Memoar Sang Pengobar Api

Share

Pada akhir 2009, di Sequel distro yang terletak di Jalan Masjid terjadi sebuah obrolan antara mas-mas distro yang sibuk memainkan plant vs zombie dengan seorang bocah ingusan banyak tingkah. Obrolan tersebut ditutup dengan “…daripada kamu yang nungguin gignya terus, gimana kalo kamu aja yang bikin gignya?” Setelah si bocah ingusan mengiyakan segeralah dia mengumpulkan band-band yang direkomendasikan si mas-mas distro serta beberapa band muda yang menurut si bocah cukup berkompetensi. Salah satunya, A Birds Eye View dan Outcry yang terpilih sebagai band baru dalam gelaran Young and Glory vol.2. Sebuah gelaran musik bagi orang dan band baru yang berkompetensi yang diselenggarakan agar dinamika dan regenerasi musik di Purwokerto tetap terjaga. Meminjam judul lagu SiksaKubur, Memoar Sang Pengobar, tulisan ini merupakan ode dari seorang bocah ingusan untuk masa-masa terbaik yang menempa salah satu band terbaik.

I

Young and Glory vol. 2 bisa dibilang cukup spesial. Gig tersebut berawal dari orang yang tidak mengenal satu sama lain dan buta dalam menyelenggarakan gig, mereka ditantang untuk membuat sebuah gig. Persiapan memakan waktu hingga 3 bulan karena berbagai kendala mulai dari masalah sponsor dan finansial yang tak semudah dibanding saat mengelar Pensi SMA hingga sulitnya mencari venue untuk gig skala menengah. Imbasnya, lamanya waktu tersebut membuat setiap orang yang terlibat jadi semakin intens berkomunikasi dan akhirnya menciptakan kedekataan personal.

Hal tersebut berlanjut jauh meskipun gelaran Young and Glory vol.2 sudah usai. Contohnya, para alumnus selalu berkumpul malam hari di Kopi Kebon – yang saat itu masih berlokasi di Jatiwinangun sebagai tempat merumuskan gig dan bertemu dengan “yang tua-tua”-. Merasa kurang, kemudian di sela-sela jam kuliah mereka berkumpul lagi di Warung Mba Keny di komplek SMA N 2 Purwokerto.

Kedekatan lainnya adalah jamming tiap senin malam sekaligus sebagai sarana latihan Adnan, vokalis Outcry yang ingin handal menabuh drum. Dari jamming inilah mulai tercetus ide proyek-proyek musik ini-itu yang kebanyakan hanya sampai pada titik wacana.

Masih membekas awal mula Adnan dengan Andi yang berpikir untuk serius daripada terpentok di jamming. Teringat waktu itu mereka berdua berujar pada si bocah ingusan “….kami mau bikin band post-rock kaya lipstick lipsing pokoknya, lalu referensi (musik) lainnya apa yah?” Seketika mereka langsung menyerah setelah mendengarkan referensi post-rock yang lain. Namun hal tersebut, tidak menghentikan langkah mereka berdua terus berproses. Proses tersebut terus berjalan sembari mereka giat membuat dan mengisi panggung dengan bandnya masing-masing. Singkatnya, Young And Glory Vol.2 menciptakan lingkaran sosial baru bagi orang-orang yang terlibat: mulai dari yang mencari pasangan ngeband, pasangan mabuk, sampai pasangan hidup.

II

Melompat ke 7 juli 2011, saat gelaran Back to Struggle 6 dihelat. Si bocah ingusan banyak tingkah yang saat itu sudah naik kelas menjadi stage manager menghardik sebuah band baru supaya segera bersiap atau terpaksa di-cut penampilannya.

Band baru tersebut beranggotakan Helena Fixx, Andi Dili dari Butterscotch, Paul yang waktu itu sudah keluar dari A Birds Eye View, Rizki “Cipling” Purnawirandi teman sepermainan Paul, dan Adnan Abadan yang sudah percaya diri untuk menabuh drum di panggung. Band baru yang di dua panggung sebelumnya bernama Benjornabaen ini dimainkan sebagai pembuka helatan Back To Struggle 6. Tetapi, band yang memainkkan musik hardcore modern tetapi “agak tanggung” tersebut memilih menggunakan nama baru yaitu BunkerbooB.

Dibilang “agak tanggung” karena mereka terdengar masih belum mantap betul memainkkan hardcore meskipun riff-riffnya sudah menjurus ke sana. Dan nyatanya, dalam kelanjutannya mereka semakin serius dalam mengeksplorasi musikalitasnya dan semakin aktif mengikuti tiap gig yang diselenggarakan. Gairah mereka ditunjang dengan keadaan yang mendukung saat itu di mana banyak komunitas yang unjuk gigi dengan menggelar gig masing-masing seperti spirit on Sunday besutan Kereta Badja atau Screamortal of Heaven dari komunitas Monsterkidz.

Meskipun berbeda-beda baik dari pelaku dan genre musik yang terkadang menjadi sebuah identitas bagi sebuah komunitas di Purwokerto, tetap saja mereka masih berada dalam satu benang merah yaitu musik “underground”. Jadilah BunkerbooB memanfaatkan benang merah itu untuk menghajar tiap gig yang ada dan perlahan menjadi primadona dan berhasil menyatukan pendengar musik metal dan hardcore/punk atau apapun dalam kamus besar “underground” pada sebuah moshpit di Purwokerto.

Sedikit berbicara mengenai gig di Purwokerto, kota ini memiliki akar musik keras yang kuat. Gig musik keras semisal Punk dan Metal sudah digelar sejak awal 90-an. Beberapa nama band Purwokerto juga sempat hangat di kancah nasional seperti Santet, DiscoRiot, Pernicious Hate dan HorrorShow.

Gedung Soetedja, balai desa Pabuaran dan Karangklesem, dan gedung Cundomanik merupakan saksi bisu geliat gig Purwokerto. Kemudian di awal 2007 ada Kebon Kopi yang menyelenggarakan gig dengan skala kecil, namun rutin seminggu atau sebulan sekali yang kemudian diikuti Defron café dan Kongkow Café. Intensitas Gig meningkat sedang skalanya mengecil.

Namun, seperti halnya sungai yang debit airnya berubah-ubah, “debit gairah” Purwokerto  pun sempat berkurang dan surut di 2013. Gig rutin seperti Spirit on Sunday, Young and Glory, Friday Freak, Screamortal of Heaven, dan lainnya mulai sepi penonton. Bahkan kebanyakan memilih menghentikan aktivitasnya.

Organizer takut semakin merugi meskipun katanya ada jargon “Indie Jaya Rugi Selalu”. Alih-alih menuruti tren redup, BunkerbooB dengan formasi baru di mana Galang Gusti masuk sebagai vokalis dan Krisna ”Ateng” Suh Sasomo menggantikan Andi malah merilis album bertajuk “Return of The Kids” pada maret 2014 dibantu Kereta Badja Record. Langkah tersebut merupakan sesuatu yang tidak populer cenderung nekat di tengah lesunya gig kala itu. Bagaimana tidak, penikmat rilisan fisik di Purwokerto sangatlah kurang. Ditambah lagi, kondisi skena sedang redup-redupnya di mana penonton gig tidak ada. Promosi album di luar cara mandiri dengan medium gig pun tidak ada. Sadar akan hal tersebut, mereka hanya mengadakan syukuran dan konfrensi pers skala kecil untuk menyambut “Return of The Kids”.

Entah band ini mengikuti primbon atau menyewa cenayang sebelum merilis album, beberapa bulan kemudian, hype Hardcore Beatdown menjamur di Indonesia. Beriringan dengan hal tersebut, gig-gig perjuangan juga turut menjamur yang kebanyakan diinisiasi anak muda dan nama-nama baru di skena musik keras Purwokerto.

BunkerbooB yang merilis album berdekatan dengan tren tersebut meraih status “dituakan” serta mendapatkan tempat khusus di hati pegiat skena Hardcore Beatdown yang baru terbentuk. Beriringan dengannya muncul nama-nama baru dalam perorganisasian musik keras Purwokerto seperti Supersemar Familia, SouthPuerto, HCPD, dan Marsha and The Bara-Bere Familia. Nama-nama tersebut berisi anak-anak yang masih belia tetapi memiliki pengorganisiran gig yang cukup baik. Dan Sejak itulah skena Purwokerto mulai menggeliat kembali serta perlahan berubah.

Salah satu gig monumental yang mencuat namanya beriringan dengan “Return of The Kids” adalah Voicehell. Gig yang dibesut oleh Aldiz Melodic awalnya menjadi wadah bagi band-band Post-hardcore dan Deathcore. Namun terus berkembang. Ketimbang memilih jalan masing-masing karena batasan genre, Bunkerboob dan Voicehell memilih menciptakan kolaborasi yang nantinya mampu menimbulkan arus yang luar biasa.

Agung Karman sebagai salah satu penggagas awal Voicehell berhasil menyampaikan bukti kolaborasi keduanya. “…Voicehell awalnya dari anak-anak yang ngga punya duit, lalu mengundang Revenge The Fate, kemudian sukses besar, tetapi BunkerbooB yang sangat sering main (di voicehell) justru pada akhirnya menjadi simbol Voicehell itu sendiri”.

Gig ini selalu menjadi saksi bagaimana tiap BunkerbooB dipanggil ke atas panggung penonton segera merapat dan beberapa membentuk lingkaran sendiri untuk berkungfu ngga jelas. Mereka melebarkan pangsa penonton gig dari sekedar “bocah tua nakal” sampai anak SD dan SMP. Gig selalu ramai dan penonton membludag. Intensitas meningkat drastis dari sebulan sekali menjadi seminggu sekali bahkan tak jarang seminggu dua kali.

Hampir semua penonton hapal dan sing a long lagu yang mereka bawakan. Tak sampai disitu, ada band baru menggunakan judul lagu Bunkerboob sebagai nama band atau bahkan mengkover lagu mereka. Saya juga memiliki pengalaman pribadi yang cukup membuktikan pengaruh BunkerbooB.

Pernah suatu waktu beberapa gentho bertamu ke rumah dalam usaha mendekati adik perempuan saya. Tanpa malu, gentho-gentho wannabe yang masih berstatus murid SMP ini merokok di ruang tamu sembari listening session “Return of the Kids” via telepon genggam china dengan speaker sember dan bernyanyi mengikuti teriakan Galang dalam versi lebih sopan serta mengucap mazmur akan kesahihan album rilisan Kereta Badja ini.

Aldiz dan BunkerbooB sepertinya adalah nama yang selalu berjalan berisisian. Keduanya memanfaatkan mutualisme untuk membesarkan ide masing-masing. Voicehell sukses menjadi gig khas yang padahal hanya berawal dari sekadar gig di parkiran kampus menjadi gig besar dengan ribuan penonton yang bertempat di GOR Satria atau Andhang Pangrenan. Begitu juga BunkerbooB. Mereka sukses menggunakan gig tersebut sebagai medium terbaiknya.

Tren dan kesuksesan Voicehell memberi berkah bagi gig lain. Mereka turut membesar meskipun tidak sebesar Voicehell. Monumen pada era ini adalah Nicetime café yang menjadi tempat langganan tiap mingggunya karena mampu menampung sekitar 800 penonton. Namun, perlu diingat, apapun gignya, ketika muncul pertanyaan “band apa yang paling ditunggu?” BunkerbooB berada di daftar teratas. Bukti tersebut bisa dilihat dari berbagai video dokumentasi yang diunggah di Youtube.

Tak hanya menciptakan fenomena dalam kota Aldiz Melodic, yang pada akhirnya menjadi manajer BunkerbooB, sukses mengelar tur Jawa-Bali bersama band besutannya yang lain, Diary of Alexandria, di bawah Bawor Voice Tour.

Namun, saat Aldiz dilanda kemumetan jangka panjang, ini bukan merupakan penyakit migrain tapi lebih merupakan penyakit yang disebabkan karena keruwetan finansial, BunkerbooB  mampu membuktikan diri sebagai band mandiri yang lengkap dengan militansi tingkat dewa. Menurut catatan saya, mereka merupakan salah satu band Purwokerto yang mampu menggelar dan menikmati rangkaian tur panjang. Mereka suskse menggelar tur bersama US Dollar (SBY) dan Prevent (Bandung) dalam rangkaian Giant Hard Tour. Panggung gigantik luar kota seperti Hellprint pun sukses mereka hantam.

Selain terus manggung, BunkerbooB juga memiliki kampanye tersendiri bagi yang menyasar massa dalam moshpit. Mereka terus mengampanyekan agar penonton lebih fokus untuk bermoshing ria dibanding bergerumbul membentuk lingkaran dan berlatih kungfu dalam moshpit.

Hal tersebut merupakan hasil pemikiran atas kekhawatiran mereka pada fenomena “kungfu” yang lebih sering memicu keributan. Tak sekadar cuap-cuap belaka, beberapa kali mereka langsung berhenti saat memainkan lagunya karena ada yang berkungfu ria dengan jurus yang cukup mematikan dan memberikan peringatan keras.

Pernah mereka memutuskan mengurungkan niatnya untuk manggung karena crowd yang semakin menggila dan tak terkontrol, hal itu disampaikan langsung oleh Paul dari atas panggung. Dan benar saja, akhirnya gig tersebut dibubarkan sebelum waktunya karena keributan yang terjadi setelahnya. Mereka sadar betul posisinya sebagai pengendali massa pada saat itu sehingga perlu mengambil sikap yang diperlukan agar edukasi dalam skena tetap berjalan lancar.

III

Pun waktu terus berlalu, Cipling dan Paul sudah melepas BunkerbooB. Dari poin itu, terlihat perginya Paul sebagai riff-master BunkerbooB memberikan dampak yang signifikan pada proses kreatif mereka. Asam-garam yang dimakan band yang berumur tujuh tahun ini menunjukkan bahwa proses kreatif sudah tak sama lagi. Eksplorasi music yang digali sudah terlalu jauh dari “hanya sekedar” BunkerbooB . Hal ini sempat dikeluhkan Ateng kepada si bocah ingusan bahwa mereka sudah tidak nyaman membuat lagu sesuai pakem BunkerbooB yang baginya itu-itu saja dan ingin lebih liar dalam membuat lagu.

Sudah dua tahun terakhir di dalam studio mereka menggodok lagu-lagu baru dengan pengembangan pakem BunkerbooB tetapi berujung nihil. Target album kedua harus delay dan makin terbengkalai. Setelah mengeluarkan single terakhir “Lost Soul”, yang nasib video klipnya bernasib sama seperti rencana album mereka,  Ateng, Galang, dan Adnan makin mantap untuk menyudahi BunkerbooB. Sayangnya mereka belum bisa menemukan waktu yang tepat untuk merealisasikannya.

BunkerbooB harus segera diakhiri, agar stagnasi yang terjadi akibat benturan-benturan pakem mereka sendiri juga berakhir. Hal tersebut berulangkali mereka utarakan kepada si anak ingusan banyak tingkah sebagai teman sepermainan mereka.

IV

Young and Glory 4 tiba-tiba digelar kembali pada 11 Agustus 2018 setelah absen sejak 2012 atas inisiatif bapak skena, Kemal. BunkerbooB yang belum pernah kebagian untuk mengisi pun ikut andil. Seiring masa promo gig tersebut, tiba-tiba personel mereka menambahkan tagline “BunkerbooB last show” di mana mereka akan tampil full team dengan mantan personel pada saat mereka di puncak.

Ikatan emosional dengan Young and Glory rupanya menjadi momen yang tepat untuk mengawali sekaligus mengakhiri sebuah era. Meskipun tidak secara de facto terbentuk melalui Young and Glory, tapi secara ideologis BunkerbooB secara alami terbentuk di gig ini ketika mereka masih sama ingusannya dengan saya.

Sebuah skenario yang menarik dari Tuhan ketika Paul, Galang, Andi dan Adnan dipertemukan di rapat Young And Glory di Kopi Kebon pada malam hari beberapa tahun lalu. Novi dan Galang, yang akhirnya menjadi suami istri, dipertemukan di tempat yang kerap dijadikan tongkrongan mereka pada siang hari di Mbak Keni. Tak hanya itu, Ateng, yang akhirnya menjadi gitaris Bunkerboob, diperkenalkan pada mereka karena saat itu tengah menjalin cinta yang akhirnya kandas dengan baik-baik dengan Wati yang tak lain teman dekat Novi.

Satu-satunya hal sedih dari kisah cinta di Mbak Keni adalah bagaimana sekarang Ateng lebih banyak menghabiskan uang gajinya di lokalisasi paling terkenal di Purwokerto akibat tak kunjung mendapat penambal lubang hati yang ditinggalkan Wati.

Hari digelarnya Young and Glory Vol.4 tiba. Massa datang satu persatu begitupun dengan personel BunkerbooB. Setelah personel lengkap di satu meja, Aldiz selaku manajer memulai sesi gendu-gendu rasa sampai menitikkan air mata. Tiap titik air matanya didorong keluar oleh tiap teguk anggur merah yang ditenggaknya. Ia memuntahkan tiap kenangan bersama BunkerbooB hingga mereka semua sampai pada titik tersebut.

Di sampingnya, si bocah ingusan yang susah payah mengumpulkan bahan untuk memoar ini berbincang santai dengan Galang yang dikenalnya sedari TK. Ditemani alunan santai pengisi gig yang kebanyakan indie rock mereka mengenang bagaimana Young and Glory mengubah nasib per-indie-indiean mereka. Mereka menarik kesimpulan mungkin BunkerbooB tidak akan terbentuk jika personel-personelnya tidak terlibat di Young and Glory vol.2 dan lebih spesialnya lagi Galang mungkin akan berjodoh dengan perempuan lain.

Pukul 22.00 lebih sedikit, MC mempersilahkan BunkerbooB untuk naik panggung. Crowd yang adem ayem di meja mulai merapat ke bibir level dan menyiapkan badan karena mereka tahu moshpit brutal akan segera disulut oleh salah satu band terbaik Purwokerto.

Pemandangan tersebut entah kapan akan terulang lagi.

R.I.P BunkerbooB Hardcore 2011-2018

(RW)