggung jawabkan oleh pihak penyelenggara. Setelah ditelaah ternyata banyak hal yang dilupakan dari beberapa penyelenggaraan atas inisiasi “Mahasiswa”, salah satunya adalah birokrasi dengan institusi yang menaungi mereka. Kesimpulannya adalah mereka (Mahasiswa) belum banyak yang paham akan wacana penyelenggaraan konser musik dan pengaruhnya terhadap kota ini.

Perdebatan selanjutnya berada pada tahap apakah event/konser musik yang berjalan pincang karena kelalaian penyelenggara layak untuk dibantu, terutama gelaran yang digagas oleh “Mahasiswa”. Dengan segala bentuk risiko yang telah dibahas sebelumnya, sesi perdebatan ini memunculkan dua sudut pandang, mereka yang hadir dari kolektif dan komunitas serta mereka yang secara profesional terjun dalam penyelenggaraan berbasis bisnis. Aldiz dalam konteks ini membawa semangat kolektif yang tinggi, penolakan keras terhadap event yang hampir menyerah ia dasari atas asas keberlangsungan jejaring dengan kota lain terutama manajemen artis terkait. Sialnya, ia bahkan mengusahakan berbagai metode bahkan mengorbankan banyak hal demi sebuah gelaran tetap terlaksana. Dari sudut pandang bisnis, hal tersebut sudah jelas terlalu merugikan, terutama bagi kota ini dan tidak ada toleransi bagi hal tersebut. Dalam perdebatan ini, Oomleo menjadi peredam yang cukup baik, kemudian mengarahkan dan membagi pemahaman akan potensi besar yang bisa dilakukan oleh kota ini.

Dari segala masalah dan perdebatan yang terjadi, Purwokerto masih punya pekerjaan yang banyak untuk membenahi ekosistem industri showbiz pada khususnya. Lebih konkrit lagi, kelanjutan dari konsorsium ini akan diarahkan untuk membentuk sebuah unit atau asosiasi penyelenggara event musik di Purwokerto. Hal ini ditujukan sebagai bentuk pengawasan, kurasi, dan pendampingan bagi setiap konser musik yang akan diselenggarakan di Purwokerto. Dengan adanya asosiasi ini harapannya dapat meminimalisir potensi event yang bermasalah di kemudian hari. Asosiasi ini nantinya akan bekerja sama dan berjejaring dengan berbagai pihak terutama pemangku kepentingan dan kebijakan yang berwenang untuk menurunkan izin sebuah konser musik aman untuk diselenggarakan. Proses diskusi pembentukan asosiasi ini masih terus berlanjut hingga menemukan formula terbaik untuk keberlangsugan industri showbiz di Purwokerto. Harapannya dengan hadirnya asosiasi ini dapat menjadi angin segar bagi penyelenggaraan event di Purwokerto maupun bagi masyarakat, yang akhirnya akan berdampak pada ekosistem industri musik di Purwokerto. (FF)