“Telembuk”, ya kita tahu bahwa istilah tersebut merupakan sebutan lain dari PSK (Pekerja Seks Komersial) atau mungkin pelacur, lonte, perek, dan semacamnya yang dalam stigma masayarakat selalu bersifat negatif. Meskipun berstigma negatif istilah itu diangkat oleh Kedung Darma menjadi novel yang menarik. Membaca “Telembuk” saya seperti disuguhkan gambaran kota Indramayu yang mendalam. Kota tersebut selama ini kita kenal sebagai penghasil beras dan mangga. Tapi bagi kalian yang pernah beberapa kali ataupun sering bahkan aktif mengunjungi tempat-tempat prostitusi pasti tak heran kalau wanita pekerja seks acap kali mengaku berasal dari Indramayu meskipun belum tentu demikian kenyataannya. Melalui penggambaran mendalam tentang Indramayu dalam “Telembuk”, saya seperti melihat antara surga dan neraka mungkin berdampingan. Hitam dan putih itu benar adanya. Hal itu digambarkan dengan suasana dangdut tarling dan pengajian terjadi pada suatu waktu bersamaan di tempat yang tidak saling berjauhan.
Sebetulnya novel “Telembuk” merupakan tempat Kedung Darma melanjutkan cerita dan rahasia yang belum terungkap di novel sebelumnya, “Kelir Slindet”. Tapi bagi yang belum sempat menikmati “Kelir Slindet” tidak perlu khawatir untuk kehilangan jejak, sebab Kedung Darma menyajikan prolog berisikan garis besar novel tersebut sebelum masuk bab awal novel “Telembuk”. Menghilangnya Safitri dan Mukimin dari desa Cikedung di akhir cerita “Kelir Slindet” membuat tanda besar, dan terkesan cerita memang belum usai sampai di situ. Itulah yang menjadi rahasia tak terungkap.
“Telembuk” menghadirkan lokalitas dalam ceritanya. Kita sebagai pembaca dibawa untuk menyadari benar bahwa pada masyarakat kita, terutama kalangan akar rumput, permasalahan yang timbul memang beragam. Mulai dari kebosanan hidup dalam kemiskinan sampai keinginan untuk mencapai strata sosial yang lebih tinggi. “Telembuk” menyampaikan permasalahan-permasalahan tersebut secara gamblang. Namun, dengan menghadirkan seorang telembuk sebagai tokoh utama, tidak berarti permasalahan disampaikan dengan cara yang vulgar. Sebaliknya, dalam novel tersebut terlihat pilihan seorang perempuan untuk memilih jalan pedangnya menjadi telembuk atau pelacur bukan karena keinginan ataupun himpitan ekonomi melainkan karena alasan lain yaitu tekanan dari lingkungan yang kerap kali menilai orang tanpa mengenal lebih jauh, terlebih dari keruwetan orang orang terdekat yang berekspetasi tinggi pada seorang perempuan.
Gaya penulisan dan riset kelokalan mendalam, terutama dalam hal penggunaan bahasa pergaulan yang digunakan untuk menyampaikan cerita, membuat Kedung Darma berhasil menyampaikan detail penggambaran suasana, terutama tentang dunia pelacuran; dangdut tarling lengkap dengan sawerannya dan pergaulan para pemuda yang doyan mabuk lantas berkelahi. Hal tersebut sekaligus meyakinkan pembaca bahwa Kedung Darma tidak hanya berimajinasi tetapi pernah menjadi bagian dari kejadian tersebut di masa lampau. Hadirnya narator, yang mengingatkan saya pada acara Opera Van Java, menunjukan cara tutur Kedung Dharma yang unik. Si Dalang kerap muncul untuk menceritakan rahasia-rahasia yang belum terungkap melalui kejadian-kejadian tersurat dalam teks novel.
Kisah cinta yang ada di novel ini sangat menarik. Kisah tersebut menceritakan Safitri, tokoh utama yang memang banyak ditaksir sana sini, harus menghadapi permasalahan dimana dia yang hanya anak seorang mantan telembuk, saling mencintai dengan Mukimin, anak bontot Haji Nasir, seorang yang terpandang di desa Cikedung sekaligus pemilik mushala tempat Safitri belajar qasidah. Selain mukimin terdapat pula Musthafa yang kesengsem dengan Safitri. Ia merupakan anak pertama Haji Nasir dan juga ustadz pemimpin kelompok qasidah tersebut. Dari situlah Kedung Darma menyuguhkan permasalahan cinta segitiga rumit yang dapat melibatkan siapa saja yang kadang memang ada di sekitar kita.
Tensi yang dibangun “Telembuk” membawa saya sebagai pembacanya terus menerus menerka dan merasa bahwa 400 halaman kisahnya belum cukup. Rahasia-rahasia yang belum diceritakan di dalamnya membuat saya merasa bahwa Kedung Darma akan melanjutkan kisah percintaan Safitri dalam novel lainnya. Secara “Telembuk” merupakan novel yang cukup ringan untuk dinikmati dan banyak mengajarkan poin-poin yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat kita. Tapi yang paling membekas bagi saya adalah bagaimana kadang kita denial kalau nasib atau takdir seseorang juga bisa dipengaruhi dari lingkungan. Terlebih masyarakat kita yang mempunyai kebiasaan menggunjing, menghakimi secara sepihak, dan mengajarkan bahwa jadi orang harus sugih. Karena banyak dari kita yang bosan miskin, terutama saya hehe 😀