Bagaimana Saya Memandang Aksi Demonstrasi Senin Hingga Saat Ini

Share

Beberapa waktu terakhir ini, gelombang demonstrasi terus terjadi. Hal ini dipicu lantaran Pemerintah dan DPR RI tengah berusaha melakukan percepatan kerja mereka. Seolah-olah terbangun dari tidurnya, DPR RI melakukan kegiatan sistem kebut semalam dalam pengerjaan RUU KPK, RUU KUHP beserta 74 RUU lainnya. Namun, RUU KPK dan RUU KUHP menjadi pemicu gelombang besar aksi demonstrasi yang masih berlangsung hingga 24 September 2019, malam hari ini.

Saya melihat terdapat beberapa fenomena menarik dari gelombang aksi belakangan ini. Saya menyoroti beberapa poster yang berbunyi “tititku diatur negara”, “Pap tete bukan urusanmu”, “Kentu di bui, korupsi di cuti”, “Selangkangan bukan urusan pemerintah”, serta banyak poster dengan tema serupa. Hal tersebut sebelumnya sangat tabu dibicarakan dalam ruang publik. Menurut KUHP saat ini, perbuatan zina dilakukan antara orang yang sama-sama atau salah satunya terikat pernikahan. Sedangkan dalam RKUHP, definisi zina diperluas menjadi segala hubungan seks di luar nikah.

Selain pasal tersebut, memang masih terdapat banyak pasal yang dinilai oleh masyarakat sangat bermasalah. Alih-alih mengganti KUHP yang umurnya sudah lebih dari 20 tahun sebagai warisan kolonial. RKUHP justru membuat regulasi yang sebenarnya tidak jauh berbeda. Bahkan media internasional Reuters menyebutkan, Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia dan juga terdiri dari minoritas Kristen, Hindu, dan Buddha, tetapi baru-baru ini menunjukkan tren religiositas yang lebih kental dan aktivisme Islam konservatif.

Saya menemukan fenomena ini cukup menarik dari penolakan yang dilakukan mahasiswa. Poster yang mereka bawa sangat kental dengan semangat sekularisasi dan liberalisasi di sektor publik. Memang tidak dapat dinafikan bahwa RKUHP memuat pasal yang berdasarkan standar nilai dan moralitas agama. Semangat penolakan ini mengingatkan saya pada gagasan kebebasan berpikir dan berekspresi dari John Stuart Mill. Dalam Liberty (1859) dijelaskan tentang sebuah kebebasan yang paradox. Dimana kondisi masyarakat sipil berada di bawah ancaman yang lebih besar dalam sebuah demokrasi melalui rezim despotik. Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan di dalam masyarakat sendiri, bahwasanya individu yang merupakan bagian dari entitas masyarakat mulai mempertanyakan tentang kebebasannya masing-masing. Pertanyaan yang kemudian muncul dalam tiap individu adalah, “Apakah saya harus melindungi kebebasan saya?”,“Mengapa penting untuk melindungi kebebasan individu?”. Masih menurut Mill, manusia memiliki potensi dalam menggunakan kemampuan berpikir untuk dirinya, saat itulah manusia juga menggunakan pikirannya untuk menentukan pilihan atas dirinya.

Mill dalam tulisannya mendefinisikan kebebasan sebagai berikut, “Kemampuan manusia, persepsi, penilaian, perasaan diskriminatif, aktivitas mental, dan bahkan preferensi moral, itu dilakukan hanya dalam membuat pilihan … mental dan moral, seperti kekuatan otot, ditingkatkan hanya saat digunakan … Dia yang memilih rencananya untuk dirinya sendiri, mempekerjakan semua kemampuannya. Dia harus menggunakan kemampuan observasi yang dimilikinya untuk melihat, penalaran dan penilaian untuk meramalkan, kegiatan untuk mengumpulkan pertimbangan untuk mengambil keputusan, melakukan diskriminasi untuk memutuskan, dan ketika ia telah memutuskan, ketegasan dan kontrol diri untuk memegang keputusan dilakukan”.

Sementara itu, dalam struktur demokrasi yang mulai terbajak kepentingan oligarki dan despotik. Orang-orang bertindak terhadap sesuatu karena tindakan mereka telah ditentukan dan diberitahu untuk melakukannya. Dalam hal ini, RKUHP sebagai landasan formil bernegara, menjadi alat represi terhadap kebebasan individu. Sementara, akses pengetahuan yang semakin terbuka pada era modern ini, membuat orang semakin ingin mengembangkan setiap kemampuan dan tindakan yang dimilikinya sendiri. Akhirnya, RKUHP dianggap sebagai alat represi negara yang menghambat tindakkan dan kemampuan individu. Secara khusus terhadap aktivitas privat (seksual) setiap individu yang seharusnya bukan menjadi urusan negara. Menurut Mill, meskipun dengan adanya belenggu bisa memandu individu menuju beberapa jalan yang baik dan layak, namun hal tersebut tidak baik dan menjadikannya manusia yang ragu. Mill menjelaskan dengan rinci posisinya dalam kebebasan dengan membela tiga kebebasan tertentu, kebebasan berpikir dan berekspresi termasuk kebebasan berbicara dan penerbitan, kebebasan bertindak dan membentuk asosiasi. Menurut Mill terdapat empat alasan bagi individu untuk memperjuangkan kebebasan ini menjadi sebuah berekspresi aktif.

Pertama, ide-ide dominan masyarakat biasanya berasal dari kepentingan kelas kelas kekuasaan dalam masyarakat. Dalam konteks penolakan yang dilakukan mahasiswa, poster-poster penolakan yang bertuliskan narasi-narasi tenang selangkangan, alat kelamin bahkan aktivitas seksual secara terbuka. Seakan ingin memberikan pesan kepada pembuat kebijakan bahwa aturan negara seharusnya tidak usah menggunakan ide-ide masyarakat mayoritas berdasarkan agama tertentu. Bahkan terhadap cara berpikir DPR RI dan Pemerintah sebagai kelas penguasa.

Kedua, pendapat mayoritas mungkin cukup jauh dari kebenaran atau dari kepentingan sosial. Pendapat kelas penguasa sebagai representasi rakyat (DPR RI) mencoba mendefinisikan sebuah tafsir kebenaran dalam hukum positif atas nama kepentingan sosial. Namun, penolakan justru terjadi secara massif melalui tuntutan poster yang dibawa mahasiswa. Hal ini berarti, wacana tentang kepentingan sosial dalam bernegara melalui Lembaga representasi (DPR RI) sudah dianggap tidak mewakili kepentingan individu di dalam negara.

Ketiga, penekanan pada opini minoritas adalah sebuah kebenaran. Jika, RKUHP mewakili sebuah cara berpikir kelompok mayoritas tertentu untuk mengatur setiap warga negara. Maka, akan menjadi sangat wajar bahwa DPR dan Pemerintah sedang melakukan penekanan opini minoritas terhadap sebuah kelompok masyarakat yang heterogen. Maka, memunculkan penentangan-penentangan dari kelompok masyarakat yang merasa kebebasannya tidak terfasilitasi dan justru dikebiri.

Keempat, dengan adanya kebebasan berfikir dan berekspresi mencegah timbulnya persepsi/ pendapat yang salah. Mahasiswa sebagai kelas terdidik jelas melakukan banyak refleksi pemikiran terhadap kondisi realitas yang terjadi. Bukan menjadi hal aneh, apabila tuntutan aksi yang berupa penentangan menggunakan poster bertema seksual sebagai kritik terhadap dunia yang sebenarnya tidak profan tetap dicitrakan seolah-olah sebagai hal yang suci.

Reaksi ini sangat berkorelasi jika ditinjau bahwa Lembaga negara kita seperti, Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif yang mencoba mencitrakan diri sebagai seorang yang suci dalam masyarkat. Justru melakukan tindakan yang sebenarnya menabrak nilai moralitas yang telah banyak didefinisikan ulang oleh generasi yang baru sebagai sebuah perilaku yang buruk. Misalnya, “sembayang tapi korupsi”,”daripada selingkuh mendingan poligami”, “demokratis hanya ucapan, tapi represif dalam aturan”.

Secara umum, ini juga memukul mundur gagasan konservatif (agama) yang selama ini digaungkan tumbuh pesat di kampus. Menjadi sebuah peluang besar bagi para pegiat, demokrasi, toleransi, liberal bahkan sekuler untuk mendorong demokratisasi kepada substansinya. Bahwa kebebasan berekspresi adalah hak yang wajib dijunjung tinggi. Sementara kebebasan privat dalam ranah individu bukan merupakan hak maupun kewajiban negara untuk mengaturnya. Negara harus mendefinisikan ulang standar moral mereka ke ruang lingkup yang lebih luas seperti, pemberantasan korupsi, penghapusan politik uang, nepotisme, praktik oligarki politik, pelanggaran HAM, kekerasan atas nama negara, dll.

Negara harus melakukan koreksi secara fundamental terhadap standar nilai yang dibentuk sejak zaman kolonial, orde lama, orde baru hingga reformasi. Generasi hari ini telah mendefinisikan ulang sebagai bentuk political correct terhadap struktur dominal atas moralitas dan cara berperilaku. Rentetan aksi ini akan menjadi bagian sejarah baru gerakan mahasiswa di Indonesia. Dimana anak-anak muda turun ke jalan untuk menuntut negara mengubah pandangan dan dogma tentang moralitas dan nilai yang sudah bertahan sangat lama. Generasi ini melakukan koreksi melalui gerakan yang menerobos wacana-wacana tabu yang selama ini dibentuk oleh orang-orang tua. Melawan pengkerdilan gerakan dari golongan tua yang paling sok tahu tentang perjuangan bernegara dan berbangsa dengan semangat zaman mereka sendiri. Sekaligus menunjukan bahwa kelas menengah terdidik di Indonesia dapat bangkit melakukan pergerakan tanpa harus menunggu harga beras naik. Gerakan ini merupakan gerakan untuk mendorong kebebasan berpendapat dan berekspresi di tahan yang sangat advance. Gerakan ini mendorong proses demokratisasi secara massif pada kehidupan berpolitik di Indonesia. Sekaligus memukul telak golongan tua yang merasa memiliki standar nilai dan moral yang mereka anggap paling benar.

Generasi yang telah turun ke jalan adalah penikmat lagu-lagu dari Efek Rumah Kaca, Generasi yang mengasah kreatifitas desain dengan meme dan mengasah cara menulis dalam sebuah utas/threat. Generasi yang belajar tentang keadilan hak asasi manusia melalui gambar the popoh. Generasi yang terbuka dan mudah mentertawakan diri sendiri. Generasi yang belajar melakukan kuotasi dalam sebuah caption Instagram ketimbang skripsi. Dan, beberapa hari belakangan ini, mereka semua sedang menguji diri bahwa ilmu yang mereka pelajari di kampus bukan hanya untuk haha hihi sambil menunggu skripsi. Meskipun dengan kepastian hari esok pasca lulus yang tentunya harus mereka hadapi dalam dunia kerja. Menatap RUU ketenagakerjaan yang memaksa mereka sebagai pegawai kontrak. Menyemai RUU Budidaya Pertanian yang tidak lagi memberikan kesempatan bebas untuk mengembangkan benih. RUU Pertanahan yang semakin menyempitkan peluang mendapat rumah murah. RUU SDA yang mendorong terbukanya eksploitasi tanpa peduli keberlanjutan lingkungan bagi generasinya.

Harapannya, gerakan ini akan tumbuh bersama dengan gerakan rakyat bersama nelayan, petani dan buruh. Menjadi sebuah gerakan baru yang dapat mendefinisikan kembali keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Memukul mundur barisan oligarki yang selama ini melakukan perselingkuhan dengan kekuasaan untuk menindas rakyatnya sendiri. Mendiskusikan dan mengkonsolidasikan kembali definisi tentang demokrasi ekonomi dan demokrasi politik. Selamat Berjuang Kawan-Kawan, Doa Kami Besertamu. Kami akan ikut dalam barisan kalian sebagai pendukung gerak zaman. Jika perlu kami juga akan ikut turun ke jalan. Karena bangsa dan negara ini milik kita bersama. Bukan hanya milik anggota dewan dan presiden kita tercinta. (HSA)