Sejak mendengarkan “Oyasha”, yang merupakan album kedua dari HoneybeaT, saya tak dapat melepaskan perhatian dari band ini. Saya yang tumbuh besar dengan musik J-Pop, awalnya pesimis dengan skena musik J-Pop Dimana, skena musik J-pop terlihat stagnan, tidak berkembang dan hanya terbagi pada beberapa komunitas kecil. Bagi saya, HoneybeaTlah yang menyelamatkan skena musik J-pop tanah air. HoneybeaT berhasil menyeruak di skena musik independen beberapa langkah lebih maju dibanding band- band rekanannya. Mereka berhasil untuk tidak tertular penyakit yang menjangkit pada band j-pop yang lain, yaitu hanya bermain di gelaran musik yang melulu Jepang. Berbagai festival musik mereka jajaki serta nampaknya jadwal manggung merekapun tak pernah kosong. Berbicara mundur mengenai album kedua mereka, “Oyasha”, bagi saya album tersebut sangat bagus dari segi kualitas musik serta kualitas produksi. Saking bagusnya, pada review yang pernah saya tulsi untuk album tersebut saya sampai berani menggaris bawahi, seandainya tak ada lirik berbahasa Indonesia, mungkin orang akan mengira bahwa “Oyasha” adalah album dari sebuah band Jepang.Selepas merilis album “Oyasha”,HoneybeaT semakin maju ke depan hingga akhirnya mereka dilirik oleh Tanukineiri Records, sebuah record label asal Jepang.
Sebagai pemanasan menuju perilisian album “Unit-109” via Tanukineiri Records, HoneybeaT yang beranggotakan Nita Akhsana, Gema Putra, Amos Wu, Kautsar, dan Andosini merilis mini album “Winner’s Identity” yang berformat piringan hitam dan hanya diedarkan di Jepang. Mini album tersebut mendapat penghargaan Must Have Release of 2013 oleh MTV81 Japan dan Top 10 Album of 2013 oleh HihiWhoope Japan. Selepas merilis mini album tersebut, Honebeat kembali melanjutkan rintisan jalan menuju “Unit-109” melalui 2 single berurutan “Sky Fishing dan “Late Night Encounter”. Puncak dari proses produktivitas tersebut adalah pengumuman album ketiga mereka yang bertitel “Unit-109”.
“Unit-109” bukan sama sekali tanpa permasalahan yang mengemuka saat penggarapannya. Sebagai info Amos, si gitaris, mengundurkan diri dan digantikan oleh Catur Cahya.Namun untungnya, hal tersebut tidaklah mempengaruhi proses kreatif selama penggarapan “Unit-109”.
“…sometimes, you just have to die a little bit to be reborn.” Adalah kuotasi yang dapat saya lihat pada lembar pertama dari sleeve lirik album “Unit-109”, serta mengawali pembahasan saya mengenai album ini. Kuotasi tersebut mungkin adalah ungkapan dari pergantian personil serta otak dari penggarapan musik dari HoneybeaT. Jika dahulu, proses kreatif pembuatan lagu dikerjakan hampir merata oleh semua personil, pada album ini penggarapan lagu lebih mengerucut pada sang vokalis nita Akshana dan, beberapa lagu, oleh Amos wu.
“Unit-109”terdiri dari 12 lagu yaitu “Holiday Loop”, “Lights Off”, “Sky Fishing”, “Virtual Star”, “Captivated”, “Marcella’s”, “Locovenus”, “Late Night Encounter”, “Interconnection”, “Past Twelve”, “Winner’s Identity”, dan “Forget About Love”. Album ini saya simpulkan merupakan evolusi dari “Oyasha” dengan elemen jazz jauh lebih mendominasi daripada album sebelumnya. Saya juga menyimpulkan bahwa “Unit-109” adalah keberhasilan HoneybeaT. Mengapa? Sebab album ini saya pikir adalah album yang membebaskan mereka dari opini yang selama ini terbangun bahwa “HoneybeaT adalah Tokyo Jihen wannabe”.
Nilai positif dari “Unit-109” saya pikir masih terdapat pada keyboardist Kautsar yang nampak paham luar dalam permainan, sound, dan detil dari karakter keyboard musik jepang. Hal lain yang menonjol serta positif dalam album ini adalah bunyi gitar yang dimainkan oleh Catur Cahya. Catur sukses membawa sound gitar HoneybeaT dalam “Unit-109” selangkah lebih baik dibandingkan dalam “Oyasha”.
Namun, kata pepatah “tak ada gading yang tak retak”. Maka, tak ada yang sempurna juga dalam sebuah album, dalam hal ini adalah “Unit-109”. Pertama, sesuatu yang sebenarnya sederhana namun fundamental adalah hilangnya lirik berbahasa Jepang yang juga menjadi identitas mereka sebagai salah satu pengusung J-pop terdepan di tanah air. Mungkin saja hal tersebut juga dapat menghindari resiko menjadi bahan lelucon bagi orang Jepang, mengingat “Unit-109” diedarkan di Jepang. Seperti kata Hyde saat L’arc~en~ciel mengadakan konser di Prancis, dimana dia merasa canggung karena manggung di depan orang yang lebih lancar melafalkan nama band mereka daripada L’arc~en~ciel sendiri.
Yang kedua adalah dari entah dari proses take atau balancing pada saat proses mixing dan mastering album. “Unit-109” terdengar lebih datar dan kurang menghentak secara sound. Sebagai contoh, bagi saya, “Sky Fishing” dan “Winners Identity” versi single terdengar lebih menghentak dibanding versi album.
Terlepas dari kelebihan kekurangan “Unit-109”, ada prestasi yang terukir dari album ini. Saya masih ingat kuotasi sebuah band Jepang, yang sayangnya saya lupa siapa, dimana ada sebuah hukum tidak tertulis “jika mau dilirik oleh masyarakat Jepang, sebuah band harus memiliki karakteristik untuk tidak memiliki “rasa musik Jepang” terlebih dahulu”. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi HoneybeaT. Mereka memainkan “rasa musik Jepang”, berhasil dilirik oleh label musik Jepang serta diterima oleh masyarakat Jepang. Sebuah prestasi yang sangat membanggakan. Oh ya, penyesalan saya yang terakhir atas album ini adalah karena katanya secara fisik album ini sudah habis di Indonesia dan, entah, belum ada kabar bahwa album ini akan direstock. Sayang juga sebuah album yang baik hanya bisa dibeli via toko digital berbayar (RW)