Deafheaven Live in Jakarta | Day 2 – 17 Juli 2024 di Bali United Studio

Share

Setelah satu dekade berlalu, unit post metal asal San Fransisco, Deafheaven kembali menyapa masyarakat Indonesia. Tidak hanya satu hari, Deafheaven berkesempatan untuk tampil sebanyak dua hari, namun dengan dua venue yang berbeda. Saya pikir ini adalah langkah dan antisipasi yang baik dalam memenuhi permintaan yang cukup tinggi bagi penikmat musik dan konser intim semacam ini. Noisewhore selaku promotor yang berhasil menarik Deafheaven untuk menambah Indonesia dalam daftar perjalanan tur di wilayah Asia patut diacungi jempol untuk usahanya selama ini.

Konser Deafheaven hari kedua berlokasi di Bali United Studio, yang berletak di bilangan Duri Kepa, Jakarta Barat. Berada di kisaran perumahan dan pemukiman, venue kali ini dirasa cukup unik bagi saya dan teman-teman karena cukup menjadi pembeda dengan festival atau konser musik yang biasa kami datangi yang berada di area sport center atau wisata macam GBK, Senayan, Ancol, atau komplek gedung pertunjukan sejenis Dago Tea House, atau semacamnya. Meski nuansa gigs-nya mungkin tidak terlalu kental ketika berjalan kaki menuju venue, tapi tentu ini menjadi experience tersendiri bagi kami.

Setiba di lokasi, mata saya berkeliling mengamati sekitar area panggung dan penonton. Tidak ada satupun dekorasi yang menunjukkan keterlibatan sponsor atau brand tertentu pada pertunjukan ini. Hal lainnya bisa dilihat juga dari saat penukaran tiket, tidak ada bundling yang didapatkan oleh penonton selain gelang tanda masuk. Namun jika kita mengamati pada publikasi gelaran-gelaran Noisewhore yang lain, hal ini lazim terjadi bahwasanya secara kasat mata kita bisa menilai bahwa ini menunjukkan mereka mampu menggelar konser dengan proper dengan level kemandirian yang belum bisa kami bayangkan. Rispek!

Menginjak pukul 19:00 tepat, acara dimulai dengan penampilan pembuka dari Enola yang menyajikan kolaborasi dengan Angee dari Grrrl Gang, dan juga mba Denisa. Enola membuka penampilan malam itu dengan membawakan ‘Skin To Skin’ dan ‘Lamen of Loss’ dengan cukup bertenaga. Disambung dengan lagu ‘Blue Waves’ yang didampingi oleh Angee, Enola menutup penampilan mereka bersama Denisa dengan lagu ‘Repent’ dan tentunya single terbaru ‘Lambda’ yang akan dirilis dalam format fisik yang jumlahnya terbatas bersama Husted Youth. Cukup disayangkan, pada bagian menjelang akhir lagu ‘Lambda’ sepertinya terjadi gangguan teknis pada mic yang digunakan Denisa yang berimbas anti klimaks dalam mengakhiri lagu, bagi saya pribadi. Namun secara keseluruhan, menurut kacamata saya penampilan Enola bersama kedua kolaborator tadi tidaklah buruk, tapi juga tidak cukup ‘sepadan’ secara warna musik dan aksi panggung untuk membuka penampilan Deafheaven yang kita kenal lagu-lagunya bertenaga, penuh dengan blasbeat dan berkecepatan tinggi, kecuali album terakhir mereka. Pun sepertinya memang tidak ada pilihan yang lebih masuk akal lagi untuk menentukan aktor pembuka selain mereka.

Selepas Enola, di atas panggung yang meredup mulai tampak kesibukan dari para personel Deafheaven yang langsung mempersiapkan diri tanpa dibantu teknisi seorang pun, kecuali dari penyelenggara lokal. Saya pribadi masih tidak habis pikir, entah sebuah upaya menghemat biaya atau etos dari Deafheaven yang terlalu mandiri hingga kami mendapat suguhan pemandangan band yang sudah berkeliling dunia bersiap siaga tanpa bantuan kru dan teknisi selain sound engineer saat menjalani penampilan tandang di negeri orang yang jaraknya ribuan kilometer. Mahkota anda tertahan di bea cukai, King!

Tepat pada pukul 20:17, Deafheaven membuka atraksi mereka di hari kedua dengan lagu ‘Brought to the Water’. Cakung Cilincing, suasana mendukung untuk moshing! Dengan tata cahaya yang didominasi warna biru, diiringi putaran kepala George, Deafheaven membuka penampilan dengan sound yang membahana. Dengan kondisi kepadatan jadwal penampilan di Singapura dan Jakarta, mereka masih menyajikan penampilan yang cukup prima, meski tempo lagu sedikit lebih lambat ketimbang versi albumnya.

Tanpa melontarkan banyak basa-basi, Deafheaven langsung menggeber lagu kedua dengan ‘Sunbather’ yang diiringi dengan kode jari George membentuk lingkaran, yang kemudian disambut oleh penonton, dan circle pit pun tercipta!

Di tengah suasana venue yang semakin memanas, mereka memilih memandu penonton untuk menenangkan diri dengan ‘Gifts for the Earth’ yang disambung dengan ‘In Blur’, kemudian ‘Great Mass of Color’. Deretan tiga lagu tersebut merupakan format lagu Deafheaven yang mengalami perpaduan dengan gaya musik shoegaze, yang notabene menjadi favorit generasi penikmat musik kekinian yang juga mengangkat beberapa nama di dalam negeri seperti Collapse, CAL, Sunlotus, Heals, Fleuro, dan juga Enola.

Usai berdendang bersama, riuh teriakan penonton kembali lahir setelah petikan khas lagu ‘Canary Yellow’ dibunyikan. Emosi penonton kembali dimainkan dengan komposisi naik turun lagu yang dinamis, disambut dengan stage dive dari beberapa penonton ketika bagian lirik “Starring out onto the earthly, pottery of / Pottery of existence climbing light” mulai dilantunkan.

Pada akhir lagu ‘Canary Yellow’, seluruh personel Deafheaven langsung turun meninggalkan panggung untuk sejenak beristirahat, dan memancing penonton untuk meneriakkan encore. Sebuah atraksi yang lazim dan jamak dilakukan pada saat konser spesial, dan tetap saja menjadi hal menyenangkan.

Satu persatu personel Deafheaven kembali ke pos masing-masing. Sembari berterima kasih kepada penonton, George mengisyaratkan akan kembali lagi ke Indonesia dengan album baru mereka yang langsung disambut dengan riff gitar khas ala band hardcore. Ya, ‘Black Brick’ pun dimainkan dan penonton kembali meliar. Sesuai pernyataan dari George, single yang dirilis pada tahun 2019 ini didapuk sebagai benchmark dari album mereka yang akan datang.

Akhirnya waktu yang tidak dinantikan pun tiba. Saatnya memasuki encore bagian akhir, lagu kesukaan kita semua dimainkan dengan penuh perasaan. ‘Dream House’ selalu menjadi pintu keluar yang tepat untuk menutup keriaan dengan komposisi yang membuat perasaan campur aduk bagi yang menikmati lagunya dengan seksama.

Pasca menyampaikan lagu penutup, seluruh personel Deafheaven langsung membereskan seluruh perangkatnya. Dan setelahnya, mereka langsung turun panggung serta menawarkan diri untuk melakukan signing session serta berfoto. Saya pikir, mereka sungguh pandai menempatkan diri dengan bentuk pertunjukan yang digelar di Jakarta saat itu. Hal ini bisa dilihat pula dari beberapa peristiwa yang terjadi, seperti area pertunjukan yang menghadirkan dekorasi minimalis dan bebas brand, ketiadaan pendampingan dari kru dan teknisi yang tentu mendorong mereka bersiap siaga secara mandiri sudah menunjukkan bahwa hal ini lazim terjadi pada band yang memiliki etos mandiri yang tinggi, yang kemudian tidak melahirkan sekat antara band dan pendengar.

Yak, konser Deafheaven selama dua hari di Indonesia persembahan Noisewhore resmi usai. Selain berhasil menyajikan pertunjukan yang istimewa, Noisewhore kembali membuktikan bahwa penyelenggaraan kegiatan skala internasional tetap bisa berjalan dengan mengoptimalkan hubungan antara penonton dan promotor yang dijaga dengan baik. Kuncinya tentu saja adalah merawat ekosistem yang sehat agar melahirkan pertunjukan yang sehat pula. (KFR)