Daun studio merupakan tempat nongkrong bapak-bapak Metalhead seram sampai dianggap sebagai medium oleh skena lokal untuk berkembang di Purwokerto. Saat ini Daun studio ditutup dan rumah yang dijadikan studio telah dijual oleh istri almarhum pemilik. Bertahan cukup lama pasca meninggalnya om Tomu sang pemilik, akhirnya pada akhir tahun 2019 studio yang sudah tidak ramai pengunjung ini ditutup.
Waktu itu sekitar tahun 2012. Masih sangat membekas di ingatan ketika pertama kali saya dan teman-teman band semasa SMA mencicipi studio Daun untuk latihan sepulang sekolah lengkap dengan seragam dan rokok ketengan. Dulu bahkan sampai sekarang di Purwokerto banyak studio yang melarang musik metal untuk masuk. Beberapa studio bahkan dengan jelas meletakkan label besar “No Punk No Underground” di pintu gerbang mereka. Dengan alasan takut alat rusak dan ampli jebol membuat pemilik studio enggan menyewakan studionya sebagai wahana musik teriak-teriak.
Kami anak SMA yang kebetulan suka dengan musik teriak-teriak tapi tak kenal skena ini menemukan Daun Studio. Kejadian itu seperti kami menemukan harta karun. Yang cukup membuat kami keheranan sebagai anak bau kencur ini adalah si penjaga studio yang kemudian dikenal sebagai Dono Daun, menebak lagu yang sedang kami mainkan di dalam studio dengan gaya acak-adul. Waktu itu kami mencoba iseng cover lagu Blood Splattered Satisfication dari Waking the Cadaver.
“Soalnya jarang ada anak SMA garapin lagunya Waking jadi saya tambahin waktunya.”
Begitu kalimat pertama Dono pada kami. Memang kami merasa lebih dari satu jam di dalam studio. Kami sebagai anak SMA ingusan merasa disambut dan disambit di studio ini dan seiring berjalan nya waktu kami memiliki intensitas yang cukup tinggi dengan studio ini dan bersinggungan langsung dengan skena yang hadir dan tumbuh di dalamnya. Kemudian band anak-anak SMA ini dikenal dengan nama “Klasa Dayoh”.
Iseng tersebut yang membawa saya hingga memiliki kedekatan yang cukup personal dengan studio dan orang-orang di dalamnya. Juga menyaksikan ragam skena dan generasi lahir dan berkembang lewat medium studio ini, mulai dari bapak-bapak Metalhead sampai dengan mas-mas Emo. Selain menjadi tempat latihan yang cukup layak untuk ragam musik underground ini, Daun studio juga sering dijadikan tempat untuk menyelenggarakan studio gigs oleh band-band lokal sampai band dari luar negeri.
Bahkan ada masa dimana beberapa band yang melakukan sewa studio secara reguler terjadwal rutin dan menggunakan sistem pembayaran bulanan. Sistem tersebut dilakukan oleh beberapa band yang sedang fokus dalam proses penggarapan materi album. Selain itu, Dono sebagai pengelola studio menyediakan aneka menu santapan dan minuman hangat yang bisa dipesan sembari nongkrong di halaman studio. Meski hanya sebatas kopi sachet dan mie instan, tapi cukup menambah omset ketika studio ramai dan banyak antrian. Antrian ini bisa bertahan sampai berjam-jam. Studio pun penuh sesak dengan banyak orang membuat Dono sempat kewalahan mengelola studio ini sendirian, bahkan seringkali parkiran motor melebar dan berderet di luar halaman studio. Studio ini hanya menerima booking dari hari Senin sampai dengan Kamis. Pada hari Jumat dan Sabtu menggunakkan sistem siapa cepat mereka dapat lalu tutup pada setiap hari Minggu.
*
Ternyata setelah disadari Daun Studio menjadi salah satu tempat yang cukup menggambarkan perkembangan skena musik di Purwokerto. Sebagai saksi bisu, Daun studio memiliki banyak cerita mulai dari berkembangnya musik Death Metal, Punk, Post-Hardcore dan beberapa pergerakan musik underground lainnya di Purwokerto. Beberapa komunitas pun sempat lahir dan berkembang di dalam lingkup Daun Studio, salah satunya Monsterkidz.
Monsterkidz merupakan salah satu komunitas yang sempat meramaikan gelaran dan skena musik di Purwokerto. Meskipun penuh dengan pro dan kontra namun komunitas ini cukup memiliki eksistensi untuk beberapa tahun. Mereka memilih Daun studio sebagai base mereka karena beberapa penggerak komunitas tersebut adalah orang-orang terdekat Daun dan kerabat Dono sebagai pengelola studio. Komunitas ini identik dengan gerakan dan skena musik Emo, Post-Hardcore dan Deathcore yang sempat ramai beberapa tahun lalu. Selain Monsterkidz ada juga Purwokerto Pyrate Punk x Heartcorner, sebuah kolektif yang sering menggunakkan ruang studio daun sebagai tempat menggelar studio gigs dengan membawa tamu sampai dari luar negeri.
Monsterkidz ini juga yang pertama kali membawa saya mengenal skena dan beberapa komunitas lain nya di Purwokerto. Bahkan band metal semasa SMA saya pertama kali mendapat gigs dari teman-teman Monsterkidz ini. Meskipun setelah itu muncul polemik yang cukup membuat kami heran dengan skena di Purwokerto.
Kami sempat mendapat kecaman seperti ini “Band metal nongkrongnya di sini jangan di Daun, Daun isinya anak-anak Emo”, kalimat tersebut terlontar dari bapak-bapak Metalhead gondrong yang sebenarnya support terhadap musik kami tapi memiliki sentimen tersendiri dengan skena seperti Monsterkidz ini. Dari kasus dan gogon (Gosip-gosip Underground) ini kami mulai mengenal latar belakang skena dan persinggungan satu sama lain. Tapi saya tidak ambil pusing, yang saya pikrikan dulu adalah selama ada tempat nongkrong yang nyaman dan sehat di situ saya bisa berkembang, dan bagi saya pribadi Daun sempat menjadi salah satu ruang untuk berkembang.
Era monsterkidz ini bertahan sampai dengan kisaran tahun 2015-2016 lalu surut dan membuat dampak yang cukup signifikan terhadap produktifitas dan aktifitas yang ada di studio. Per tahun 2017 sampai setahun belakangan ini, Daun sebenarnya cukup sepi sebagai studio yang eksis selama belasan tahun. Bubarnya Monsterkidz dan skenanya menjadi salah satu momentum berputarnya roda skena yang membuat Daun sepi.
Dampak tersebut dirasakan bahkan sampai di waktu studio menjelang ditutup. Daun studio tidak pernah lagi mendapatkan momentum ramai seperti beberapa tahun yang lalu ketika skena musik post-hardcore dan Deathcore berjaya. Meskipun masih ada beberapa band yang bertahan melawan perputaran skena dan beberapa komunitas sempat satu dua kali menggelar studio gigs di Daun, namun tetap tidak mengembalikan atmosfer dan suasana Daun kembali ramai. Beberapa kali saya menyaksikan studio gigs hanya membawa Dono pada mode ngedumel-nya karena harus membersihkan sisa-sisa botol minuman keras dan studio yang berantakan sendirian.
Dalam setahun belakangan ini tongkrongan yang terbentuk di Daun bukan lagi dari orang-orang pelaku musik dan skena. Daun lebih difungsikan tempat untuk sekadar mampir dan menghabiskan kopi oleh beberapa rekan dan kerabat Dono sebagai pengelola studio atau sebagai tempat mabuk-mabukan preman sekitar di malam hari. Keterlibatan dengan project wedding band yang dibentuk dengannya membuat saya memiliki intensitas dengan Daun.
*
Meskipun tidak menyaksikan perkembangan Daun studio dari awal didirikan, intensitas yang saya bangun cukup untuk mengerti bahwa studio ini dibangun sekitar tahun 2005an di Jalan Cendana Timur IV Perumahan Bancarkembar dengan bantuan Tomy (Rocket Studio). Circa awal Daun studio memiliki dua buah ruang studio yang dipisah untuk kepentingan latihan dan recording. Bertahan beberapa tahun sampai akhirnya Tomy memutuskan membangun studio nya sediri dan memboyong sebagian alat yang ada di Daun. Sekarang Tomy masih bertahan dengan Rocket Studio di Sumampir yang diorientasikan sebagai studio rekaman.
Terhitung lebih dari tiga orang dengan interval cukup lama yang pernah bekerja dan merawat studio ini. Mulai dari Ahmad Mustaid (AA), Bugong dan yang terakhir adalah Dono. Dono pun mengaku apabila ia sudah mulai bekerja di Daun studio dari akhir tahun 2009 yang berarti tepat 10 tahun sampai dengan studio ini ditutup. Ada beberapa orang lagi yang pernah bekerja sebagai penjaga daun yang bertahan hanya rentang sebulan atau kurang. Bahkan saya sering menggantikan Dono sebagai penjaga studio selama dua minggu karena kesibukan dengan project band-nya di luar kota.
Cerita tentang kronologi penutupan studio ini masih cukup menjadi tanda tanya. Dari pengakuannya, proses penutupan dan penjualan rumah ini dirasa sangat mendadak karena tidak ada kabar dari jauh-jauh hari. Dono hanya mendapat informasi dari istri almarhum pemilik pada malam hari bahwa keesokan harinya studio harus ditutup karena rumah akan segera dijual, itupun hanya sebatas via chat Whatsapp. Kabar yang mendadak ini cukup membuat geger dan resah beberapa orang dan skena di Purwokerto, apalagi mereka yang masih mengandalkan ruangan studio sebagai tempat latihan band.
Dengan tutup nya studio ini semakin menambah kegusaran beberapa band underground untuk berlatih. Melihat saat ini sajian studio yang ada di Purwokerto belum ada yang cukup layak untuk dijadikan wahana workshop beberapa band beraliran metal.
Memang dalam satu tahun belakangan ini equipment dan alat yang di sediakan di daun studio kurang mendapat perhatian serta maintenance rutin. Hal tersebut kemungkinan besar terjadi karena omset yang mulai menurun, seiring bergantinya skena dan musik populer. Dari segi acoustic room, daun studio memiliki ruangan yang cukup baik sebagai medium workshop band metal.
Bahkan dengan mematok harga sewa studio yang terlanjur terlalu murah di antara studio lain nya di Purwokerto ini Daun studio belum menemukan pasarnya kembali. Di saat studio lain sudah berani mematok harga 35.000-40.000 per jam, Daun masih adem ayem di angka 25.000 perjam. Untuk mencari pelanggan anak-anak sekolah pun menjadi usaha yang terlalu berat bagi Dono, karena kebiasaan studio yang buka dari sore sampai dengan sangat dini hari ini membuat sulit mendapatkan pelanggan anak sekolah yang keluyuran di siang hari.
Saat ini nama Daun studio menjadi memori dengan bangunan yang monumental. Sampai saat artikel ini ditulis papan pengenal studio masih terpasang dan belum dilepas. Informasi yang didapatkan dari Dono mengatakan bahwa sudah ada beberapa pihak yang tertarik untuk memboyong studio ke beberapa tempat yang dirasa strategis untuk dibangun sebuah studio musik. Namun apabila dilakukan pemindahan tempat tanpa adanya produktifitas lebih dari tempat yang sebelumnya juga hanya akan berakhir sia-sia. Dari beberapa studio yang eksis di Purwokerto, Daun menjadi salah satu bagian dari sejarah perkembangan skena dan produktifitas berbagai band underground. Memang untuk saat ini membuka jalan bisnis dalam bentuk studio musik di Purwokerto belum menjadi sebuah investasi yang baik, apalagi studio musik yang ditujukan untuk orientasi skena dan komunitas.