Memberikan ulasan pada buku antologi puisi merupakan hal yang baru bagi saya secara pribadi. Ragangan puisi memang terlihat pendek, tidak sepanjang dan memakan waktu yang lama untuk menghabiskan teks nya seperti novel. Namun seperti pada definisi awal puisi yang saya pahami bahwa justru sejatinya mereka adalah narasi yang dipersempit dan dipadatkan. Dengan memadatkan sebuah narasi dan ide panjang dan luas ini justru akan menambah potensi multitafsir yang hadir di kepala pembaca.
“Perempuan-perempuan yang Duduk Sendiri” menjadi pengalaman pemahaman kontemplatif bagi saya untuk melakukan ulasan terhadap karya sastra dalam bentuk puisi dari sisi kritik sastra maupun kritik tlonyoran a la bocah skena (Skenane).
Buku ini merupakan cetakan pertama dari penerbit indie Djelajah Pustaka Yogyakarta yang diterbitkan pada bulan juli 2019 yang dikurasi oleh tiga pengarang wanita yang terbilang masih cukup muda Sindyasta, Ida Novita Waruwu dan Balqis Nabila Zahra.
Awal membuka buku ini kita disuguhi dengan dua kata pengantar dari sastrawan Rabu Pagisyahbana asal Yogyakarta dan W Sanavero penulis buku “Perempuan yang Memesan Takdir”. Lalu kita akan menemukan 3 (tiga) bab yang terdapat dalam konten buku antologi puisi ini. Awalnya saya kira 3 (tiga) bab ini masing-masing merepresentasikan pemikiran dan ekspresi dari 3 penulis yang berbeda. Ternyata 3 penulis yang berbeda ini masing-masing memiliki peran dan interpretasinya sendiri di setiap bab yang terdapat dalam buku ini.
Ketiga perempuan ini sepakat untuk memetakkan ide kedalam tiga petak kolam gagasan yang akan dikurasi bersama secara bergantian. Tiga petak kolam itu masing-masing di beri Judul Kota, Cinta, dan Alam. Formasi dalam ketiga bab ini disusun dengan formula yang sama selalu berurutan dan bergiliran dari Sindyasta, Ida N. Waruwu dan Balqisnab. Dengan pembagian porsi tulisan yang terkesan adil membuat buku antologi puisi ini memiliki struktur pembangun yang cukup baik sebagai sebuah buku yang dipasarkan.
Dari sinkronasi judul dan tiga tema besar yang dibangun dalam buku ini, saya membayangkan ada tiga pokok bahasan berbeda secara kontekstual yang dirangkai dalam sebuah tema besar. Namun, yang terdapat dalam teks cukup acak untuk dikategorikan ke dalam tiga petak gagasan yang disediakan. Tidak ada pembeda secara signifikan dalam konteks gagasan yang diceritakan dalam masing-masing puisi yang tertulis.
Memang banyak kiasan dan majas yang digunakan untuk berusaha menjaga korelasi antar sub tema, namun pada akhirnya tidak ada yang cukup mewakili ketiga gagasan tersebut. “Perempuan-perempuan yang Duduk Sendiri” memang menyediakan ruang kosong yang cukup luas, terlebih konten teks yang disajikan tidak begitu lugas yang berarti menginginkan pembaca untuk memasuki ranah kontemplasinya masing-masing untuk menentukan kemana arah sebuah puisi akan dimaknai.
Contohnya seperti salah satu puisi dalam bab Cinta yang ditulis oleh Sindyasta
Sepi Yang Paling Nyaring-Sepi-Sepi Yang Melengking-Sepi Paling Bising:
- Kota-kota yang ribut
- Ibu kota yang carut-marut
- Ruang rapat para pejabat
Jogja, April 2019
Struktur penulisan teks yang tidak biasa ini akan selalu mendapat perhatian lebih dari pembaca secara visual, hal tersebut bisa diartikan pada penyimpangan karena sifatnya yang inkonvensional. Pernyataan tersebut diperkenalkan oleh seorang ahli teori sastra dan kritikus Victor Shklovsky, sebagai deformalisasi yang berarti membuat sesuatu tidak familiar perihal bahasa dan penyampaiannya sehingga makna mendapatkan perhatian lebih.
Membedah bacaan baru dengan struktur yang unik akan selalu menarik bagi pembaca mengarungi ruang kontemplatif dan multitafsirnya. Namun kembali pada tujuan seorang penulis dengan mengkotakkan karyanya pada sebuah kategori gagasan tertentu, apakah tujuan penulis terpuaskan dalam menyampaikan suatu gagasannya atau hanya secara abstrak menyediakan ruang kosong untuk pembaca menerka-nerka dengan dua parameter, yaitu bab Cinta dan teks itu sendiri.
Konsep Dress of Thought memang paling banyak ditemukan dalam bentuk puisi, membagi sebuah teks dalam dua sisi, matter yang berarti gagasan dan manner yang berarti bungkusnya. Penyajian kepada pembaca melalui konsep seperti ini, permainan struktur bahasa dan perumpamaan estetik yang akan membungkus gagasan yang mungkin umum disampaikan dengan bungkus yang berenda-renda.
Lalu yang menarik lagi adalah sarana retorika dalam bentuk pengulangan suku kata, kata, frasa dan kalimat cukup mendominasi di setiap bab yang disajikan. Hal tersebut biasanya dilakukan untuk mendapatkan intensitas dan ekspresivitas dalam sebuah teks seperti yang sering dilakukan oleh maestro Sutardji Colzoum Bachri.
Salah satu contohnya termuat dalam puisi Balqisnab yang berjudul Bangun ! yang terdapat pada bab Kota.
“Bangun !
Pukul sebelas
Sebelas siang hari
Siang hari yang terik
Kepalaku mengudara
Mengudara menuju surga, semoga saja
Manusia tak lagi tertarik
Surga tak lagi menarik
Dunia-dunia penuh bibir-bibir bermekaran
Semua orang tampak bahagia
Di sana kerlapkerlip cahaya
Dan istana besar
Dan susu-susu segar
Dan pelayan-pelayan bugar
Dan reklame, yang setiap hari selalu perawan
Surga kami bangun
Pakai jasa bangunan
Dan tukang bohong”
2019
Atau terdapat juga di salah satu baris dalam puisi Ida N. Waruwu yang berjudul Mengeja Isi Telingamu yang terdapat pada bab Cinta
“ Di dalam kepalaku
Selain ingatan tentang nota-nota dan ringkasan penjualan
Hal-hal yang paling melekat adalah hal-hal yang tidak kausadari:
Ada grup musik kesayanganmu
Ada lagu-lagu kesukaanmu
Ada film-film favoritmu
Ada gunung-gunung yang pernah kaudaki
Ada nama negara yang ingin kau tinggali
Ada igau-igau tidur lelapmu
Ada resep kentang balado
Ada arabika temanggung
Ada hewan-hewan yangb tidak ingin kaulihat
Ada percakapan-percakapan yang kaulupa
Tentang apa, kapan dan dimana “
Formula ini banyak ditemukan di beberapa teks yang terdapat dalam buku. Sarana retorika berupa pengulangan ini merupakan salah satu metode untuk membangun emosi yang intensif dalam sebuah puisi, membawa pembaca lebih dalam menyelami ruang kosong dan tenggelam dalam tafsir masing-masing dari mereka.
Pada akhirnya kebebasan bentuk dan konten puisi akan kembali pada kuasa penulis dan konsep Licentia Poetica yang bermakna kebebasan seorang penulis sastra untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional demi menghasilkan efek yang diinginkannya. Pembenaran atas kaidah tersebut biasanya terukur dari keberhasilan efek yang ditampilkan dalam sebuah teks. Buku antologi puisi “Perempuan-Perempuan yang Duduk Sendiri” ini memang sangat tepat untuk dibaca dalam keadaan duduk-duduk sendiri sebagai ruang kontemplasi yang cukup luas. (FF)