“The Heat Of The World” – Conscience Revolt

Share

Artist: Consciene Revolt | Album: The Heat Of The World | Genre: Metal Core | Label: – | Tahun: 2015
 

Consciene Revolt merupakan band dari Majenang, sebuah daerah di pinggiran Kabupaten Cilacap. Majenang merupakan daerah perlintasan jalur selatan menuju kota besar seperti Bandung dan Jakarta. Daerah seperti ini biasanya menjadi tempat akulturasi berbagai kultur kota besar yang berada di sekitarnya. Tapi bagi saya, yang terbesit dalam pikiran setiap mendapati istilah “daerah pinggiran”, dalam konteks kota dengan sebuah skena musik bawah tanah, pasti adalah banyaknya band di daerah tersebut yang terinfluence band bule semacam Cradle of Filth, Nightwish, dan maestro dari dalam negeri seperti Revenge The Fate serta Burgerkill.

Perkenalan saya dengan Conscience Revolt pertama kali terjadi saat teman saya, AA, memasukkan mereka sebagai salah satu band dalam line up Headbanger 2012. Dan saya berkata jujur bahwa apa yang saya jadikan sebagai pembuka review ini adalah sesuatu yang terpelihara sampai saat itu. Pada saat itu, saya sudah bersiap menikmati “metal pinggiran” dengan sentuhan beberapa band yang saya sebut di atas. Sebelum saya akhirnya ditampar dengan kenyataan bahwa Conscience Revolt sama sekali tidak seperti “band pinggiran” pada umumnya. Band ini memainkan Metalcore yang tidak begitu modern dan notabene tidak begitu populer untuk ukuran, bahkan, di kota-kota besar di Indonesia sekalipun.

Menurut pengamatan saya, banyak band yang memainkan genre serupa dengan Conscience Revolt, di kota besar, justru mengalami semacam nasib apes seperti terpaksa ganti genre atau yang lebih apes lagi malah harus bubar. Conscience Revolt justru mengawali pematangan genrenya melalui Metalcore ketika genre yang bernama Technical Death Metal sedang boomimg-boomingnya saat itu. Hebatnya lagi, mereka berasal dari Majenang, daerah yang, saya harus jujur, sama sekali tidak pernah saya ketahui perkembangan skena musik bawah tanahnya.

Itu tahun 2012, Conscience Revolt manggung di Headbanger dengan Metalcore agak lawasnya. Sekarang di tahun 2015, di mana Beatdown Hardcore sedang ganas-ganasnya. Mereka justru melakukan terobosan yang lebih berani, merilis album, pembaca! Dan sangarnya lagi, mereka rilis tanpa label apapun alias benar-benar mandiri. Saya sangat salut dengan usaha dan terobosan mereka. Oke, sajian pembuka masalah genre dan masalah asal-muasal Conscience Revolt saya kira saya cukupkan sampai di sini saja. Sekarang saatnya kita membahas sajian utama dari album ini berupa kumpulan karya yang mereka dokumentasikan dalam cakram padat bertajuk “The Heat Of The World”.

“The Heat Of The World” berisi 9 lagu yang dibuka dengan track berjudul “Consciene To Reality” yang merupakan semacam intro berbentuk instrument tanpa vokal. Pembuka album tersebut segera disambung dengan  3 track  lama mereka “Introspeksi’, “Poso Berdarah”, dan “Pemberontakan Nurani” yang sudah mereka remaster supaya tidak terdengar belang dengan track lainnya. Beberapa track yang benar-benar baru dalam “The Heat Of The World” adalah “Biadab”, “Ordonansi Sakit Bangsa” “Terkutuk”, “Instinct the Rebel”, “Binasa”, dan juga “The Heat Of The World”. Kesimpulan saya, secara genre, saya sepertinya tidak akan membahas permasalahan lirik atau pemilihan diksi dalam keseluruhan tema album ini, komposisi yang mereka mainkan masih berada dalam style Metalcore yang berkembang di atas tahun 2002. Masa dimana band-band semacam Endthisday, Nehemiah, Red Rose For A Blue Lady, dan konco-konconya mulai tumbang satu per satu sedang band semacam Dead to Fall, Poison the Well, dan As I Lay Dying mulai merintis jalan untuk menuju kepopuleran.

Karena mungkin arsip mengenai band-band bule yang saya sebut di atas sudah susah dicari bahkan di era internet seperti sekarang, buat mengerucutkan pandangan pembaca mengenai musik Conscience Revolt dalam “The Heat of The W0rld” saya ajukan satu sample yang paling mirip. Burgerkill album Berkarat. Menurut pendengaran saya, sound pada album Berkarat inilah yang diadopsi oleh Conscience Revolt plus komposisi musik yang sudah lebih “metal” dan minus part-part Hardcore serta petikan clean guitar.

Sebagai penutup tulisan ini saya menyimpulkan dua hal: Pertama tidak masalah disamakan dengan idola  yang menginfluence sebuah band, apalagi sampai bisa rilis album. Harapan-harapan menjadi sesuatu yang baru pada era sekarang ini sepertinya adalah harapan yang basi lagi tidak mungkin terpenuhi. Dalam konteks Conscience Revolt, saya justru berkesimpulan bahwa mereka sangat berani untuk mengusung musik yang telah lewat masa jayanya. Nantinya yang akan menjadi tantangan besar ketika mereka melanjutkan usaha mereka adalah konsistensi, mereka tidak akan dihadang oleh tren, karena mereka sendiri melompati tren yang tengah hidup sekarang.

Kedua adalah tentu saja, keberaninan mereka untuk merilis album. Kata kritikus musik bule, album yang baik adalah album yang kontennya bagus plus kontekstual, menyajikan sesuatu yang baru, dan menyimpan pengalaman pribadi penulis liriknya. Conscience Revolt dengan “The Heat Of The World”nya jelas belu memenuhi standarisasi yang demikian. Tapi, kita hidup di lain dunia, dimana orang di sini tidak mempedulikan konten sebuah album di luar musik itu sendiri. Jangankan peduli dengan konten sebuah album berupa keterkaitan tema dengan musik yang menjadi medianya, untuk membeli sebuah album saja masih banyak orang yang  lebih baik pasang muka tembok buat menanyakan link download pada band yang mereka sukai. Selain secara lirik yang tidak terlalu menarik minat saya buat menguliknya, secara teknis dan kejujuran pendengaran, saya menganggap apa yang dibawakan Conscience Revolt dalam “The Heat Of The World” cukup langka pada era sekarang meskipun tidak begitu terlalu menampar. Sebab komposisi pada tiap lagunya terdengar hampir mirip sehingga terdengar monoton. Yang cukup menggugah semangat adalah rangkaian empat track terakhir dalam “The Heat Of The World” yang tiap komposisinya menyuguhkan part-part solo gitar a la Melodic Death Metal.

Tidak ada band yang langsung sukses pada album pertamanya belakangan ini kecuali Pallbearer dengan “Sorrow and Extiction”. Maka, semoga review ini menjadi kritik dan bahan penguji konsistensi Conscience Revolt. Toh, saya tidak melulu mengkritik, sebab saya kagum dengan keberanian mereka untuk merilis album secara mandiri. Sesuatu yang sangat jarang saya lihat di Purwokerto, dimana di sini pencapaian besar hanya melulu pada panggung, bukan pada keberanian berkonsistensi di tempat rekaman dan kemudian menghasilkan album. Salute buat kenekatan kalian, Conscience Revolt! (RW)