Tren music seperti Post-Hardcore a la MTV, Metalcore, serta Deathcore sebenarnya sudah sempat mampir di Purwokero sekitar 2007-2009 silam. Seiring perkembangan jaman, tren tersebut kembali hadir di Purwokerto dalam bentuk yang sudah lebih terredefinisi menyesuaikan zaman. Salah satu yang terlihat paling signifikan dari gelombang kedua tren tersebut adalah style music Post-Hardcore yang disusupi bebunyian elektronik seperti bebunyian synth, Electronic Dance Music, serta Deathcore yang mengandalkan groove-groove intens dan clean vocal a la Emo-Mtv. Pendengarnya pun semakin meluas dengan menjamah anak yang masih berstatus murid SMP bahkan SD.
Fenomena gelombang kedua tren tersebut seperti menyeruak begitu saja, tiba-tiba, dan secara instan berkembang pesat di Purwokerto. Berkembangnya gelombang tren musik tersebut berbanding lurus dengan berkembangnya skena yang membuat saya berdecak kagum. Sebagai bukti kuatnya skena Post-Hardcore di Purwokerto adalah dengan intensnya gig yang mereka selenggarakan. Asal pembaca tahu, di Purwokerto, skena ini menyelenggarakan gigs hampir setiap minggu!
Sayangnya kuantitas dalam skena tersebut tidak diimbangi dengan kualitas referensi yang kaumnya gali. Kebanyakan kaum tergabung dalam skena ini hanya berkutat mendengarkan band yang sedang ngetop saja tanpa memperluas diri dengan mendengarkan pionir-pionir pencetus timbulnya term “Post-Hardcore” atau bahkan band sejenis namun tidak ngetop.
Selain kekurang pedulian pada penggalian referensi lebih mendalam, dalam skena tersebut juga nampak gejala kekurang pedulian terhadap sebuah album fisik (terlihat dari sepinya penjualan album fisik pada lapak gigs yang ada). Namun, hal-hal tersebut dapat dimaklumi dari sebuah skena musik yang masih berproses dan berkembang. Dari skena musik yang tengah berkembang inilah, mucul sebuah band bernama Diary Of Alexandria yang muncul sebagai bintang dan akan menjadi pengisi paragraf selanjutnya dalam tulisan ini.
Diary of Alexandria yang beranggotakan Yovi, Refan, Yandha, dan Baim merupakan band dari daerah barat Purwokerto, tepatnya Ajibarang. Sebuah band yang pada awal kemunculannya mengacu pada band yang dijuluki “Teenage Pop-Metal” oleh webzine Metal Injection, Asking Alexandria. Dengan musik yang mengacu pada band tersebut, Diary of Alexandria sebenarnya cukup memberikan variasi pada skena metal di Purwokerto melalui style music Metalcore/Post-Hardcore plus sentuhan elektronik. Meskipun sejujurnya, bagi saya, mereka bermain pada garis musik yang sebenarnya tidak aman disebut “Metal”.
Pada pertengahan 2015 ini, Diary Of Alexandria cukup bernyali berani untuk merilis album pertama mereka yang bertajuk “The Beginning of A New Story” lewat Nird Records, label baru dari daerah asal mereka, Ajibarang. Berdiri pada 2011 dan segera merilis album membuat Diary Of Alexandria terlihat lebih maju 2 langkah di depan. Tak hanya itu, jika di kancah nasional ada fenomena Revenge The Fate, maka mungkin di Purwokerto dan sekitarnya, Diary of Alexandria sukses mencuri fenomena itu ke daerah.
Keduanya hidup dari skena musik yang rata-rata terdiri dari anak SMA, SMP, dan SD. Mereka berdua pun memiliki basis massa yang sangat loyal. Kedua band tersebut mendapatkan kepopuleran yang sangat massif dalam waktu relatif singkat meskipun berbeda lingkupnya. Yang saya maksud berbeda di sini adalah animo dari pendengar masing-masing. Apabila Revenge The Fate merilis album di waktu yang tepat dimana pendengarnya akan membeli segala macam rilisan dari band tersebut, Diary of Alexandria merilis album di saat penjualan album fisik masih begitu rendah bagi kalangannya.
Pada paragraf sebelumnya, saya sempat mengatakan bahwa The Beginning of A New Story adalah langkah yang cukup bernyali. Saya mengatakannya karena sepengelihatan saya musik yang Diary of Alexandria tawarkan pun sebenarnya sudah mulai surut peminatnya di skena musik tersebut.
Sekarang saya akan masuk pada pembahasan dari The Beginning of a New Story yang merupakan titik sentral tulisan ini. Menilik progess skena musiknya, hal tersebut cukup mempengaruhi proses kreatif dari Diary of Alexandria pada pengerjaan album perdana mereka ini. Mengapa? Pertama jelas, lagu yang mereka tawarkan memiliki “batas maksimum”. Eksplorasi influence mereka ada di band-band sejenis dan mentok pada tahun 2008-2009 awal dari band seperti asking Alexandria, I See Stars, Attack-Attack!, dan lainnya. Padahal jika mereka bereksplorasi lebih jauh, pada tahun tersebut terdapat band yang saya rasa bagus untuk digunakan sebagai influence, meskipun kurang terkenal, seperti Still Remains, Sky Eat Airplanes bahkan Blood Stain Child dan Dazzle Vision, band underated asal Jepang yang menjadi pionir dari style musik ini.
Kedua ada pada penulisan struktur lagu. Meskipun penulisan lagu dari Diary Of Alexandria memiliki struktur hampir sama pada tiap lagunya, namun, riffing yang hampir berbeda membuat The Beginning of A New Story ini justru terlihat seperti sebuah album kompilasi karena karakter musik Diary of Alexandria belum terbentuk dengan matang. Tapi hal tersebut mudah dimaklumi mengingat ini adalah album perdana mereka.
Ketiga adalah pada penulisan lirik. Lirik yang ditulis oleh Yovi masih berkutat seputaran cinta, semangat perlawanan dan pembuktian akan sebuah ejekan atau diskriminasi yang kurang jelas subyek dan obyeknya. Sedikit beropini, sudah barang lazim band yang membawakan style musik seperti Diary of Alexandria dialamati “metal setangah matang”, oleh siapa saya juga kurang paham. Saya cuma kerap mendengarnya saja. Dari situlah, mungkin pula, pembuktian tersebut dialamatkan balik. Kembali ke fakta, sejujurnya dalam mendengarkan lagu saya tak terlalu peduli terhadap isi penulisan sebuah lirik, namun memang akan lebih menarik jika lirik memiliki korelasi dengan musiknya serta memiliki wacana yang hendak disampaikan pada pendengar. Sebagai contohBlood Stain Child, band yang pada awal karirnya mengusung Melodic Death Metal namun pada perkembangannya mengubah direksi musiknya dan menjadi sebagai salah satu pionir stylemusik ini, dengan musik yang cenderung “canggih” dan futuristik, menuliskan liriknya sesuai dengan “tedeng aling-aling” space, planet, dreams, dan lain sebagainya. Meski membawakan tema yang jauh dari cinta, Blood Stain Child secara sukses meramu hal-hal tersebut dengan pilihan kata mereka, sehingga terbentuklah wacana yang hendak mereka sampaikan pada pendengaranya, sesuatu yang sederhana yang bernama cinta.
Meskipun Dalam album The Beginning Of A New Story saya berkesimpulan divisi lirik masih terkesan asal-asalan dan tidak menarik pendengarnya untuk membacanya lebih lanjut, pujian saya alamatkan pada kualitas dan pemilihan sound dalam album ini. Sound yang dihasilkan cukup “menendang” belum lagi sentuhan dari additional player Anree pada pengisian sampling/DJ serta Chandra dari Soulsaver/Warlok pada gitar yang memberikan sentuhan tersendiri bagi musik dalam The Beginning Of A New Story. Dan tak ketinggalan, hadirnya musisi tamu berupa Dixie dari Dead With Falera serta Ynwie Valentina yang merupakan biduan nomor wahid se-Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unsoed cukup memberikan variasi serta nilai jual lebih bagi album ini
Di luar kekurangan-kekurangan The Beginning of A New Story sebagai album debut. Pada dasarnya album tersebut adalah sebuah album yang bagus dari kacamata progesi kemunculan awal Diary of Alexandria. Namun, beberapa divisi yang genting untuk diperbaiki pun tetap ada. Saya mengalamatkan perbaikan pada divisi penulisan lagu, dan pertanggung jawaban live perform sesuai dengan kualitas sound yang dihasilkan dalam album ini. Karena perjalanan masih panjang, maka tidak ada salahnya dalam berkembang ke depan, Diary Of Alexandria turut serta membawa pembelajaran mereka pada skena untuk terus belajar dan memperluas influence. (RW)