Kutub telah terpolar, wacana sudah tersebar. Begitu kiranya riak dalam skena hip hop di Indonesia kali ini. Polarisasi tersebut sebenarnya merupakan hal yang wajar terjadi dalam kultur Hip-Hop sebagai salah satu bentuk cross culture yang telah lama berkembang di Indonesia. Sebagai petunjuk, tulisan ini akan menyimpan pertanyaan: “Entah Senartogok yang menemukan Joe Million atau Joe yang menemukan Senartogok”. Terjawab atau tidak, bagi saya mereka sudah harus ditakdirkan untuk bertemu. Percayalah, atas nama bapa dan putra yang disemai melalui rahim ibunya, Joe Million mendapat rahim yang kuat dan tepat hingga pada hari lahirnya.
Konon, Joe digadang sebagai penerus dari Ucok aka Morgue Vanguard. Tapi dalam pandangan saya itu sangat salah. Dia lebih futuristic dan lebih otentik dari siapapun bahkan apapun. Apalagi dengan amir meludah, lirik yang disusun Joe merupakan emas dari Papua yang tertumpah ruah. Saya pernah mendengar cerita bahwa di Papua sana, pantang bagi mereka memetik buah sebelum merah. Bukan buah merah, tapi jangan memetik buah sebelum matang dan merah. Senartogok menuturkan bahwa dia menemukan Joe yang tengah asik menikmati Nas dalam Ilmatic. Dalam tahapan penemuan tersebut Sudah jelas Joe dalam tahap matang, merah, dan katanya siap marah.
V U L G A R, itu nama album yang menutup tahun ini dari Senartogok dan Joe Million. Album ini oleh kalangan boombap head disebut sebagai album hip hop terbaik versi bawah tanah, karena arus utama tengah sibuk menjadi poseur aktif pemuja toilet yang berak money money, sampai kencing dileburin jadi emas murni, tapi tetep tahi. Paket album ini dirilis versi digital tanpa plastik. Siapa yang pertama kali melabeli album ini menjadi album Hip-Hop terbaik tahun ini sudah tentu berhutang tanggung jawab untuk segera menghadirkannya dalam bentuk rilisan fisik.
Sebelum sok membedah liriknya izinkan saya melakukan klaim ilmiah tentang bagaimana Derrida menjelaskan cara untuk menemukan makna yang tersembunyi adalah dengan membuka selubung, kemudian melihat isi secara terpisah, dan membuang seluruh relasi yang ada antara kata dan konsep. Kebenaran dalam lirik tidak mutlak dapat diartikan, namun saya hanya melihat bahwa tulisan adalah bekas-bekas tapak kaki yang harus kita telusuri terus menerus jika kita ingin mengetahui yang empunya kaki. Nah, di situ posisi saya.
V U L G A R membuka atraksi kebolehannya melalui “Persetan”. Nomor ini mengangkat tema umum tentang kedangkalan makna dari apa yang ada di sekitar kita. Banyak dari kita menerima mentah sebuah informasi yang berdasar asumsi tanpa verifikasi. Sebuah fenomena yang sedang hits bagi khalayak banyak di negeri ini. Sekilas beat yang disajikan dalam “Persetan” serupa Killer Mike dan El-P, dengan petikan gitar dan snare yang dilebarkan. “Koar Trotoar” pada urutan kedua membuat saya seperti tengah mendengarkan Dalek untuk Culture For Dollars: balutan ambience menjadi struktur utama beat di nomor ini. Dalam nomor tersebut cara tutur melalui lirik Joe cukup reflektif, berkisar tentang apa yang tampak dan dirasakan kita sebagai manusia. Joe membidik hal yang nampak namun dimaknai secara absurd oleh dirinya, seperti dalam penggalan ini “Menambahkan sedikit garam pada malam//Dan opini populer ku sedang marah pada Allah//Gereja diam melihat aku berlalu//Kawanan liar mengira aku terganggu//Nyatanya ku tegang memegang ide//Yang sedang meregang nyawa sebuah tepi jurang yang rapuh//Aaah semua pandai jadi juri//Lempar kata berduri bagai puji di kenduri//Malam melarutkan rayu, racun tuk tiduri//Wanita bermata sayu digembala disusui//Lupakan bordil tenangku menyusuri.”
Nomor “Singgasana Kita” mungkin akan membuat kita mengira bahwa nomor tersebut menyampaikan tema umum tentang kekuasaan. Namun menurut apa yang saya pahami, Joe memberikan pemaknaan lain dari judul nomor tersebut. Dia mengajak untuk kita melepas batas nyaman kita yang selalu dihantui persepsi. Begini tutur ceritanya “Dan biarkan ragaku menjemput angkuh//Kilat yang bertamu takkan buatku takut//Namun kilat yang kau mau mampu tuk bukaku//Mengungkap mukaku membuatku rapuh//Ajar memalingkan wajahku menjauh//Coba sibukkan kepala tak mau singgungkan sejarah//Atau ikuti kemana arus di bumi mengarah//Jatuh hantam batu coba lihat Niagara//Indah pemandangan pengalamanmengembara. Eksplorasi adalah eskpresi agar kita tidak tersudut dalam persepsi umum tentang fakta sosial yang membelenggu. Sejenak menjeda sebelum masuk lagu selanjutnya. Tapi tetap saja membuat saya untuk berpikir meskipun itu hanya sepenggal bait.”
Setelah beberapa nomor yang menjadi penanda kejeniusan Joe dalm V U L G A R, magnum opus album tersebut jatuh pada nomor “Si Miskin Omdonesia”. pemilihan kata yang tegas dalam judul dapat membuat kita menerka kemana arah mereka akan menuju di nomor ini. Sekadar spoiler anda jangan kaget ketika mendengarkan nomor ini, kalau tidak bisa bernasib seperti saya yang menjadi mayat dan tersayat akibat berondongan punchline dalam setiap ayat. Silakan kalian dengar dan sandingkan lirik. Dan segeralah berkesimpulan sama dengan saya: “beginilah seharusnya melihat Indonesia dengan nalar”. Fakta dan metafora bercampur sudah membentuk makna baru yang lebih fresh tak terbatas oleh teralis gramatikal. Joe melesat tanpa hambatan dengan struktur suku kata dan rima leksikal. Bocoran dari Senartogok, melalui sebuah pembicaraan singkat, menyatakan bahwa sample utama yang digunakan pada nomor ini berasal dari harta karun milik Berlian Hutauruk berjudul “Matahari”. Mati lo semua, siapa tuh berlian hutauruk ga usah sok ngert imusik makanya. Menulis review album ini membuat saya membuka koper kaset pita milik ayah saya. Lagu tersebut pernah diperdengarkan olehnya dan katanya itu adalah album yang akan dikenang sepanjang masa di Indonesia. Kalian yang mengaku sok hip hop termasuk saya masih perlu banyak membaca dan mendengar lagi, banyak suara dari zaman ke zaman.
“Amin” adalah nomor selanjutnya yang menurut Senartogok merupakan sample yang diambil dari “Hey Joe” milik Jimi Hendrix. Tujuan utama nomor ini saat itu adalah untuk skit, sayang Joe terlalu rakus untuk terus mengoceh dengan sakit. Berdoa “Atas nama Big Poppa, Nas, dan roh Tupac//Biarkan aku berima salib mereka semua//Yang menganggap Hip Hop ini musik yang tak ada guna//Semua pejuang dari Sabang ke Papua//Angkat suara keluar kita lari menyeruak//Masuk dalam ruang DPR yang penuh bual//Kita muak juga mual dengan semua pertemuan//Para tuan-tuan dengan modal penipuan//Tak peduli tua-tua juga muda kita ludah//Mencoba mengajari kau sendiri begituan//Dengan anak perempuan dari rakyat punya uang//Jadi soal kelakuan jilat sa panta lubang//Bayar ko pu hutang jangan kira kami lupa”.
Fak….Saya terlalu serius membahas album ini. Kalian pasti bosan dengan tulisan macam ini, tapi tunggu dulu masih ada nomor-nomor V U L G A R yang belum dibahas pada paragraf selanjutnya. Sebelumnya saya ingin bertanya pada pembaca: “pernah dengan lagu fenomenal berjudul BAD…?” Nah saya menebak “Amin” terinspirasi dari lagu tersebut. Suasana kelam tanpa masa depan musik rap hanya jadi bulan-bulanan keuntungan, kalah itu APBN yang disusun menteri keuangan. Kalau besok besar Joe ditanya mau jadi apa dia akan akan menjawab “Aku bukan Green Peace ingin selamatkan dunia//Aku cuma rintis cara tenggelamkan dunia//Dalam keruh pipis pena atas kertas tipis//Buat telinga merintih enak saat rima menindik benak//Aah beat ini tidak senonoh jadi cocok//Campur rima dengan fitur porno dan saat vokal mix to mono//Sontak kau pun botak kaget karena ini lebihi Peter Porn”. Bagi saya ini tidak dalam batas wajar, Senartogok yang cuci, Joe memang penuh busa. Mungkin itu ungkapan yang cocok bagi mereka.”
Baiklah, mari kembali pada review V U L G A R. Selanjutnya ada “Katamorgana” yang menurut Senartogok samplenya diambil dari “Eye Of Tiger” milik Survivor. Terdapat beberapa judul lain “Seperti Candu” Feat Rand Slam teman sepermainan rima dan MG. Kemudian antrian berikutnya Kolong kembali bersama Rand Slam, “Let My Blood Be A Seed Of Freedom”, “Terbawa x Peluru” (Interlude) dan terakhir kolaborasi dengan sang perangkai suara “Menunda Mati” (ft. Senartogok). Senartogok menceritakan sedikit yang ada dala nomor tersebut, konon dia termasuk pengidap OCD, obsesif kompulsif disorder -bukan metode diet a la pesulap gundul yang kerap muncul di TV- Makanya dia paling tidak tahan kalau ada yang berulang dalam sebuah karya. untuk membuktikannya berikut saya hadirkan lirik “Menunda Mati” agar pembaca bisa mengkonfirmasinya.
(Senartogok)
Merakit kematian awal Maret yang ganas//Kusematkan ajal berkeriyap dalam nafas//2015, Joe Million lupakan Nas//Kita hanya generasi teler//Pada breaks dan rima culas//Ketimpangan tawa layak Charlie Hebdo//Kegusaran destruksi saingi pakem Desto-//Yevski menjalar bak Jaco//Pastorius membetot batu akik//Kitalah sisifus tragik, menampik!//Hidup dijalani dengan pekik//Keras sepadan hentakan kutukan sang khalik//Diantara hashtag KPK-Ahok, # Savedirikita
Hantam kejemuan meski//Berteman campuran Om-Fela kuti//Raungan terompet Ornette Coleman//Tantang keseharian Shape of Rap to Come//Bakar kemungkinan tak berujung padam//
Sambil memilin nasib katakan: “Mereka yang mencintai perang akan berjalan sendirian”.
Kurang ajar, sudah hampir tiga lembar di layar komputer. Saya singkat saja, sisanya kalian perlu menelisik sendiri kedalam albumnya. Disediakan lirik dalam bundle digital download juga, jadi tak perlu khawatir untuk ketinggalan mengejar dia merapal mantra. Melanjutkan pernyataan saya di atas, mengenai perbandingan Joe dan Ucok, mereka jelas berbeda. Joe menyajikan penggunaan dan struktur bahasa yang khas milik Papua sedang Ucok selalu menampilkan lirik dengan sangat tegas serta bahasa dengan struktur kata yang mungkin memaksa kita untuk membuka kamus. Namun komposisi bahasa Indonesia dipadukan dengan dialek bahasa ibu yang digunakan Joe menjadi inti perbedaannya dengan ucok yang hendak saya sampaikan. Saya bilang dia futuristic, karena dia tidak lagi terjebak pada teks dan konteks bahasa yang digunakan pada umumnya yang tidak pernah dilakukan oleh Ucok. Ucok mewakili generasi penentang rezim pada era Orde Baru, wajar lirik yang digunakan akan membawa kita pada pembangunan kesadaran untuk kelas terpelajar. Namun inilah keindahan kawan-kawan kita di Papua, selain cendrawasih, buah merah, kayu gaharu, tembaga dan emas yang kaya. Alam Papua mengajarkan bagaimana rima disusun bukan atas dasar keselarasan dunia modern yang teratur dan tertib. Joe membawa rap Indonesia pada level bahasa yang melampaui batas petanda dan penanda. Dia meletakan syllabel tidak hanya sebatas penjeda dalam puisinya, tetapi memposisikan untuk proposisi kalimat yang jauh lebih dalam dari pemahaman teksnya. Dia juga mewakili kerumitan generasi hari ini, karena bukan rezim semacam Orde Baru yang dia hadapi seperti zaman Ucok. Zaman di mana jargon dan slogan menjadi panji-panji akan anggapan revolusi. Kondisi di mana quotasi tanpa kedalaman membaca dan berpikir membuat mereka yang mengquotenya seakan sudah menjadi ahli. Konten yang dibawa Joe juga berkisar ambiguitas, kenaifan, moralitas semu, keresahan, kemarahan atas kondisi yang banyak dia lihat dan alami seperti penuturan Senartogok.
Senartogok memiliki peran yang tak kalah gilanya, Dia seorang diri yang mengerjakan pra-produksi hingga pasca produksi dari beat, rekaman, cover photo, graphic design, mastering dan mixing. Jika menurut J.E Sahetapy bahwa kesombongan berarti kejatuhan sudah dekat tak berlaku untuk kalian berdua. Manusia adalah kebebasan, dengan mengatakan ini Sartre memberikan sebuah penjelasan kepada manusia bahwa dirinya adalah kebebasan itu sendiri. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa manusia dapat didefinisikan sebagai kebebasan. Kebebasan bagi Sartre berarti menentukan sebuah pilihan dari sekian banyak pilihan yang lain. Manusia pada dasarnya bebas untuk mengadakan suatu pilihan atas jalan hidupnya sendiri tanpa harus didikte oleh orang lain, namun kebebasan bukan berarti ”lepas sama sekali” dari kewajiban dan beban. Menurut Sartre, kebebasan adalah sesuatu yang erat kaitannya dengan tanggung jawab, dan tidak bisa dipisahkan.
Nah, itulah yang mungkin nanti akan dihadapi oleh kalian, ketika kalian harus mempertanggungjawabkan karya kalian. Jadi untuk kalian jangan pernah samakan Joe dengan siapapun. Dia adalah otentik mewakili dirinya sendiri, tak layak disamakan dengan apapun. Ini adalah era baru generasi hip hop Indonesia. Takutlah kalian karena standard dope yang menurut Doyz dan Ucok akan meningkat pada fase berikutnya. Asal jangan terjebak saja pada idolafora, karena bagi saya musik mereka lebih dari sekedar menjadi pasar idola, Tetapi pernyataan tentang bagaimana kesadaran harus terus dipupuk dan dibangun. Mengutip kata dari Senartogok “hidup adalah pondasi utama segala hal.” Atau kalau mau membalik kalimat Nietzsche mengenai musik yang sangat terkenal itu, saya ingin mengatakan “tak ada gunanya musik tanpa kehidupan di dalamnya”
Saya sebenernya masih menyimpan hasil wawantawa dari seorang Senartogok melalui pembicaraan singkat lewat chatting. Tetapi otak saya terlalu penuh setalah memutar lagu mereka berulang-ulang menemani menulis ini. Jadi, kalian lebih baik bersabar untuk menunggu hasil wawantawa kami pada tulisan berikutnya.
Salam Hangat.