Bongkar pasang personil dalam sebuah band merupakan hal yang lumrah dan tentu saja hal tersebut diakui atau tidak akan berpengaruh pada proses kreatif band tersebut. Bongkar pasang personil dalam band juga dialami oleh Thirteen, sebuah band dari ibukota yang telah eksis dari sekitar tahun 2006, yang keberadaannya berawal dari gelombang naiknya tren musik dan fashion yang lazim dilabeli “emo-mtv”. Dengan fashion style yang melekat pada mereka, Thirteen pun terkena imbas di-cap sebagai band yang cocok cuma buat kuping anak kemarin sore, padahal Thirteen datang dengan racikan berbeda dengan “emo-mtv” yang tipikal pada waktu itu yaitu metal dengan sentuhan elektronik yang juga menyelipkan genre di luar metal dalam komposisi musiknya. Permasalahannya adalah Thirteen menyajikan itu semua dalam balutan fashion style mereka yang sedang digandrungi anak muda saat itu. Jadilah Thirteen disebut sebagai band korban mode yang sama sekali tidak mengedepankan musikalitas. Melelui review ini, saya sebagai penulis ingin meluruskan fenomena tersebut, karena saya sebagai salah satu pendengar Thirteen meyakini bahwa musik yang mereka bawakan adalah sesuatu yang sangat berbeda dengan tilpikal “emo-mtv” dan saya meyakininya.
Melalui formasi pertama, Thirteen berhasil merilis album yang bertitel “It’s All About Party, Music and Friendship” yang mendapat sambutan cukup baik dari ktitikus musik lokal karena angin segar yang mereka hembuskan pada skena musik lokal saat itu. Dari formulasi yang mereka ramu pada album pertama mereka, hal yang paling menonjol terdapat pada kontribusi dari keyboard player mereka, Rudye, yang saat ini merupakan personil Killing Me Inside, dimana dia dengan cerdas menyelipkan genre musik lain seperti Jazz, Funk, Elektronik bahkan Musik Klasik pada komposisi lagu-lagu Thirteen di album ini. Hal tersebut jelas merupakan sebuah keseriusan dalam mengkomposisi sebuah album, jelas! sebab hal yang wajar pada era “emo-mtv” saat itu adalah maraknya band musiman yang merupakan copycat dari band-band bule yang membawakan genre musik serupa. Album pertama Thirteen jelas sesuatu yang berbeda dan serius.
Sekitar setahun berikutnya, bongkar pasang personil kerap terjadi pada Thirteen. Hal tersebut cukup berpengaruh pada proses kreatif mereka. Penantian akan direksi musik baru yang berasal dari pengaruh bongkar pasang personil Thirteen terjawab dengan dirilisnya album kedua mereka yang bertitel “Epidemic”. Meskipun tidak secara drastis mengubah direksi musik mereka, namun kegilaan pada album pertama mereka sudah tidak begitu terasa pada “Epidemic”. Dengan tambahan personil baru yaitu Jodhi Melani sebagai bassist dan clean vocal serta Eponk sebagai keyboardist membuat Thirteen cenderung lebih kalem dan anthemic. Direksi musik mereka kali ini lebih mengarah pada Post-Hardcore/Metal Elektronik yang tengah menjadi tren pada masa itu semacam Asking Alexandria atau Blood Stain Child era album “Epsilon“, sehingga sound yang mereka hasilkan jauh lebih berat dibandingkan “It’s All About Party, Music and Friendship” . Hal yang disayangkan dari album kedua ini menurut saya adalah selipan genre musik lain pada beberapa lagu terkesan sedikit dipaksakan guna menegaskan identitas Thirteen era album “It’s All About Party, Music and Friendship“. Kesimpulan saya pada album “Epidemic” adalah Thirteen gagal mempertahankan kejeniusan mereka pada album pertama, namun hal tersebut tidak berbabding lurus dengan jam terbang mereka dari panggung ke panggung. Meskipun saya berkesimpulan demikian, toh nyatanya dengan anthemicnya nomor-nomor pada album “Epidemic” justru membuat mereka semakin merajai pensi di ibukota. Thirteen sekali lagi menunjukan kemampuan mereka untuk memperluas pendegar mereka meskipun melalui sesuatu yang sederhana dan cenderung anthemic.
Pada 2014 ini, Thirteen kembali merilis sebuah mini album bertitel “Undead” yang sekaligus digunakan untuk memperkenalkan formasi paling baru dimana hanya tersisa Bondry dan Eponk dari formasi album “Epidemic”. Raynard dan Jodi yang merupakan duet vokal album “Epidemic” sudah digantikan dengan Ardi. Pada mini album yang berisi empat lagu ini, direksi musik Thirteen kembali berubah dan kali ini sangat drastis. Dengan gaya metalcore kekinian, mereka mengkomposisi dengan apik materi pada mini album ini dimana tidak ada lagi bebunyian elektronik dan clean vocal yang berlebihan seperti pada album “Epidemic”. Ramuan album “Undead” praktis hanya menyisakan bebunyian synth dan sampling tipis di tiap lagu, porsi clean vocal berlebih dihilangkan dan kemudian hanya dijadikan sisipan untuk sekadar mosh breakdown. Oke, mari kita bicarakan secara mendetail album yang menurut saya adalah pencapaian terbesar Thirteen selama ini, dari nomor ke nomor dari perbedaan drastis seperti yang saya sebutkan di awal paragraf ini dan biarkan saya membuat sebuah kesimpulan bahwa Thirteen ini adalah sebuah band jenius yang kerap di-cap ini itu karena cara mereka berpakaian.
Mini album “Undead” dibuka dengan nomor favorit saya setelah mendengarkan seluruh materi, “We Are Mountain“, yang langsung menampar dengan riff yang berat dan ketukan drum yang cepat. Ardi sebagai vokalis baru memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan Raynard. Vokalnya yang cenderung berupa teriakan emosional terlihat lebih jantan jika dipadukan dengan musik Thirteen sekarang daripada growl berat a la Raynard. Paling tidak nomor pembuka ini telah menunjukan bahwa dalam Thirteen terdapat sebuah kejantanan dalam arti yang harfiah dan terdengar lewat sebuah lagu yang mereka ciptakan. Pada lagu kedua, “Long Distance Year“, Thirteen masih mengandalkan formula yang sama seperti mereka tengah menegaskan bahwa ini adalah Thirteen yang baru: keras, berat dan cepat meninggalkan segala bentuk formula atau komposisi yang pernah mereka ciptakan dalam 2 album sebelum “Undead“ ini. “Hometown“, sebagai lagu ketiga, bisa dibilang lagu dengan porsi bebunyian elektronik paling banyak, sekilas seperti menampakan citra Thirteen yang dahulu, namun kita sebagai pendengar akan segera tersadar setelah mendengar komposisi nomor tersebut secara lengkap. Nomor ini, menurut saya, adalah sebuah pencapaian besar Thirteen sebab mereka mampu meramu sebuah ramuan lawas dengan ramuan baru yang mereka pakai sekarang dimana tujuan akhir dari komposisi tersebut jelas tercapai, yaitu pendengar bisa membedakan Thirteen yang lama dan yang sekarang, salut! Mini album ini menuju klimaks melalui nomor yang berjudul sama dengan tujuan lagu tersebut “Klimaks”. Bagi saya, nomor “Klimaks” sangat tepat diletakan sebagai penutup album “Undead” sebab pada lagu tersebut Thirteen dengan sukses memadukan alur groove-groove berat sepanjang lagu yang diselingi dengan isian rap Fajar Ibel di pertengahan lagu sebagai jembatan menuju klimaks berupa ramuan bebunyian string section yang secara tepat dimunculkan pada akhir lagu. Selain sebagai klimaks yang tepat dalam menutup sebuah album, bagi saya, nomor “Klimaks” bisa dibilang merupakan benchmark dari komposisi-komposisi yang diciptakan Thirteen sekarang, yang lebih dewasa dan telah mengalami transformasi dengan bongkar pasang personil.
Kesimpulannya, menurut saya, jika diruntut dari album pertama, inilah album terbaik dari Thirteen, sebab dengan selektif dan pintar mereka mengurangi, membuang serta menambahkan apa yang perlu dan tidak perlu sehingga pendewasaan yang mereka lakukan justru membuat mereka menjadi lebij muda, baru dan menegaskan bahwa mereka bukan hanya band yang layak didengarkan “anak kemarin sore” saja. Bongkar pasang personil justru membuat Thirteen mendobrak sematan yang telah ada pada mereka akibat dari dua album terdahulu mereka sekaligus membuat mereka memperlebar range pendengar mereka. Benar juga pepatah orang bule yang bilang “What doesn’t kill you only make you stronger“, selamat buat pencapaian terbaru kalian, Thirteen! (RW)