Permintaan Maaf Saya Kepada Staf Khusus Milenial

Share

Terima kasih sebelumnya kepada staff khusus milenial yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengisi waktu luang dengan membuat tulisan ini. Mungkin sudah banyak orang melontarkan tulisan kepada kalian. Jadi izinkan saya menambah satu tulisan lagi.

Pertama, respon saya muncul karena beberapa kali membaca pemberitaan yang cukup santer tentang bagaimana kalian bekerja. Merepresentasikan diri sebagai bagian dari golongan milenial yang sedang turut memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara jelas patut untuk dipertanyakan. Sepanjang Indonesia berdiri persoalan representasi adalah bagian yang sering menjadi pertanyaan. Karena bahkan saya sendiri sangat meragukan sistem representasi sejak saya mulai memiliki hak pilih dan mampu membaca.

Tentunya, tidak perlu merasa mewah hanya karena membaca buku tebal seperti yang dikatakan oleh Budiman Sujatmiko. Biasa bae, karena saya sadar tidak semua dari generasi saya mampu membeli dan membaca buku. Sebagian bahkan harus berhenti bersekolah karena harus membantu orang tua mereka atau tidak mampu membayar SPP. Hal itu merupakan fakta sosial yang tidak pernah ditangkap dan diselesaikan juga dalam sistem representasi kita saat ini.

Di tengah kepenatan hidup harus bekerja padahal seharusnya mereka memiliki hak untuk bersekolah yang telah dijamin dalam konstitusi kita.   Dalam Lorong-lorong gang yang gelap, kawan-kawan saya tersebut memilih menenggak alkohol sebagai pengganti buku, tentunya dengan patungan. Bukan karena mereka tidak ingin belajar menjadi pintar seperti anda. Tetapi realitas mereka jelas berbeda dengan kalian. Makan bergizi? Mereka jawab “Syukur bisa makan”.  Jadi sebaiknya kalian katakan, Alhamdullilah Puji Syukur kepada Allah.

Kedua, saya tidak berusaha untuk menyalakan lilin dalam gelap. Demikian pun dengan kawan-kawan lainnya, saya pikir mereka setuju. Ke666elapan adalah bagian paling dekat dalam diri kita, jelas kami mencintai ke666elapan tanpa pernah sekalipun mengutuknya. Ke666elapan bagi kami adalah jalan menuju terang.

Berbeda dengan kalian yang sudah terlalu silau sampai sekelas pejabat eselon 1, malah mengaku setingkat Menteri maupun West Wing di Amerika sana. Sekolahmu olih adoh, tapi tulung barang sepele maca babagan Peraturan Presiden bae ora teyeng. Lagian ngapain Presiden mengangkat pegawai tambahan segala. Apa masih kurang ini negara di isi sama birokrat yang jumlahnya sudah mencapai 4 juta orang? Oh iya, balik lagi ke bagian Ke666elapan, apakah telah yakin tidak ada ke666elapan dalam diri kalian. Bahkan sekelas Ali Syariati saja pernah menulis surat terakhir yang ditujukan kepada anaknya Ehsan berikut:

“Terkadang aku gelisah, aku takut kekuasaan akan menindas putra-putri dan ayahku yang sudah tua, namun apapun yang terjadi, aku yakin berjalan di jalan Allah, dan ketika sesorang menentukan suatu jalan yang ingin ditempuhnya, maka ia harus siap dengan segala kemungkinannya. Ia harus berjalan sampai ke titik akhir. Sebagian psikolog mengatakan satu generasi tidak akan kuat menerima kekalahan melebihi satu kekalahan, dan lihatlah aku telah mengalami enam atau tujuh kali kekalahan. Kekalahan dan kemenangan? Apa bedanya bagi kita? Mungkin kemenangan dan kekalahan merupakan hal penting bagi olahragawan, politikus dan orang-orang yang suka berkompetisi. Apabila kita menang, kita mengharap agar terlindungi dari segala kesombongan dan penindasan kepada orang lain. Jika kalah, kita mengharap agar Allah menjaga dari segala kehinaan dan penyerahan diri”.

 

Jadi, saya pikir ke666elapan adalah teman terbaik yang membawa diri kami melihat lebih terang atas cahaya kekuasaan yang kerap kali memang menyilaukan.

Ketiga, tolong sekali untuk lebih banyak membaca, ini serius. Tidak usah perihal teori ndakik-ndakik semacam teori negara dan lainnya. Kalian ini adalah pejabat publik, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berisi lebih dari 270 juta orang. Perkara memilih kalian caranya kaya gimana saya sih tidak peduli. Tetapi saya anggap kalian manusia unggul karena menempati posisi sebagai Staf Khusus Presiden. Ya masa tidak tahu yang dimaksud konflik kepentingan. Sebentar saya kutipkan sesuatu dari Hegel tentang konsepsi negara.

Bagi Hegel, “negara merupakan manifestasi ide absolut dalam fase perkembangan masyarakat, negara merupakan keniscayaan Tuhan. Keniscayaan dalam tata aturan kehidupan bermasyarakat dimana hanya ide absolut yang dalam prakteknya adalah negara yang mampu melihat permasalahan masyarakat yang subjektif  secara objektif dari sudut pandang ke-Tuhanan.”

Boleh ga sepakat juga, bebas kok saya orangnya asik. Negara adalah manifestasi keniscayaan Tuhan. Dude, ini serius, jadi sangat wajar saya menganggap kalian itu istimewa. Dan kesalahan apapun jelas mendapatkan sorotan yang tajam dari seluruh rakyat di negara ini. Apalagi persoalan ya sedang ramai khalayak bahas tentang “konflik kepentingan”. Bisa-bisanya kalian mengeluarkan surat atas nama negara begitu caranya. Bisa-bisanya juga kalian menganggap biasa saja Ketika perusahaan kalian berada dalam jalur program kerja pemerintah.

Gini-gini, saya kutipkan lagi yah. Dalam Undang-Undang (UU) administrasi pemerintahan, konflik kepentingan didefinisikan sebagai suatu: “kondisi pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.” Dalam hal ini, konflik kepentingan tidak hanya kapan dan di mana kebijakan itu dibuat.  Secara luas, konflik kepentingan terjadi saat perbuatan pengambilan keputusan, kebijakan atau pelaksanaan program pemerintah menguntungkan pejabat publik. Mau kemarin bikinnya, tahun lalu, lusa, bodo amat !!.

Kalau kalian mendapat untung dari hal tersebut itu sudah konflik kepentingan namanya. Itu bukan saya yang bilang, itu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Tambahanya lagi, tidak semua keuntungan yang dimaksud adalah keuntungan berupa cuan. Ya sekalipun kita tau, kita sama-sama butuh cuan. Dalam masyarakat kapitalistik saat ini, ora cuan ora di sayang pancen bos. Persis kaya Abraham Maslow bilang dalam hirarki kebutuhan manusia. Kebutuhan paling mendasar itu fisiologis, sing penting bisa maem, beli baju, habis itu punya rumah, punya mobil, nggaya hidup, terus begitu pengulangannya kalau kata Maslow. Eh iya lupa, fisiologis berarti kenthu termasuk ga sih? Ya sudah kita anggap kenthu, kenthu, kenthu itu juga termasuk.

Kemudian lagi, sebagai seorang pengusaha seperti kalian jelas donk Need For Achievment (N’ach) seperti kata McClelland sangat dibutuhkan. Prestasi sebagai anak bangsa telah mampu menjadi pengusaha sukses. Tentunya negara dengan gampang mengkonversi prestasi tersebut dalam kerangka pertumbuhan ekonomi. “Anak muda Indonesia telah berhasil menjadi pengusaha sukses yang turut memberikan kontribusi kepada negara” begitu kira-kira disetiap ceramah seminar tentang UMKM sembari menyebutkan nama kalian.

Berterimakasihlah sama Max Weber karena telah mengeluarkan buku “tebal” berjudul Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme yang menjadi inspirasi McClelland mengeluarkan teori N’ach. Kalian akan menyangkal, “kami hanya ingin berkontribusi kepada negara Indonesia dengan kemampuan yang kami punya. Kami tidak mencari keuntungan atas yang kami lakukan”. Ya memang begitu kata McClelland, Dia menolak pandangan bahwa dorongan utama wirasawatawan adalah profit motive. Dari studinya, dia ngomong bahwa adanya pengaruh dan akaitan antara pertumbuhan ekonomi dan tinggi rendahnya motif yang lain yakni need for power (N’power) dan need for affiliation (N’affiliation).

N’ach memang tidak diturunkan melalui gen, betul!. Tapia da bukti penting yang perlu digarisbawahi, bahwa N’ach dibentuk pada awal pertumbuhan anak, yakni tumbuhnya N’ach bergantung pada tingkat bagaimana kedua orang tua mengasuh anaknya. Cukup jelas ya? Anda diasuh oleh otoritas tertinggi bernama Negara, yang dipimpin oleh Presiden sebagai pemerintah yang berwenang.

Bro dan sist, janganlah naif begitu. Keuntungan yang dimaksud dalam undang-undang tadi tidak semua bermaksud duit. Tetapi juga, akses informasi, promosi perusahaan, pertambahan konsumen, data masyarakat, hingga engagement. Itu juga disebut keuntungan. Buat soal satuan waktunya kapan, pejabat publik harus tetap netral dan bekerja untuk kepentingan masyarakat banyak. Posisi kalian rata-rata jadi CEO loh, ada yang bisa menjamin kalian tidak menyalahgunakan wewenang di masa yang akan datang? Apa jaminannya? Pegang omongan kalian? Nyong ya emoh, panjenengan sekalian niku sudah saya anggap sebagai pejabat plus politisi sejak Presiden mengangkat kalian. Nah, omongan politisi emang ada yang bisa dipegang.

So, uwes tah, rasah kokehan alesan. Birokrasi harus netral, tidak berpihak kecuali pada kepentingan masyarakat. Pilihannya cuma dua, mundur jadi Staf Khusus Presiden atau mundur jadi pimpinan perusahaan (tak kasih bocoran, kalau mundur jadi pimpinan perusahaan kan masih tetep bisa dapet hasilnya, masa caranya ga tau sih?). Saya sendiri sampe gumoh, setiap kali ada seminar dulu zaman kuliah bahasnya reformasi birokrasi dan good governance. Masa lulusan kampus-kampus idola begitu harus saya kasih tau soal agenda reformasi birokrasi dan good governance?. Taukan ya pasti? Biar saya ga nulis kepanjangan nih. Masih ada tema lainnya yang saya mau bahas soalnya.

Keempat, seperti yang sudah saya sebutkan tadi, bahwa kalian adalah manusia unggul yang berada dalam negara sebagai manifestasi Tuhan. Tentunya, saya yakin kalian adalah orang yang baik, tentunya sangat baik dan seorang filantropis. Saya tebak, kalian pasti pengen seperti Warrant Buffet ya? Saya juga pengen, semoga kita bisa sama-sama mencapai seperti dia. Tapi bos, niat baik saja tidak cukup!. Kalau saya jadi kalian saya minta jadi Menteri aja yang punya kewenangan lebih jelas. Kalian ini kan kalau kerja juga harus lapor ke Sekretaris Kabinet to? Kerjanya kalian apa sih spesifiknya? Jadi tukang bisik bapak Presiden? Saya aja tidak ngerti kerjaan kalian apa, tau-tau muncul bikin rame begini.

Sekali lagi ya, bos, pejabat publik tidak berkerja atas dasar moralitas personal dengan dorongan ingin berbuat kebaikan. Karena semua orang juga berusaha berbuat baik dalam hidup. Petani berbuat baik karena masih mau jadi petani, tanpa mereka kita akan makan apa? Lah, sekarang sarjana pertanian saja milih jadi pegawai bank, kok. Tapi petani tidak bisa bikin sebuah kebijakan sekalipun telah berbuat baik. Tanahnya dirampas, harga beras murah, kena sistem ijon, pupuknya mahal, itu tugas kalian sebagai pejabat publik menyampaikan ke Presiden “Pak, itu, loh petani hidupnya kok susah terus, ya, kita bisa membuat kebijakan apa yang mendukung kelangsungan hidup mereka”. Kalau kalian sebagai pejabat publik menganggap kebaikan atas landasan moral personal dianggap kerja birokrasi. Saya aduin ke dosen saya di Ilmu Administrasi Negara loh, dijewer kalian yang ada.

Tapi, goodwill dalam pelaksanaan kebijakan publik memang penting, tapi niat baik saja tidak cukup. Sebagai pejabat publik ukuran kalian itu ya outputnya sebuah kebijakan (itu kalau kalian bisa buat kebijakan, minimal ya ngajak ngopi Pak Presiden sambil dibisikin). Kalau cuma baik, itu belanda dulu ngejajah juga pernah berbuat baik. Politik etis-nya belanda itu perbuatan baik sekali, memberi kesempatan sekolah beberapa kalangan tertentu agar bisa pintar. Tapi kan tetep menjajah, merdekanya tetep harus berdarah-darah, seperti saya yang masih berusaha merebut hati mba’e kae.

Begitulah kira-kira, maaf nih jangan marah. Tapi kalau marah ya gapapa. Saya cuma diajak temen saya namanya Dipo Suryo Wijoyo dan Deny Giovanno untuk nulis begini. Sepertinya mereka juga akan menulis, cuma ga tau juga. Biasalah anak nongkrong kan kerjaannya gibah.

Eh iya satu lagi, kalau kalian suka menyalakan lilin dalam gelap. Saya dari dulu suka sama filsuf namanya Diogenes dari Sinope. Saya milih menyalakan obor seperti beliau. Konon Diogenes digambarkan sebagai seseorang yang selalu membawa obor yang sedang bernyala di siang hari, berjalan mengitari kota, menyusuri pasar dan keluar masuk gang dan rumah penduduk untuk mencari orang jujur. Dan kalau saya ditanya sama kalian ”coba kamu berada di posisi saya?, maumu apa sih sebenernya?, ngeritik aja bisanya”. Saya juga akan menjawab seperti Diogenes Ketika ditanya oleh Alexander Agung “Apa sebenarnya yang engkau kehendaki?”. Mau tau jawaban Diogenes? Begini jawabnya “”Pergilah, atau sedikit menyingkirlah ke samping, jangan menghalangi cahaya matahari menyinariku!”.

Salam (HSA)