“Harimau Soematra” – Tuan Tigabelas

Share

Tahun 2019 boleh dikatakan jadi anjang para musisi hip hop mengeluarkan banyak album. Namun begitu, tidak terdapat banyak catatan tentang progress yang dilakukan. Bukti yang nampak nyata menunjukan hip hop tengah melesat adalah siaran pers serta album CD hasil produksi mereka. Saya mencoba menelusur tulisan review album-album yang beredar, namun sangat sulit. Sekalipun ada hanya berupa instant review yang diunggah melalui status-status di akun sosial media personal.

Lebih disayangkan, banyak “jurnalis musik” tidak memberi perhatian kepada pertumbuhan hip hop yang sebenarnya telah masuk ke era baru. Hip hop yang awalnya selalu mendompleng gigs-gigs dari genre Punk hingga Hardcore. Saat ini, telah menjadi bagian tersendiri yang mampu menggelar acara-acara khusus ber-genre hip hop.

Pun, jika ada orang yang melakukan review, perhatian mereka hanya terpusat pada unit rap crew yang sudah memiliki nama. Setidaknya pasca Bars Of Death (BOD) merilis album Morbid Funk bulan ini. Beberapa “jurnalis musik”  mencoba mencari atensi dengan melakukan instant review. Tapi sayang sekali, instant review yang ditulis justru menunjukan, sekelas editor media besar masih tidak bisa membaca dan tidak memahami metode produksi di hip hop. Tidak ada yang salah memang melakukan instant review, tapi alangkah baiknya jika bukan sebagai ajang aji mumpung. Apalagi mereka punya kanal media yang seharusnya bisa digunakan sebagai medium review yang lebih komprehensif.

Apa yang diharapkan dari budaya kultus omong kosong dari unit rap crew yang sudah lama bubar bernama Homicide. Bahkan MV sendiri mengakui jika BOD telah bubar sejak 2017, sementara album Morbid Funk hanya sekedar menunaikan janji agar bisa diselesaikan. Seolah-olah semua orang harus merasa ikut memberi perhatian kepada album Morbid Funk. Karena menurut saya, baik Homicide, Triger Mortis, BOD sudah mencapai batas limitnya, pun jika melakukan produksi saya yakin tidak akan ada yang baru dari tema hingga tekniknya. Sudah tidak patut lagi disebut avant garde.

Saya menempatkan mereka seperti buku Das Kapital yang banyak dikutip orang-orang. Lebih menarik melihat aktivitas orang-orang baru yang mengutip, mempelajari, mencontoh, memodifikasi, meredefinisi, mendekonstruksi hingga mereduksi karya mereka. Karena pasti terdapat sesuatu yang baru dari proses tersebut. Dan telah dipastikan masih terdapat banyak album dari unit rap crew lain yang patut mendapat perhatian lebih.

Tuan Tigabelas merupakan salah satu rapper yang perlu mendapat perhatian. Salah satu nama yang cukup konsisten dalam hip hop setidaknya sejak tahun 2010 (jika tidak salah). Sempat membuat projek bernama Rebel Education Project dengan melahirkan EP berjudul “Letter To” pada tahun 2014. Silahkan disimak review di halaman kami melalui link berikut: https://heartcorner.net/album-reviews/letter-to-ep-rebel-education-project/

Pada tahun 2019, Tuan Tigabelas membuat kemajuan yang perlu diapresiasi karena berani mengeluarkan album solonya setelah hampir 1 dekade hanya merilis lagu secara serabutan. Dia secara resmi merilis Album Harimau Soematra pada 20 Juni 2019 lalu. Lebih dari enam (6) bulan berlalu hingga memasuki awal tahun 2020, tidak ada satupun produk review album yang muncul. Padahal menurut saya, Tuan Tigabelas merupakan salah satu rapper yang memberi kontribusi pada tumbuhnya geliat hip hop di Indonesia. Salah satu rapper yang saya anggap sangat konsisten bergerak di skena hip hop. Nama besarnya hari ini tidak lain karena Tuan Tigabelas sangat konsisten memproduksi karya hampir 10 tahun. Untuk itu saya memberi perhatian kepadanya dengan mencoba melakukan review terhadap albumnya.

Sebelum berbicara tentang lagu dalam Album Harimau Soematra. Saya akan mencoba menjelaskan terkait pemilihan judul albumnya. Sebagai seorang kelahiran Sumatra, mungkin Harimau adalah hal yang dekat dengan budaya, mitos, kepercayaan, dongeng yang cukup akrab dengannya. Selain itupun, Tuan Tigabelas memang kerap kali memberikan insert kata “Harimau” di beberapa liriknya. Hal ini diakui langsung oleh Tuan Tigabelas melalui obrolan singkat kami berikut:

          ”Sebenernya dari tahun sebelumnya kan gue sering bragging kalau gue harimau gitu, binatang buas, predator puncak ,ya standart hiphop lah ahahha. Tapi seiring berjalannya waktu, gue baru nyadar kalau gue nggak tau apa-apa tentang harimau padahal sering banget gue selipin di lirik.Mulai ngulik dan baca akhirnya, nah pas gue tau fakta tentang harimau sumatra, kaya digampar gue, ternyata mereka nggak seperkasa itu, predator puncaknya bukan mereka, tapi manusia. Akhirnya gue putuskan untuk membuat satu lagu gue dedikasikan untuk harimau, yaitu ‘Last Roar’, setelah lagunya jadi, gue nggak mau campaign nya cuma mentok dirilis lagu, akhirnya ngobrol sama beberapa NGO, nyangkut lah di World Wildlife Fund (WWF), akhirnya kita kerjasama dengan WWF terkait isu harimau. Rerlepas dari banyaknya edukasi yang gue dapat bahwa harimau adalah satwa kunci yang ngontorol ekosistem, kalau ga ada mereka rantai makanan pasti berantakan, dan impactnya ke manusia juga. Ternyata setelah gue ngobrol sama orangtua, banyak banget cerita keluarga atau cerita rakyat dari tempat asal gue yang berhubungan dengan harimau. Justru ini yang bikin gue tertarik karena secara kultural kita sudah menjalin komunikasi dengan satwa ini, dan lintas generasi, walaupun orang-orang bilang hanya dongeng. Tapi yang unik di tiap daerah, di sumatra selalu ada cerita tentang bagaimana harimau disebut dan dituakan. Ini yang bikin gue jatuh cinta dan akhirnya harus bersuara mas hehe. Justru judul album Harimau Soematra gue pilih setelah gue ngulik info tentang harimau dan baca kebudayaannya, sampai akhirnya bisa mampir ke habitat nya langsung, Baru ke pilih nama itu hehe.”

Cerita di atas memberikan gambaran bahwa judul Harimau Soematra dipilih berdasarkan hasil refleksi dari Tuan Tigabelas. Menurut saya, Tuan Tigabelas meski tidak selalu membuat tema soal kritik sosial, tetapi dia selalu memberikan concern khusus pada isu sosial. Dari segi produksi cetak albumnya, pria yang akrab disapa Upi ini memilih menggunakan keras daur ulang sebagai canvas cover dan information kits yang ada di albumnya.

Selain itu, menurut penuturan Tuan Tigabelas setiap album fisik dan merchandise yang terjual sebagian disisihkan untuk donasi pelestarian hutan dan harimau. Begitu juga untuk semua royalti yang dihasilkan dari digital. Saya juga merasa perlu menjelaskan sebuah informasi dari penjelasan Upi, bahwa semua aktifitas yang dilakukannya bersama World Wildlife Fund (WWF) berasal dari uang tersebut. Berikut penuturannya ketika kami berbincang lewat chat:

          “Mungkin orang-orang bilang gue cuma gimmick, peduli setan sih, gue nggak terlalu perduli juga hehe. Yang pasti gue mau melakukan tindakan nyata untuk spesies ini, ya lewat musik. Orang-orang juga banyak yang berfikir, wah enak ya upi jalan sama WWF, satu hal yang teman-temen nggak tau bahwa gue jalan sama WWF biar dana yang gue kumpulkan dari donasi dan merch bisa gue salurkan ke WWF. Thats it. Ga sepeserpun gue minta teman-teman WWF ngeluarin duit, karena gue tau pergerakan mereka pun hasil donasi teman-teman, itu miss-persepsi yang sering banget terjadi pasti hehe.”

Untuk pengerjaan artwork dalam albumnya, Tuan Tigabelas mengajak Smok dari Gardu House. Dia juga menggandeng 11 produser yang telah malang-melintang di skena hip hop untuk turut ambil bagian menjadi produser beatnya. Beberapa nama diantaranya adalah: Indra Dom Dom, Lipooz, Saykoji, Phono Socialist, Muztang, High Therapy, Mardial, Papa Street, 4PRI Beat, Juragan Beat, hingga beatsmith yang telah lama hiatus dari skena hip hop yaitu Sickness MP.

Lagu pertama dibuka dengan judul MOVE. Tidak mengherankan jika di lagu pertama Tuan Tigabelas sudah melakukan bragging. Sebagai pembuka dia melakukan beberapa diss subliminal di dalam liriknya. Saya mengutip satu bait lirik miliknya yang cukup menarik berikut: Kutampar pipi mu jika kau tanya tentang UBC. Persetan ku sudah cabut jadi ku tak peduli. Ku dari barat Jakarta bawa sgudang amunisi. Tembakan lirik ku ke rapper yg ga nulis sendiri”. Dia memang pernah tergabung dalam Underground Bizniz Club, hingga hari ini tidak pernah tau apa alasannya dia keluar. Selain itu, perlu menjadi perhatian khusus bahwa dalam albumnya dia juga tidak selalu menulis lirik sendiri. Dalam lagu MOVE, dia menggandeng Sun D untuk penggarapan liriknya. Upi memang memiliki teknik delivery yang baik. Tidak mengherankan juga di lagu pembuka ini dia langsung banyak melakukan braggadocio. Kombinasi flow yang diberikan upi dalam lagunya juga enak didengar. Jenis flow the chant di chorus dan straight flow pada bagian verse membuat lagu pembuka ini sangat menarik untuk di simak.

Penggarapan lagu ini diserahkan oleh beatsmith bernama Indra Dom Dom aka Gandhiholic. Seorang skater asal Bandung yang juga memiliki minat khusus kepada hip hop. Saya mencoba membandingan beat di lagu MOVE dengan lagu garapannya sendiri berjudul The Show Isn’t Over Yet bersama Deepsmoke. Indra selalu memainkan teknik short chopping dengan mengambil part tidak lebih dari 2 bar sebagai komposisi dalam beatnya. Selain itu, Indra juga lebih sering memainkan over pitch pada beat-beat garapnya dan memberikan insert vocal chop sebagai pemanis. Karakter ini sangat nampak pada beat di lagu MOVE maupun The Show Isn’t Over Yet (diperkirakan lagu ini dirilis sekitar tahun 2010-2012). Di dalam lagu MOVE, Indra sample lagu yang diambil dari Ohio Player berjudul Funky Worm pada bagian intro dan chorus. Sementara pada bagian verse, Indra mengisinya dengan sample lagu milik Three Times Dope berjudul Mr. Sandman.

Lagu kedua, berjudul BUTA. Lagu ini menceritakan tentang sebuah kondisi yang sangat dekat dengan kehidupan kita. Tuan Tigabelas mencoba memberikan kritik terhadap kondisi masyarakat hari ini. Mungkin, Upi hendak menjelaskan bahwa bekerja adalah cara manusia untuk bertahan hidup. Namun, kita tidak sepatutnya kehilangan akal sehat dan nurani dalam menjalani kehidupan. Uang bukan segalanya, polarisasi politik adalah toxic, individualis dan ketidakpedulian, hingga sifat medioker dan hipokrit dari diri kita yang kerap kali muncul namun kita tidak sadar. Saya kutip lirik bagian chorus dari lagu ini ”Mata melihat tapi hati tertutup rapat. Mulut terbuka tapi bicara tak manfaat. Telinga mendengar tapi kita masih tersesat. Hati berkarat, tak digunakan, maka kita buta”. Upi mencoba mempertanyakan cara pandang moral masyarakat yang korosif. Sesuatu yang sebenernya kerap kali menghancurkan kita dengan tidak sadar. Dalam penggarapan lagu ini Upi mengajak Muztang, salah satu DJ dan produser yang cukup terkenal dengan aliran Drum and Bass. Namun, kali ini Muztang menggarap beat boom bap yang identik dengan lagu Get Not Better milik Clear Soul Force. Lagu ini sangat kental dengan atmosfer beat-beat garapan produser east coast, dalam lagu BUTA, Muztang meletakan sample piano dan rodhes jazz dengan insert sustain flute dan reverb bell. Untuk penggarapan liriknya, upi juga mengajak Buana Tara.

Lagu  ketiga, berjudul 16 Bar. Tuan Tigabelas kembali menaikan tensinya. Di atas beat garapan produser bernama Lipooz (Mukarakat), Upi membuka dengan intro adlibs “And suddenly, everybody wanna be a rapper, shitt, 16bar, shot out to my man lipooz, i got this”. Intro tersebut sangat jelas kepada siapa lagu ini ditujukan. Seorang Upi yang saya anggap cukup moderat dalam menanggapi berbagai macam perkembangan di hip hop Indonesia, ternyata juga merasa cukup gerah dengan banyaknya posser dan aji mumpung. Apakah saya bisa menyebut Upi juga seorang yang snob dalam hip hop?. Belum tentu, tetapi setidaknya Upi juga mengungkapkan keresahannya terhadap kondisi hip hop di Indonesia. Sayangnya, lagu ini dikemas dengan sangat sublime jika harus dikatakan sebagai diss track. Karena Upi tidak melakukan drop name kepada siapa lagu ini ditujukan. Bisa jadi lagu ini ditujukan bagi semua rapper. Begini tuturnya, ”Ramai-ramai bikin diss tapi skill minimalis. Persetan label mu atau kolektif. Bawa kemari teman-teman mu yang fiktif, dengan mic kau aku baptis”. Siapa yang hendak dituju oleh Upi dengan ini?. He He He He He, boleh ditanyakan langsung ke dia. Judul lagi ini juga seperti mengambil nama acara 16 Bar yang dibuat oleh Lipooz di Youtube. Beat dalam lagu ini jelas sangat boom bap, hal itu karena Lipooz tidak lain adalah seorang produser yang telah sangat lama bergelut memproduksi beat-beat 90s. Salah satu produser yang patut diperhitungkan juga dalam skena hip hop tanah air.

Lagu keempat, berjudul KANE ABIS. Lagu yang dikemas dengan lirik berbahasa inggris. Secara umum lagi ini menceritakan tentang bagaimana upi menapaki perjalanan hidupnya. Berjalan dari panggung ke panggung. Berusaha dengan terus konsisten menapaki jalur hip hop sebagai harapan hidup dengan mengikuti passion-nya. Lagu ini cukup personal menurut saya, karena beberapa kali upi menjelaskan bahwa dia tidak hanya mencari uang atau popularitas. Sementara untuk penggarapan beatnya, Upi menyerahkan kepada Phono Socialist (Harukanaroo). Jujur saya belum familiar dengan nama produser ini.  Saya menemukan informasi tentang Harukanaroo melalui Spotify, pada tahun 2019 dia mengeluarkan album instrumental dengan kombinasi lo-fi hip hop dan trip hop berjudul Wasuremono. Hal yang cukup spesial dari Upi karena menggandeng produser yang jauh dikenal oleh khalayak. Namun, memiliki kualitas produksi yang sangat bagus. Phono Socialist memberikan Upi sebuah beat lo-fi yang easy listening.

Lagu kelima, berjudul LEGACY. Tuan Tigabelas menggandeng Saykoji dan Ras Muhammad untuk berbagi mic. Tidak ada yang spesial di lagu ini. Saykoji masih dengan tema yang sama dengan lagu-lagunya. Semua orang mungkin sudah sangat memahami bahwa Saykoji memang menjalani pekerjaan dan pilihannya sebagai rapper. Sayang sekali, di lagu dengan judul LEGACY bukan warisan yang diberikan melainkan justru konfirmasi atas omongan orang-orang yang kerap dilancarkan kepada dirinya. Untuk sekalas Saykoji, harusnya mampu lebih memberi kontribusi lirik yang lebih epic di album perdana milik Tuan Tigabelas ini. Upi pun sama, melakukan pengulangan tema yang sama dari lagu-lagu sebelumnya. Sementara Ras Muhammad hanya mendapat bagian chorus dan beberapa part sebelum lagu ini berakhir. Beat lagu ini digarap langsung oleh Saykoji. Tidak perlu ragu jika urusan beat, karena dia telah sangat lama bergerak dalam skena hip hop.

Lagu keenam, berjudul GWID. Mengandeng High Therapy dalam penggarapan beat dengan jenis dub. High Therapy juga ikut memberikan kontribusi lirik dan performance-nya dalam lagu ini.

Lagu ketujuh, berjudul FUCK THEY SAY. Tema yang lebih menarik dari lagu sebelumnya. Upi mencoba mengeksplorasi gagasan imajinernya. “Im a rollin up a joint. See the world from up here. Im leavin all the noise. Di dalam sunyi aku cari jati diri. Ku muak dengan bumi jadinya aku harus pergi, akan kubangun pesawat luar angkasa. Agar aku bisa pergi utk mengudara, menjauh dari sesak nya dunia yang fana. Mendarat di bulan, ambil kertas dan tertawa”. Upi membayangkan dirinya pergi jauh dari bumi. Sebenarnya tema ini cukup menarik untuk dieksplorasi lebih. Namun, dalam verse selanjutnya Upi masih terus mengoceh secara serampangan. Saya hanya bisa memahami, mungkin perjalanan yang ditapaki Upi banyak menemui cibiran hingga direndahkan. Sehingga dia terus membuat lirik dengan tema yang sama. Penggarapan beat ini dilakukan oleh Mardial, produser yang sudah terkenal dan pemenang nominasi Paranoia untuk Dubstep dan Drum and Bass 2019. Kapasitasnya dalam memproduksi beat tidak perlu lagi saya ragukan. Selain itu juga Upi mengajak Maximvsraptor berbagi chorus.

Lagu kedelapan, berjudul JURAGAN DAN TUAN. Seperti judulnya, lagu ini mengarah pada kolaborasi Tuan Tigabelas dengan produser Juragan Beat.

Lagu kesembilan, berjudul LAST ROAR. Beat yang diproduksi oleh Muztang ini juga merupakan single yang rilis oleh Tuan Tigabelas. Sekaligus bentuk dari dedikasi dan konsen isunya terhadap Harimau Soematra. Lagu ini sangat spesifik membicarakan soal harimau yang telah terdesak ekosistemnya. Upi juga menjelaskan keterdesakan harimau Sumatra karena banyak pembabatan hutan dan eksploitasi lahan sawit. Saya menemukan tema yang baru di lagu ini, setelah beberapa lagu sebelumnya selalu terlihat sama.

Lagu kesepuluh, berujudul SKILL PAY THE BILL. Cukup jelas dari judul apa yang dibicarakan oleh Tuan Tigabelas. Penggarapan lirinya Upi dibantu oleh Gunz dan Buana Tara. Sementara beat diserahkan kepada Sickness Mp, produser boom bap asal Pacitan yang telah sangat lama hiatus.

Lagu kesebelas, berjudul FAITH. Menggandeng Sailor Money untuk mengisi part song di chorus. Kembali upi curhat tentang perjalannya bersama istri dan anaknya. Terlebih bagi pendengar yang mengikuti perjalanan Upi sejak awal karirnya. Saya memberikan apresiasi kepada Papa Street yang memproduksi beat untuk lagu ini. Soft string pad, xylophone serta plucked dengan kombinasi 808 sub bass mebangun konstruksi lagu ini jadi enak didengar. Lagu dan tema serta pengemasan membuatnya sangat emosional.

Lagu keduabelas, berjudul JAKARTA VS EVERBODY. Menceritakan Jakarta sebagai kota kelahiran upi. Entah kenapa tiga lagu terakhir justru lebih menarik perhatian saya untuk mendengarkan. Untuk lagu ini, Upi juga memiliki eksplorasi yang bagus dalam menggambarkan Jakarta. Meskipun dalam format bahasa inggris, namun liriknya mudah dipahami. Beat yang digarap oleh Astaga Bonie juga memberikan pondasi yang kokoh. hard string, violin, dan piano yang dibuatnya membuat jadi terdengar padat. Ditambah insert gitar dari Duke Yudhistira, ini merupakan lagu pengantar menuju penutup yang presisi. Apalagi ditambah suara bernyanyi Kay Oscar di posisi chorus, lagu ini benar-benar padat dan rapat.

Lagu terakhir, berjudul SECTION 8. Upi menyerahkan penggarapan beat-nya kepada 4Pri Beat, seorang beatmaker asal Surabaya. Saya mencoba memahami arti judul lagu ini. Istilah ini sering digunakan di Inggris dan Wales yang merupakan bagian dari Housing Act 1988. Housing Act 1988 adalah Act of Parliament di Inggris . Ini mengatur hukum antara tuan tanah dan penyewa . Undang-undang ini memperkenalkan konsep-konsep tenuran yang terjamin dan penyewaan yang dipendekkan. Sementara Section 8 atau bagian 8 adalah pemberitahuan berhenti atau pemberitahuan kepemilikan. Bagian 8 , merupakan pra-syarat jika pemilik dari suatu tempat sewa terjamin ingin mendapatkan pesanan kepemilikan dari pengadilan, sehingga mengakhiri penyewaan, dengan alasan berdasarkan pada keadaan tertentu pemilik hak untuk memiliki. Saya mencoba menafsirkan bahwa upi ingin mempertegas di akhir albumnya bahwa dia telah berhasil bertahan dengan rentang waktu yang panjang di dalam skena hip hop. Serta membuat pengumuman bahwa hip hop adalah miliknya.

Sebelum mencapai penutup, saya akan menambahkan beberapa catatan atas album ini. Dalam proses mixing dan mastering album ini Javafinger memberikan warna baru. Berbeda dengan album garapan (contoh: DefBoc atau Hell House) yang cenderung memiliki satu type dalam proses mixing dan masteringnya karena diampu oleh satu orang yaitu Hamzah. Javafinger atau Jawa memberikan sentuhan clean mixing dengan komposisi low (bassline) yang kental. Soal kualitas output dari album ini saya sangat mengapresiasi. Jawa tidak perlu diragukan lagi kemampuannya mengolah musik dari Tuan Tigabelas menjadi seenak milik Maliq and The Essential.

Saya pun dapat memahami kenapa Upi kerap kali memberikan lirik yang nyari serupa bercerita tentang perjuangan dan perjalanan hidupnya. Begitupun bragginhg yang dilakukan olehnya, saya cukup memaklumi. 10 tahun lebih berkarya dan akhirnya bisa menikmati hasil kerja kerasnya pasti sebuah kebanggaan tersendiri secara personal. Sangat wajar jika dalam tiap bar lirik, Upi selalu mencoba bragging dan mencerca orang yang mungkin kerap kali merendahkan jalan pilihannya. Album pertama ini menjadi wajar untuk sarana bragging, dissing, hingga story telling. Namun saya harap, Tuan Tigabelas harus segera memikirkan album selanjutnya, yang lebih authentic. Karena album ini saya anggap bukan merupakan masterpiece milikinya. Tuan Tigabelas, jelas lebih mampu membuat album yang lebih bagus dari ini. Apalagi, menurut saya, dia adalah salah satu rapper yang memiliki kemampuan terbaik dalam kemampuan flow, delivery dan cadance. Karakter vocalnya sampai hari ini sangat sulit ditolak untuk tidak didengarkan.