Pusara Pustaka: Antologi Doa dan Kutukan Sebuah Debut dari Cosmicburp

Share

Artist: Cosmicburp | Label: HILLS.CO | Tahun: 2020 | Genre:

Sebuah ulasan tentang album yang egois ini

Ternyata waktu istirahat telinga saya terganggu karena album yang penuh dengan celoteh dan marah-marah ini. Niat hati ingin mengistirahatkan telinga sejenak dari musik-musik syaiton justru dihadapkan dengan 13 track menghentak yang tidak begitu ramah ini, dan saya dengarkannya sampai habis. Hal ini terjadi ketika seorang kawan yang tidak begitu akrab, berinisial DVTR dengan nama asli Faishal melemparkan tanggung jawabnya untuk mengulas album ini karena sibuk mempersiapkan pernikahannya (semoga pernikahanmu baik-baik saja, br0w).

Album dengan judul cukup panjang ini ‘Pusara Pustaka: Antologi Doa dan Kutukan’ dikerjakan secara independen oleh pria ‘yang katanya berusia 21 tahun’ bernama Luthfi Andianto dengan menggunakan Cosmicburp sebagai identitasnya. Album debut ini resmi dirilis pada 7 Juli 2020 dibawah naungan HILLS.CO dengan menggunakan metode rilis digital. Hal tersebut cukup disayangkan setelah sekilas melihat artwork album ini yang cukup menarik dalam press rilis, membuat saya penasaran bagaimana eksekusinya dalam bentuk rilisan fisik.

HILLS.CO sendiri merupakan sebuah multi disciplinary music company yang saya belum mengerti maksudnya sampai saat ini meskipun beberapa waktu yang lalu sempat tipis-tipis mananyakannya lalu dijawab dengan “coba tebak”. Dari tanya jawab keple yang dengan salah satu oknum HILLS.CO tersebut membuat saya cukup tertarik dengan Cosmicburp sebagai salah satu roster mereka.

Pengalaman mendengar album yang dinamis ini cukup membuat angguk-angguk dan bergumam “hmm bole boljug nehh”. Meskipun saya bukan orang yang cukup intensif mendengar seluk beluk hip-hop, namun dari hentakan sound drum beat dan tensi yang perlahan pada track pertama membuat penasaran sampai menghabiskan satu album penuh dalam sekali duduk. Benar saja, di track-track selanjutnya ornamen beat dengan time signature yang menggigit dan balutan sound distorsi gitar dengan riff yang powerfull membawa memori nuansa Hip Rock/ Rap Rock kembali ke otak.

Track “Menerobos Masuk” masih terngiang-ngiang setelah berhenti mendengarkannya. Lirik “Hai Bajingan!, Kami akan datang dan menerobos masuk” melekat di kepala. Seperti yang kita ketahui banyak band/musisi yang menerapkan kata “bajingan” dalam lirikalnya mulai dari Kelompok Penerbang Roket, Jason Ranti, sampai Wali (xixixii). Cosmisburp berhasil mengaplikasikan kata “bajingan” dalam track ini sangat proporsional, terdengar nyaman dan mungkin akan menjadi ikonik. Selain groove yang bikin angguk-angguk Cosmicburp juga menyisipkan breakdown part dan teriakan lantang dengan tensi tinggi layaknya mendengar musik metal.

Benar saja setelah saya baca press rilis yang dikirim, di situ Cosmicburp menjabarkan influencenya dalam bermusik. Dia menuliskan macam Jaco Pastorius, Rage Again The Machine, sampai Slipknot ke dalam kiblat bermusiknya. Pantas musik dan aransemen yang dihasilkan penuh dengan hentakan, groove mangangguk namun masih memikirkan macam sukat yang lucu-lucu gemas dan progresi chord yang menarik.

Sebagai seseorang yang mengerjakan album ini sendirian, dari menulis lirik, membuat aransemen dan membangun mood lagu Cosmicburp berhasil memukau telinga saya dari sudut pandang pendengar. Cukup mengasyikan mendengar lagu-lagu yang digarap serius dibawakan dengan mood dan gaya tlonyoran seperti ini, meski ada beberapa poin yang mengganjal. Seperti dalam track “Pertanyaan/Pernyataan” Cosmicburp menyelipkan adlibs dengan suara pria sebagai moderator layaknya pembawa acara dalam hajatan yang mungkin berniat melucu tapi sebenarnya “gak lucu-lucu amat” melontarkan candaan garingnya. Atau beberapa part ketika Cosmicburp bernyanyi (bukan rap) yang malah lebih lucu dari konsep candaannya. Namun kembali lagi hal-hal tersebut menjadi “baik-baik saja” ketika dibalut dengan produksi musik yang matang ini.

Tak luput dari perhatian Cosmicburp juga menanggapi situasi saat ini dalam salah satu track berjudul “Gaduh-gaduh” yang bercerita tentang penolakan jenazah seorang perawat karena terdampak COVID-19 di Ungaran. Selain menuangkan ke dalam konten albumnya, mungkin situasi saat ini juga menjadi refleksi tersendiri bagi musisi perihal risiko merilis album penuh di masa pandemi seperti ini termasuk Cosmicburp. Tidak bisa melakukan tur dalam rangka promo dan distribusi album menjadi salah satu problema yang dihadapi. Namun sepertinya tidak begitu berpengaruh terhadap album ini, melihat Cosmicburp memiliki engagement yang lumayan bagus di sosial medianya serta media dan relasi yang cukup terhadap orang-orang yang berpengaruh di skena musik ini. Meski di sisi lain mungkin banyak orang yang penasaran ingin melihat penampilan Cosmicburp membawakan album ini secara langsung termasuk saya sendiri.

Tak lama berselang setelah mendengarkan album ini, saya yang masih penasaran dan tidak mengenal secara personal dengan Cosmicburp ini bermuara pada sebuah utas Twitter yang dibuat oleh akun yang bersangkutan. Sedang asyik gulir-gulir layar ponsel lalu melihat Faishal membubuhkan komentarnya pada sebuah utas yang ternyata adalah utas singkat yang membahas tentang proses dan perjalanan Cosmicburp dalam mengerjakan album ini. Meski singkat pembahasannya terlihat cukup rinci dan terkonsep dengan struktur yang rapih, mulai dari konsep lirikal, musik hingga gambaran mood yang ingin dibangun dalam bentuk visual. Lalu dia menjelaskan proses produksi album tersebut lengkap dengan siapa saja yang terlibat termasuk Faishal yang membantu menjadi vocal director di salah satu tracknya. Secara langsung Cosmicburp mengarahkan pendengar dan pengikutnya dalam satu gagasan yang gamblang dan jelas tentang kemana dan apa yang ingin disampaikan oleh album ini.

Dan ketika Cosmicburp mengatakan “album ini bukan untuk semua orang” dalam track terakhirnya yang berjudul “Widodo”, memang benar yang saya rasakan ketika mendengar beberapa track dalam album ini sangat personal. Sebagai debut, album ini memang menunjukan secara gamblang identitas Cosmicburp dan tak segan meleburkannya secara penuh dalam konteks musik & lirikalnya. Dalam track “Widodo” ia membungkus kata-kata yang sewajarnya terdapat dalam partisi album (rilisan fisik) di bagian ‘ucapan terimakasih’ menjadi bagian dari lirik yang bisa didengar semua orang. Entah dalam proses merekam celoteh ucapan terimakasih dalam part tersebut dilakukan secara impromptu atau melalui proses menulis terlebih dahulu. Yang saya rasakan adalah kecakapannya dalam berbicara, alami dan organik baik impromptu ataupun terkonsep Cosmicburp memang terbiasa berceloteh.

Cara tersebut merupakan cara yang cukup unik untuk menunjukan eksistensinya dalam bermusik, memperkenalkan karakter sekaligus mendeskripsikan siapa dirinya sebagai pengarang dan pembuat karya. Atas alasan itu kenapa saya menyebut bahwa album ini sangat egois, karena terasa bagaimana dia bercerita dengan jujur dan apa adanya mengenai dirinya, situasi di sekitarnya, dan menceritakan orang-orang terdekatnya. Tidak perlu tafsiran yang macam-macam dengan beragam asumsi, album ini jelas dalam satu arah menuju tema yang egois atas hasil relasi sebuah karya dan penulisnya. Saya belum pernah mendengar hasil produksi Cosmicburp yang lain dan mungkin belum ingin mendengarkannya karena ekspektasi saya sudah cukup tinggi dengan apa yang saya dengar di album ini. Tinggal menungu sepertinya album ini akan meledak lebih dari tv “boom”. (FF)